Arah SinggahInterval

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang

Jargon “kembali ke alam” jadi nilai lebih yang ditawarkan Ecolodge Bukit Lawang kepada para tamu yang menginap. Butuh komitmen berkelanjutan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Keasrian hutan Bukit Lawang di sekitar ecolodge/Mauren Fitri

Bukit Lawang sudah lama dikenal sebagai objek wisata alam di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Jauh lebih dulu dibanding Tangkahan. Pembukaan stasiun rehabilitasi orang utan oleh Regina Frey dan Monica Borner pada 1973—dengan sponsor dana WWF dan perkumpulan ilmu hewan Frankfurt—jadi awal pengembangan potensi ekowisata di Bukit Lawang.

Beragam daya tarik wisata tersaji di sepanjang aliran Sungai Bohorok. Di antaranya susur sungai dengan tubing, menyusuri hutan (jungle trekking), melihat lebih dekat bunga padma raksasa (Rafflesia arnoldii), mengunjungi pusat konservasi orang utan, tur desa, dan lain sebagainya. Sungai dan hutan menjadi ikon utama, meskipun beberapa operator wisata setempat belum seluruhnya menerapkan prinsip ekowisata secara ideal. Di sisi lain kunjungan wisatawan memang terlalu banyak, bisa mencapai puluhan ribu orang saat akhir pekan. Situasi ini menyebabkan ancaman pada daya dukung lingkungan Bukit Lawang.

Sebagai penunjang aktivitas wisata, keberadaan penginapan menjadi faktor penting bagi turis—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung lebih dari satu hari di Bukit Lawang. Kelasnya beragam. Salah satu yang menarik adalah penginapan berkonsep ramah lingkungan (ecolodge). Namun, tidak semuanya konsisten dengan komitmen ramah lingkungan seperti digaungkan.

Di antara sedikit itu, Ecolodge Bukit Lawang jadi yang terdepan memelopori kampanye lingkungan berkelanjutan dari hulu ke hilir. Bobi Chandra (47), manajer hotel, untuk bercerita sekilas latar belakang bisnis, keunggulan, dan tantangan implementasi ramah lingkungan di Ecolodge Bukit Lawang.

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Tampilan luar kamar tipe Butterfly yang dikelilingi taman dan pohon-pohon/Ecolodge Bukit Lawang

Garis waktu

Awalnya Ecolodge Bukit Lawang berjalan sendirian, seperti bisnis hotel biasanya. Dibangun dengan nama awal Bukit Lawang Cottage, segmentasinya adalah wisatawan atau tamu-tamu yang memiliki kepedulian lingkungan. 

Pada era 1995—2000, Regina Frey dan Michel Gilbert—turis asal Swiss—bekerja sama dan membuat proposal program bernama Bohorok Sustainable Development Program (BSDP). Program ini mencakup tiga kegiatan, yaitu manajemen lingkungan, pendidikan lingkungan dan riset, serta pariwisata ramah lingkungan. BSDP berjalan di bawah payung Yayasan PanEco, organisasi nirlaba yang didirikan Regina Frey dan berkedudukan di Swiss.

Regina Frey pula yang menginisiasi pendirian Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bohorok. Pembangunan PPLH Bohorok memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran pelestarian biodiversitas alam dan pengelolaan ekowisata secara tepat. Sekarang PPLH Bohorok merupakan sebuah unit yang berada di bawah naungan Yayasan Ekosistem Leuser (YEL). Yayasan ini kemudian mengambil alih atau mengakuisisi Bukit Lawang Cottage—kemudian berubah nama menjadi Ecolodge Bukit Lawang. 

Keberadaan Ecolodge Bukit Lawang sebagai unit bisnis sekaligus sentra pendidikan, berfungsi untuk memfasilitasi segala program konservasi dan lingkungan hidup. Terutama ketika YEL kemudian makin besar dan membawahkan 13 proyek konservasi di Sumatra, dari Aceh sampai Jambi.

“Jadi, diakuisisinya tempat ini [ecolodge] bertujuan menunjukkan ke masyarakat bahwa bisnis hotel dan konservasi bisa jalan seiring,” jelas Bobi. Harapannya menjadi model pariwisata berkelanjutan, terutama di Sumatra Utara.

Saat ini tersedia puluhan kamar berbagai tipe, yaitu Butterfly, Thomas Leaf Monkey, Orangutan, Siamang, dan Hornbill. Setiap kamar dilengkapi perabot serba bambu dan memiliki keunikannya sendiri, disesuaikan dengan karakter tamu yang akan menginap. Beberapa di antaranya menyediakan kamar mandi semi terbuka. Ventilasi pun didesain mampu mengalirkan udara segar masuk dari depan dan belakang kamar.

Semua kamar tidak dibekali pendingin udara berupa air conditioner (AC), tetapi menggunakan kipas angin. Pertimbangannya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun lokasi terhitung dataran rendah, udara tetap sejuk karena berada di pinggiran hutan hujan tropis Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pihak manajemen juga memasang kelambu atau mosquito net di setiap kasur, sebagai pelindung tamu dari nyamuk. 

Eksistensi Ecolodge Bukit Lawang sebenarnya diusahakan sebagai contoh penginapan ekologis, begitu Bobi menyebut. Makanya manajemen membatasi penggunaan listrik setiap kamar, termasuk meniadakan televisi dan AC. Keterbatasan yang “dibuat” itu bukan tanpa alasan. Tamu bisa jadi lebih segan—meminjam perkataan Bobi—tidak ujug-ujug masuk kamar membawa speaker besar atau peralatan elektronik lain yang boros listrik.

“Maksudnya kita ngundang masyarakat supaya mereka datang dan menikmati iklim khas tropis seperti itu,” jelas Bobi.

Sejauh ini rata-rata tamu—terutama mancanegara—cukup senang dan memahami konsep yang diusung Ecolodge Bukit Lawang. Walaupun memang, kadang-kadang, ada sejumlah tamu domestik yang tidak bisa lepas dari televisi maupun AC. Keunikan latar belakang tamu memang menjadi tantangan tersendiri bagi Bobi. 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Bagian dalam kamar tipe Orangutan yang cukup luas/Ecolodge Bukit Lawang

Pengelolaan sampah terpadu

Bobi mengklaim Ecolodge Bukit Lawang sudah mengelola waste management dengan baik. “Sampah anorganik kita kumpulkan, lalu diturunkan ke bawah [untuk] diangkut oleh rekan kita ke bank sampah partner [PPLH Bohorok],” jelasnya.

Kemudian untuk sampah organik dipilah menjadi dua kebutuhan. Sampah dari restoran dikirim ke eco-farming untuk asupan makan maggot. Maggot dibudidayakan untuk pakan ayam. Ayam yang diternak selanjutnya akan menghasilkan daging dan telur organik.

Adapun sisa sampah organik lainnya, seperti bonggol nanas, daun pisang, diolah menjadi kompos di alat komposter di bagian belakang ecolodge. “Jadi, boleh dibilang minim sekali sampah yang dihasilkan dari sini,” klaim Bobi.

Begitu pun limbah air yang dihasilkan baik dari kamar tamu maupun restoran. Ecolodge tidak membuang air dari kamar langsung ke sungai. Ada serangkaian proses yang membuat air kotor tersebut benar-benar tersaring, sebelum “melebur” bersama aliran Sungai Bohorok.

“Air dari kamar itu [mengalir] ke septic tank, lalu dari septic tank ke [alat] biofiltrasi, baru [dibuang] ke sungai,” jelas Bobi menjelaskan alur pengelolaan limbah air dari kamar. Biofiltrasi merupakan teknologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk memperbaiki kualitas air. Sehingga limbah air yang terbuang tidak berbau maupun berminyak.

Sementara limbah air yang dihasilkan dari restoran diproses sedikit lebih panjang. Sebelum ke tangki septik dan biofiltrasi, limbah air terlebih dahulu dialirkan melalui grease trap. Grease trap merupakan sejenis unit pipanisasi yang merupakan wadah untuk menangkap minyak dan lemak dari limbah air dapur. Tujuannya agar tidak menyumbat saluran pembuangan dan tidak langsung mencemari sungai.

  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang

Kapal Bambu Resto

Selain kamar dan sistem pengolahan sampahnya, daya tarik terbesar dari Ecolodge Bukit Lawang adalah Kapal Bambu Resto. Sebuah restoran semi terbuka yang hampir sepenuhnya dibangun dari bambu.

Penggunaan bahan alami tidak hanya menunjukkan indikasi komitmen ecolodge yang ramah lingkungan. Ada juga pesan muatan lokal di dalamnya. 

“Ini seperti kampanye,” terang Bobi, “Sumatra Utara ini kaya bambu. Jadi, kita mengajak kawan-kawan untuk pakai furnitur dari bambu.”

Bambu dipilih karena sifat elastis dan ketahanannya terhadap angin maupun gempa. Sepintas tampak polos, tetapi strukturnya sangat kuat.

Riset Putra dkk. (2020) dalam Analisa Kekuatan Struktur Bambu Pada Pembangunan Entry Building Green School Ubud membuktikan itu. Bambu memiliki kekuatan tarik yang setara  dengan besi baja kualitas sedang, sehingga bisa menggantikan baja beton bertulang. Tidak hanya untuk bangunan sederhana, tetapi juga struktur bangunan yang lebih kompleks. Sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahanan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.

“Restoran kita ini sering digunakan untuk acara sampai [memuat] 80-an orang di lantai atas,” jelas Bobi.

Nilai lebih bambu dibandingkan balok kayu sebagai struktur bangunan adalah ketersediaan bahan baku. Bambu banyak ditemukan tumbuh bebas. Dalam kurun waktu 6—7 tahun sudah bisa dipanen dalam keadaan baik. Sementara jika harus menebang pohon, masih harus menunggu 15-20 tahun untuk tumbuh kembali. 

Dari sisi dapur, sebisa mungkin manajemen menyediakan bahan baku pangan organik. Untuk mendukung itu, Ecolodge Bukit Lawang membuka lahan eco-farming sekitar lima kilometer dari penginapan. Mereka menanam sayur-sayuran, seperti sawi, bayam, kangkung, cabai, dan tomat. Juga buah-buahan, seperti markisa dan ceri. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi makanan, minuman, dan kudapan tanpa penyedap maupun pengawet.

Salah satu tantangan dalam menyajikan kuliner di restoran adalah menghindari penggunaan produk-produk turunan minyak kelapa sawit. “[Kami] bukan anti sawit, ya. Cuma supaya tidak bertabrakan dengan [perjuangan] kawan-kawan yang lain di area hijau yang dikuasai oleh pengusaha sawit, makanya kita dukung dengan tidak menggunakan minyak sawit,” tegasnya.

Meskipun memang penerapannya tidak mudah. Terkadang minyak kelapa tidak selalu ada di pasaran. Kalaupun tersedia harganya bisa mencapai tiga kali lipat dari minyak kelapa sawit. Kerumitan yang dirasakan oleh sebuah penginapan ramah lingkungan memang berbeda dengan hotel biasa, bahkan yang berbintang sekalipun.

Demi kenyamanan bersama, Kapal Bambu Resto tidak membuka ruang sedikit pun untuk tamu yang ingin merokok. Restoran juga tidak menyediakan sedotan minum karena berpotensi menjadi sampah. Pun tidak menggunakan taplak meja. Alasannya setiap tamu selesai makan, maka taplak harus selalu dicuci dan limbahnya bisa mengotori aliran air ke sungai. 

Sumber energi listrik dan timbal baliknya

“Kita masih [sempat] pakai panel surya sampai tujuh tahun lalu. [Tidak dipakai lagi] karena salah analisis dan salah penempatan [instalasi],” ujar Bobi.

Pemasangan panel surya dilakukan sebelum Bobi masuk sebagai manajer. Ia mengatakan letak instalasi berada di ujung penginapan. Dekat dengan hutan. Kondisi tersebut membuat panel surya tidak bisa bekerja maksimal karena tidak cukup cahaya. Setiap pukul dua siang sinar matahari tertutup oleh perbukitan. Ia menilai mestinya panel surya dipasang di atas restoran, yang kemudian malah ditentang arsitek karena alasan estetika.

Alternatifnya, dia sempat mengundang Suroso, pegawai PPLH Seloliman ke ecolodge. Pada masa itu PPLH Seloliman telah berhasil menjual energi listrik mikrohidro ke PLN. Namun, situasi di Bukit Lawang berbeda. Sungai Bohorok sebagai satu-satunya sumber air terbesar, dinyatakan tidak layak secara ekonomis. Walaupun arusnya deras, debit air tidak stabil saat musim kemarau. Mengingat tantangannya berat, maka pembangkit listrik mikrohidro tidak bisa dijadikan pilihan. 

Kondisi tersebut menyebabkan Ecolodge Bukit Lawang tetap menggunakan listrik biasa—berbahan baku batubara. Karena komitmen ramah lingkungan dan berkelanjutan, Bobi menyebut ada biaya yang diambil untuk “dikembalikan” ke alam.

“Jadi, ya, boleh dibilang costing, gaji, dan semua [biaya] itu, lebih dari 40 persen pendapatan kotor [yang diterima], sisanya balik ke kantor untuk program konservasi,” jelas Bobi. Beberapa program itu di antaranya rehabilitasi habitat orang utan, penelitian biodiversitas, hingga pemberdayaan masyarakat lokal. 

“Memang ecolodge ini diusahakan untuk berjalan baik. Membuat bisnis agar bisa menghasilkan revenue untuk mendukung kegiatan konservasi,” tambahnya.

Pemasukan yang tetap dan stabil dari ecolodge, setidaknya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, menjadi penyokong utama program-program konservasi yang dijalankan Yayasan Ekosistem Leuser dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Pernyataan dukungan konservasi orangutan sumatra di buku menu Kapal Bambu Resto/Deta Widyananda

Komitmen pelibatan masyarakat lokal

Sebagai barometer penginapan ramah ekologis, ecolodge berkomitmen pada kesejahteraan komunitas yang tinggal di kawasan wisata. Baik itu menyerap tenaga kerja di dalam manajemen maupun kerja sama lain. Misalnya, penyediaan bahan baku makanan untuk restoran hingga bidang jasa untuk aktivitas wisata.

Dalam pandangan Bobi, ecolodge tidak hanya memikirkan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga di sektor bisnis. Salah satu upayanya adalah melibatkan masyarakat setempat.

“Makanya saya punya kewajiban di sini [untuk] memberdayakan masyarakat lokal,” katanya. Beberapa posisi penting yang menjadi jatah orang lokal antara lain koki, asisten koki, kasir dan pelayan restoran, petugas kebersihan, dan banyak lagi.

Khusus di bagian dapur, Bobi menegaskan banyak mengambil bahan baku pangan di masyarakat. Meskipun jika ingin lebih bersifat sustainable, ia bisa saja membeli ayam atau ikan beku yang bisa dipakai setiap saat. “Cuma enggak boleh, saya harus beli dari orang lokal. Biar orang lokal ada penghasilan dari kita,” ujarnya. 

Kolaborasi dengan masyarakat juga berlaku di sektor jasa. Terutama transportasi dan pemandu wisata. Ecolodge tidak menyediakan mobil operasional khusus untuk melayani tamu. 

“Kita kerja sama dengan kawan-kawan [lokal] yang punya armada. Guide juga begitu,” terang Bobi. 

Pernah suatu ketika ia mengundang 170-an pemandu wisata lokal untuk sosialisasi standar pelayanan ecolodge. Akan tetapi, dari jumlah itu hanya sekitar 20 orang yang memenuhi syarat dan mau mengikuti ketentuan. Seperti dalam paket wisata trekking, mereka harus menggunakan sepatu khusus di hutan, serta membawa perlengkapan dasar obat-obatan.

Di awal kerja sama memang gampang-gampang susah. Karakter orang beragam. Banyak yang datang dengan gaya keras, meminta jasanya harus digunakan. Ada pula yang lembut. Namun, akhirnya manajemen tetap menyeleksi calon partner yang mau mengikuti standar ecolodge. 

Bobi berulang kali memberi arahan tegas, “Jangan merokok di mobil. Jangan terlambat. Jangan ugal-ugalan. Mobil harus bersih, sampai bau badan pun kita ingatkan.” Dan standar-standar dasar pelayanan lainnya. 

Dalam perjalanannya memang Bobi sempat mengalami kendala. Contoh lainnya, ketika mencoba untuk menyajikan kudapan lokal di restoran, seperti keripik pisang atau keripik ubi, tidak berjalan maksimal. Persoalannya terletak pada kurang bagusnya kemasan sehingga makanan tidak tahan lama. (*)

ECOLODGE BUKIT LAWANG
Jl. Bukit Lawang, Sampe Raya, Kec. Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara 20774
Narahubung: +62 812 607 99 83
Email: [email protected]
Website: https://bukitlawang.ecolodges.id/id/


Foto sampul:
Suasana di dalam Kapal Resto Bambu yang dikelola Ecolodge Bukit Lawang/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya