Arah SinggahInterval

Patroli di Jalan Sunyi

Jejak ratusan kilometer menjaga rimba Leuser adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang polisi hutan. Nyawa taruhannya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Patroli di Jalan Sunyi
Ekspresi Misno saat sesi wawancara dengan TelusuRI di pinggiran Sungai Bohorok, Bukit Lawang/Mauren Fitri

Namanya singkat. Misno. Tanpa nama tengah apalagi marga. Usianya 46 tahun. Lahir dan besar di Sumatra Utara, tetapi ada sedikit nasab Banyumas di darahnya. Pekerjaannya polisi hutan. Tampilan fisiknya memang menunjukkan sebagaimana mestinya seorang penegak hukum. Rambut cepak, tubuh tegap, suara berat.  

Jika sempat iseng mengetik arti nama “Misno” di internet, maka akan muncul tafsir yang hampir seragam. Berani, cerdas, dan pekerja keras. Loyal, bisa diandalkan, dan siap memberikan segalanya. Ini bukan pernyataan bak pujian pada politisi atau pejabat negara. Memang kenyataan yang terpampang demikian. Sesuai karakter aslinya. 

Di atas kertas, sepintas tugas Misno sederhana. Melindungi hutan dari ancaman pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan. Serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat di kawasan penyangga taman nasional. 

Namun, realitas di lapangan tidak semudah itu. Dihajar badai, kehabisan bekal di hutan, hampir mati terseret arus sungai, ditodong senjata, sampai dijebak oknum aparat adalah bukti sahih; Misno tidak bekerja untuk formalitas semata.

Area kerjanya, Resor Bahorok (STPN Wilayah V), mencakup 31.619,40 hektare. Lebih dari separuhnya memiliki tingkat kelerengan curam. Luasan tersebut hampir 4 persen dari total keseluruhan kawasan TNGL. Kekuatan personel resor yang ia pimpin hanya empat orang. Dua PNS dan dua tenaga harian (honorer). Satu pegawai berarti mengawasi area seluas 7.905 hektare. Secara kasatmata tidak masuk akal. 

“Ya, namanya tugas,” ujar Misno singkat. Jawaban diplomatis yang sejatinya merangkum manis getir pengabdiannya menjaga hutan. Bahkan terkadang di luar tugas pokok dan fungsi dasarnya. 

Patroli di Jalan Sunyi
Rapatnya tutupan hutan khas tropis yang menyelimuti perbukitan di sekitar Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Mantan penebang hutan yang hijrah menyelamatkan hutan

Misno yang dulu bukanlah Misno yang sekarang. Bahkan ia awalnya bukan polisi hutan murni. Sebelum mencurahkan pengabdian kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pujakesuma—putra Jawa kelahiran Sumatra—itu pernah menggeluti dunia kerja yang yang bertolak belakang. 

“Awalnya dulu saya pernah [punya] pengalaman kerja di Pekanbaru [Riau],” tutur Misno membuka cerita.

Di tahun 1990-an, ia bekerja sebagai operator alat berat untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Anak perusahaan APRIL Group, korporasi global yang bergerak di produksi serat dan bubur kertas (pulp). Wilayah kerjanya saat itu adalah area hutan di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. 

Misno tergabung dalam satu kelompok karyawan berisi 32 orang, yang berarti tersedia 32 ekskavator. Dan tidak hanya satu kelompok saja yang bekerja di waktu yang sama. Tugas mereka adalah mengeruk hutan. Menebang pohon-pohon. Menghasilkan balok kayu, yang akan dieskpor atau diolah sebagai bahan baku kertas.

“Dalam satu menit kita bisa menghilangkan hutan itu mencapai sekitar enam hektare,” katanya. Ia dan kelompoknya bekerja setiap pagi. Bisa dibayangkan banyaknya pohon tumbang serentak hanya dalam sekali potong.

Selama bekerja acapkali ia melihat satwa liar, seperti harimau sumatra, tapir, dan gibbon (owa). Sampai suatu saat ketika jam kerja selesai, Misno masih menyisakan satu pohon yang belum ditebang. Ada beberapa satwa yang berkumpul di bawah pohon yang sama. “Besoknya kita tumbangkan, dan satwa tadi sudah berserak entah ke mana.”

Misno hanya bertahan enam bulan di perusahaan ekstraktif tersebut. Ia kerap terlibat cekcok karena adanya ketidakcocokan budaya kerja. Pun gelisah melihat hutan luas lenyap dalam sekejap. Ia mengundurkan diri dan pulang ke Bukit Lawang. Itulah titik balik Misno berhijrah ke dunia konservasi dan kehutanan.

Roda hidup terus berputar. Sempat dua tahun menjadi petugas cleaning service kantor World Wildlife Fund (WWF), pada 1997—1998 ia dimasukkan oleh TNGL sebagai pegawai honorer di stasiun rehabilitasi orang utan di Bukit Lawang. Saat itu TNGL memang sedang bermitra dengan sejumlah organisasi nirlaba untuk konservasi orang utan.

Satu dekade kemudian Misno makin menapaki jenjang menjanjikan. Ia diangkat sebagai PNS pada 2008 dan bertugas sebagai anggota Resor Bukit Lawang. 

Seiring waktu berjalan, Misno akhirnya mengemban amanah besar di posisi tertinggi dalam kariernya. Sejak 2015, ia dipercaya menjadi kepala Resor Marike selama empat tahun. Tantangannya berat, karena wilayah Marike termasuk paling rawan pembalakan liar, perburuan ilegal, dan perambahan hutan. Di tahun yang sama, Misno juga ditugaskan menjadi ketua tim SMART Patrol untuk wilayah Bohorok. Sampai sekarang. 

Tingkat risiko dan bahaya yang dihadapi Misno sangat tinggi. Tak jarang istri dan tiga anaknya berat melepasnya pergi ketika akan patroli berhari-hari ke hutan. Namun, seiring waktu keluarganya memahami. Bahkan anaknya sering mendoakan sang ayah supaya dapat pemburu.

“Doanya seperti itu,” kepala tertawa kecil, “cuma kita khawatir [karena] si pemburu yang kita hadapi ini kadang bawa senjata api, parang.”

Patroli di Jalan Sunyi
Ketika sedang beristirahat di kantor resor Bohorok, Misno menunjukkan kepada tim TelusuRI foto satwa yang tertangkap kamera jebak di dalam hutan/Mauren Fitri

Kisah dari 2.000 mdpl

Misno punya satu pengalaman tak terlupakan soal bersinggungan dengan pemburu liar. Beberapa waktu lalu kegiatan patroli rutin di pedalaman hutan dekat Bukit Lawang, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, berjalan seperti biasa. Biasanya, lokasi pintu masuk dan keluar rimba berbeda. Satu tim berkekuatan empat orang, dipimpin oleh Misno—kini sudah menjabat kepala Resor Bohorok—siap menempuh perjalanan 14 hari. Masing-masing bertanggung jawab membawa ransel berisi logistik dengan beban setidaknya seperempat kuintal. 

Di suatu pagi, tepatnya pukul 10.00, dari kejauhan mereka menemukan satu kamp kosong di dalam kawasan. Berdasarkan hasil observasi, diyakini kamp itu dibuat dan ditempati dua orang. Sebagai langkah awal tim memilih menunggu dan mengintai terlebih dahulu. Memantau di titik aman untuk bersembunyi.

Sampai hari gelap, belum ada tanda-tanda pergerakan di kamp. Sekitar pukul 19.00 Misno memutuskan untuk membagi tim. Ia menginstruksikan anggotanya menyebar.

“Di situ kebetulan ada tiga jalur [bercabang]. Kita bagi di sana dua [orang], di sini dua. Yang penting kita ini sama-sama kelihatan,” kata Misno, mengisyaratkan bakal fokus di dua jalur berdekatan. Tangannya mencoba menggambarkan situasi dan posisi tim di dalam hutan saat itu. Hanya sorot lampu kepala yang menjadi pelita di tengah hutan belantara.

Setengah jam kemudian, tiba-tiba terdengar pergerakan lain mendekat dari kegelapan. Dua pria tak dikenal muncul dan masing-masing spontan mengeluarkan senjata api. Momennya begitu cepat.

Misno, satu-satunya dalam tim yang membawa senjata api, refleks menodongkan pistolnya ke kepala seorang di antara keduanya. “Jatuhkan senjatamu!”

Perintah Misno tidak mendapat respons positif. Ketegangan meruak ke sela-sela urat nadi. Nyaris tanpa sekat satu mili pun. Dalam situasi segenting itu, satu gerakan fatal bisa menyebabkan peluru meletus. Adegan adu pistol koboi Arizona saja kalah mencekam.

Di tengah hening, Misno segera menggertak. Ia mengokang pistolnya dan memberi ultimatum dalam tiga detik. Pada hitungan kedua mereka akhirnya menjatuhkan senjatanya. Dua senjata angin rakitan dengan peluru kaliber 8 milimeter tergeletak di tanah.

Rupanya dua terduga pemburu liar itu tidak mau menyerah begitu saja. Dalam waktu sekelebat mata keduanya langsung menghunus parang. Misno kembali melepas perintah, “Jatuhkan parangmu!”

Lagi-lagi perintah Misno tidak dituruti. Misno sudah waswas. Meskipun demikian, tak kehilangan akal. Ia memberi kode khusus ke dua anggotanya agar menangkap satu orang dari belakang. Begitu pun yang dilakukan Misno dan satu anggota di sampingnya.

“Langsung kita borgol dan kita satukan borgolnya,” terang Misno. Kedua orang itu akhirnya bisa dijatuhkan. Parang ikut terlepas. 

Namun, urusan belum selesai. Tantangan selanjutnya mengadang. Menurut peraturan perundang-undangan, kedua tersangka harus segera dibawa ke penegak hukum dalam waktu kurang dari 24 jam. Misno dan tim menghadapi dilema. Mereka sedang berada di puncak bukit dengan ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tidak memungkinkan untuk berjalan selarut itu. 

“Kita jauh dari desa. Mau balik jauh, maju ke depan pun jauh,” batin Misno waktu itu. Akhirnya ia berinisiatif mengontak pimpinan lewat telepon satelit. Mengabarkan kondisi terkini dan meminta dispensasi waktu. Mereka beristirahat di lokasi penangkapan. Duduk berdekatan. Siaga menunggu sampai hari terang. 

Keesokan paginya, kira-kira pukul 06.00, tim patroli dikagetkan kejadian tak terduga. Dalam kondisi diborgol, kedua tersangka nekat melompat ke jurang tak jauh dari situ. Misno dan tim segera mengejar. Namun, karena banyak percabangan jalur, pencarian dalam sehari penuh tidak membuahkan hasil.

Satu-satunya petunjuk adalah perkiraan arah tujuan yang dilihat lewat peta. Ada jalur keluar hutan menuju sebuah desa. Melalui sambungan telepon satelit, Misno meminta bantuan tambahan personel dari kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Bohorok. 

Ketika tim gabungan tiba di desa yang dituju, ternyata dua orang itu tidak ditemukan. Mereka hanya menemukan sepasang borgol yang terlepas. Masyarakat setempat melindungi kedua tersangka.

“Saat ini [diketahui] mereka sudah lari ke daerah Jambi karena ketakutan,” jelas Misno.

Penyergapan tim patroli di tengah hutan tersebut memang tidak membawa bukti apa-apa. Hanya membawa logistik pemburu dari kamp yang masih utuh. Tidak terlihat barang bukti buruan, yang biasanya berupa burung-burung dilindungi, seperti rangkong dan murai daun. 

Memergoki pemburu satwa liar di tengah hutan adalah satu dari banyaknya pengalaman “seru” Misno selama menjadi polhut. Lebatnya hutan belantara Leuser tidak sesunyi yang dikira. Entah pemburu, satwa liar, cuaca buruk, atau apa pun. Tersimpan potensi malapetaka yang siap menerkam Misno dan tim patroli saja. Di luar kawasan, mara bahaya yang mengintai tidak kalah sangarnya. 

Bisa kita bayangkan, betapa banyaknya “musuh” Misno dari beragam kalangan.

  • Patroli di Jalan Sunyi
  • Patroli di Jalan Sunyi

SMART Patrol

Usai melihat barang bukti jerat satwa di Visitor Centre Bukit Lawang, kami dikejutkan dengan enam ransel hitam berkapasitas 80—90 liter di teras gedung. Bobot per ransel setidaknya 25—30 kilogram. Kondisinya benar-benar kuyup. Tetesan air tampak masih merembes dari dalam tas.

Misno memanggil enam orang pemilik ransel yang sedang bersantai di warung. Mereka adalah anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang patroil. Anak buah Misno, yang terdiri dari Jansen Christopher Ginting (pegawai pemerintah non pegawai negeri/PPNPN TNGL), Bram Umbari (PPNPN TNGL), Ferdinando Batubara (relawan masyarakat mitra polisi hutan/MMP), Ramlan (MMP), Alisyahbana (MMP), dan Cipta Limbong (MMP).

Begitu berkumpul satu meja dan berbincang, barulah ketahuan penyebab basahnya ransel beserta pemiliknya. “Mereka tadi mengombak,” kata Misno. 

Mengombak adalah istilah untuk menghanyutkan diri di sungai. Ransel dijadikan pelampung, mengikuti arus yang deras. Sore itu Tim Satu tiba dua hari lebih awal dari rencana 14 hari. Mereka memutuskan pulang mengombak karena ada personel yang cedera kaki. Sementara jika ditembak lurus, jarak kembali ke kantor resor Bukit Lawang masih sekitar 9—10 kilometer. 

Untuk jarak sejauh itu, walaupun risikonya besar—entah terbentur batu, batang pohon, atau terjebak pusaran—ngombak selama dua jam lebih logis dan menghemat tenaga daripada berjalan kaki dua hari. Itu pun dengan syarat air sungai sedang surut. Jika terlalu besar, mereka harus menunggu keesokan harinya.

Tidak ada trik khusus untuk bisa mengombak selain tetap fokus dan pasrah. “Minimal sudah pasti kakinya kena batu. Tidak bisa dielakkan lagi,” kata Misno.

Selama patroli, Tim Satu SMART Patrol mendapatkan sejumlah data penting. Di antaranya jejak kaki dan pakan satwa, kondisi pal batas kawasan hutan, hingga bekas gubuk milik masyarakat yang mencari ikan di dalam kawasan. Tim tidak menemukan tanda-tanda keberadaan perambah hutan atau pembalak liar. 

“Data ini kita kumpulkan dan kita bawa ke Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III TNGL untuk dievaluasi,” jelas Misno. Jika kemudian ditemukan kendala lain, misal kasus pembalakan atau perburuan dengan banyak orang, Tim Satu meminta bantuan tambahan personel ke Tim Dua. 

Sesuai namanya, SMART atau Spatial Monitoring And Reporting Tools, merupakan sebuah modul teknis untuk penerapan patroli pintar di kawasan hutan. Dirancang oleh WCS (Wildlife Conservation Society), organisasi nirlaba mitra TNGL.

Jadi, SMART Patrol adalah patroli hutan berbasis data. Terdapat perangkat yang memudahkan tim patroli menghimpun dan menganalisis banyak data di hutan. Termasuk data patroli itu sendiri, lalu keanekaragaman hayati, potensi ancaman, dan rencana aksi darurat di lapangan. Tujuannya untuk efisiensi dan efektivitas. Sehingga Misno dan anggota tim tidak boros energi dan pikiran saat di hutan.

Salah satu rute patroli terjauh yang pernah ditempuh tim SMART Patrol pimpinan Misno adalah dari Bukit Lawang ke Aceh Tenggara. Patroli lintas provinsi. Jarak riilnya bisa mencapai 60 kilometer. Tim bisa melahap jalur sepanjang itu selama 14 hari, atau bahkan 18 hari karena kendala di lapangan yang tak terprediksi. Di tingkat nasional, Misno mengaku tim SMART Patrol TNGL, khususnya wilayah Bohorok—Bukit Lawang, telah mencatat angka 160 kilometer dalam setahun. Tertinggi dibandingkan tim SMART Patrol taman nasional lainnya.

Cuaca ekstrem juga bisa memengaruhi pergerakan tim SMART Patrol. Menurut Misno, beberapa area memiliki medan magnet tinggi. Terutama daerah punggungan yang ditumbuhi banyak pohon damar. Dalam kondisi hujan, tim patroli rawan tersambar petir. 

Bram menyebut dampak lainnya dari cuaca yang tidak bisa diprediksi. “Kalau cuaca agak tinggi [hujan deras] sungai [bisa] banjir, jadi agak payah untuk menyeberang,” ujarnya, “kadang kalau musim kemarau pun, bila kami lagi di punggungan agak sulit dapatkan [sumber] air.”

Adapun gangguan atau kesulitan lainnya, seperti tenda kebanjiran, kemasukan ular atau lipan, mendengar suara harimau dari kejauhan, sudah biasa untuk Misno dan kawan-kawan.

Eksistensi tim SMART Patrol bisa menjadi bentuk kedekatan taman nasional dengan masyarakat di desa penyangga. Misno pun berharap bisa terus bekerja sama dengan masyarakat, agar saling memahami fungsi kawasan hutan konservasi. Bahkan tim SMART Patrol pun tidak sekadar menjalankan tugas pengamanan, tetapi juga berhasil “menginsafkan” mantan pemburu untuk ikut menjadi mitra polisi hutan.

Dari enam anggota Tim Satu, ada dua orang yang direkrut karena mau “bertobat”. Alisyahbana, tukang setrum ikan di Sungai Bohorok; dan Ramlan, mantan pemburu. Nama yang disebut terakhir berhenti total jadi pemburu, setelah Misno melakukan komunikasi dan pendekatan persuasif terus-menerus. 

“Capeklah, Bang. Kan kalau berburu kucing-kucingan terus [dengan petugas],” kata Ramlan. “Alhamdulillah, Bang. Lebih enak kayak begini.”

Mantan pemburu atau perambah yang menjadi tidak hanya aktif terlibat patroli. Misno kadang mengajak mereka ikut kegiatan lain. Misalnya, menjadi fasilitator untuk program-program organisasi nirlaba yang bekerja sama dengan TNGL. Dan tidak menutup kemungkinan mencari mitra-mitra baru lainnya.

Patroli di Jalan Sunyi
Misno bersama anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang setelah 12 hari patroli/Mauren Fitri

Bekerja menyentuh kesadaran

Misno sejatinya kasihan dengan para perambah hutan atau pemburu satwa yang ia tangkap. Terutama kelompok berskala kecil. Beberapa di antara mereka adalah saudara atau tetangganya sendiri. Sebagian besar terpaksa melakukannya demi mencukupi kebutuhan perut.

Sebagaimana terjadi di banyak kawasan konservasi yang rawan konflik, faktor ekonomi masih jadi alasan terbesar. “Mereka belum sejahtera,” kata Misno.

Ia memberi satu contoh. Di luar pariwisata, sebagian masyarakat di kawasan penyangga dulunya menanam karet. Sampai kemudian harga karet anjlok. Hasil panen tidak sepadan dengan biaya produksi. Sementara mereka perlu pemasukan tambahan. Butuh biaya untuk hidup, membayar uang sekolah, dan lain sebagainya.

Sebagai jalan keluar, salah satu pilihan termudah saat itu adalah menanam kelapa sawit. Bukan kelapa sawitnya yang menjadi persoalan, melainkan pembukaan lahan yang merambah bagian dalam kawasan. 

Untuk beberapa kasus ringan, terutama pembukaan lahan perorangan yang melebihi beberapa meter dari batas kawasan, Misno menganggap mereka hanya belum tahu saja. Dengan segera dia langsung berkoordinasi ke pemilik lahan. Melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman batas kawasan secara tegas.

Adapun penanganan kasus perburuan satwa memang lebih menantang. Terutama yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar gelap, seperti rangkong, orang utan, gajah, atau harimau. Bagi Misno, lebih menakutkan bertemu dengan manusia (pemburu) daripada satwa-satwa tersebut.

Selama empat tahun, fokus utamanya adalah beradaptasi dan berbaur dengan masyarakat setempat. Berupaya melakukan pendekatan persuasif. Walau memang untuk kasus berat ia bisa sangat tegas dan represif dalam penegakan hukum.

Salah satu rutinitas Misno ketika pulang dan tiba di sebuah dusun pertama di luar kawasan, biasanya ia akan singgah ke beberapa rumah warga. Bersilaturahmi dan sosialisasi kepada satu per satu warga. Dari pintu ke pintu. Kadang-kadang menumpang tidur. Sebagian orang cepat memahami dan menyadari, tetapi tidak sedikit yang prosesnya memerlukan waktu lebih lama. Cara seperti ini ia terapkan sejak menjadi seorang rimbawan biasa sampai sekarang menjabat kepala Resor Bohorok.

Langkah tersebut ampuh untuk menyiasati keterbatasan sumber daya manusia. Misno tak ingin minimnya personel jadi alasan penghambat. Ia seperti bekerja untuk dua tujuan besar, yaitu menjaga hutan sekaligus menyentuh kesadaran masyarakat.

Menjadi pembicara seputar patroli hutan konservasi dalam kegiatan kelompok mahasiswa pencinta alam di ekowisata Batukatak/Deta Widyananda

Perjuangan tanpa akhir

Selepas wawancara di Bukit Lawang, malam harinya (23/09/2023) Misno mengajak TelusuRI ke Batukatak, Lau Damak, Bohorok. Ia hendak mengisi acara organisasi mahasiswa pencinta alam di salah satu tempat camp di daerah wisata tersebut. 

Perjalanan dari kantor Resor Bohorok—tempat kami menginap—menyusuri jalanan yang gelap di antara perkampungan dan perkebunan kelapa sawit. Dari kejauhan tampak pegunungan memanjang yang masuk kawasan TNGL. Di antara gugusan itu, ada satu puncak yang sepintas terlihat lebih menjulang daripada puncak bukit lainnya.

“Puncak itu sudah kami jelajahi. Namanya Tusam Seraga, ketinggian sekitar 1.500-an mdpl.  Ada pilar bikinan Belanda di sana. Banyak [ditemukan] kubangan-kubangan bekas mandi atau minum satwa”, jelas Misno, “jalur ke sana tembus 14 hari [jalan kaki].”

Durasi perjalanan yang disebut Misno menunjukkan tugas patroli hutan tidak bisa dianggap enteng. Belum lagi “pekerjaan rumah” lainnya. Misalnya penanganan kasus jual beli satwa dan kayu ilegal, atau kasus-kasus lain yang semestinya menjadi ranah kerja BKSDA setempat. Misno seperti harus meraga sukma agar mampu menjangkau seluruh kawasan. Apalagi di wilayah kerja yang bahkan lebih luas dari Kota Medan.

Akan tetapi, lagi-lagi, ia merasa terpanggil untuk segera bergerak cepat. Selama atasannya mengizinkan (Kepala BPTN Wilayah III), ia terus tancap gas seperti tidak mengenal kata akhir. Tidak terlihat raut lelah atau keluh kesah. Misno seolah menganggap pekerjaannya sebagai hobi. 

Pengabdian Misno untuk TNGL telah merengkuh seperempat abad hidupnya. Namun, pancaran semangatnya mengisyaratkan ia tak akan berhenti bergerak melindungi hutan Leuser. Alam liar dan kesunyian hutannya justru menjadi sumber energi Misno dan tim andalannya.

Selain patroli rutin, Misno juga gencar bersosialisasi dengan masyarakat. Tanpa menggurui, ia selalu menyelipkan edukasi tentang konservasi. Untuk beberapa kelompok warga yang terkendala kekurangan untuk lebih berdaya, ia upayakan lebih agar mereka memiliki akses ekonomi alternatif. 

“Ya, salah satu contoh [cara] untuk masyarakat sejahtera, kita harus bantu mereka,” tegasnya. Beberapa program sudah berjalan. Antara lain meluncurkan bantuan mikro berkala dari Balai Besar TNGL, membentuk kelompok tani dan ternak, sampai mendorong usaha madu trigona.Sepanjang waktu berhubungan dengan masyarakat, baik untuk kegiatan sosialisasi atau patroli, ia selalu menyelipkan pesan. Singkat saja, “Jagalah hutan.” (*)


Foto sampul:
Misno, polisi hutan senior dan ketua tim SMART Patrol wilayah Bohorok, Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Prolog: Arah Singgah 2023