Itinerary

10 Alasan untuk Selalu Menulis Catatan Perjalanan

1. Karena ingatan seperti warna yang gampang pupus

Umur 31, saya backpacking sendirian melintasi Vietnam tanpa membawa catatan. Karena waktu itu saya punya kamera baru, saya cuma sibuk memotret, dan tidak terpikir untuk menuliskan cerita perjalanan. Tidak mengherankan jika pada akhirnya yang tersisa dari perjalanan itu cuma sebuah kotak sepatu penuh foto orang dan tempat yang namanya tidak bisa lagi saya ingat. Ditambah lagi, karena pergi sendiri, saya tidak bisa mengandalkan memori travelmate untuk mengingat detail. Pendeknya, saat itu saya lupa betapa berharganya sebuah catatan perjalanan.

Saat melanglang buana, seringkali kita menganggap bahwa perjalanan adalah sekadar sesuatu yang mesti “diabadikan” alih-alih sebagai pengalaman “sehari-hari” yang mesti dirasakan. Alhasil kita hanya sibuk memotret—apalagi sekarang hampir semua orang punya kamera digital dan memori penyimpanan berkapasitas besar—dan yakin bahwa foto-foto itu akan membantu kita untuk mengingat perjalanan itu di kemudian hari. Perjalanan yang kita lakukan itu sendiri memang sangatlah menyenangkan—tapi, kok, tetap saja bisa lupa? Iya. Kita lupa, dan kemudian kita akan menyesal kenapa tidak mencatat perjalanan itu.

Tak peduli seunik, sekuat, seluarbiasa, atau semenyentuh apapun ceritamu, ingatan belaka tak bisa kamu andalkan untuk mengingat hal-hal kecil. Namun sebuah jurnal, buku catatan, adalah semacam asuransi perjalanan pribadi, yang melindungi ingatanmu agar tidak pupus begitu saja. Inilah alasan utama kenapa banyak pejalan menulis catatan, dan sesederhana apapun catatan itu, tetap saja berharga.

2. Nggak ada memorabilia yang lebih keren dari buku catatan usang

Buku catatan perjalanan akan tersimpan di laci atau gudang dan diselimuti debu selama bertahun-tahun bahkan bergenerasi-generasi, dan ketika dibaca akan memunculkan sensasi yang hanya mampu diberikan oleh buku-buku tua. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding membolak-balik jurnal tua penuh coretan, noda bekas kopi, gambar-gambar lucu, dan tiket bis.

Bertahun-tahun dari sekarang, suatu hari ketika jurnal buluk itu kamu temukan kembali secara tak sengaja, membalik halaman-halamannya akan terasa seperti sedang melakukan perjalanan waktu—jurnal seperti mesin waktu Doraemon yang mengantarkanmu berkelana ke masa-masa “nekatmu,” saat kamu bepergian jauh, penuh rasa ingin tahu, untuk terhubung dengan dunia dan orang-orang yang menghuninya. Buku catatan perjalanan lebih dari sekadar kumpulan kata-kata; ia adalah artefak pribadi.

Road trip via pixabay.com

3. Karena kamu perlu tambatan

Dari sisi apapun dilihat, traveling bermanfaat. Ia seperti sebuah meja prasmanan dengan menu seperti rasa ingin tahu, frustrasi, kesadaran, kesenangan, keberanian, kerapuhan, tekanan, keterasingan, cekikikan, kebosanan, gairah, kesendirian, kekaguman—semuanya. Selain mengajami gejolak emosi, dalam perjalanan kamu juga menyerap informasi dan menyaksikan fenomena baru dengan mata kepala sendiri. Nah, sebuah buku catatan adalah bilik untuk beristirahat bagi seorang pejalan, sebuah ruang untuk merenungkan semua yang ia alami sekaligus laci untuk menyimpan semua pengalaman. Menulis sama saja dengan menambatkan kita, membuat kita lebih santai dan merenung secara lebih mendalam yang pada akhirnya akan membuat kita mengartikulasikan pengalaman dengan lebih jujur dan tepat dibanding sekadar berpikir dan berbicara. Menurut saya inilah yang paling berharga dari sebuah catatan perjalanan; dipaksa, secara rutin, untuk santai dan memperhatikan.

Menulis jurnal menuntut ketenangan dan tingkat konsentrasi yang ekstrem. Jika kita meluangkan waktu selama beberapa menit sehari di depan buku catatan dan menuliskan tentang tempat yang baru saja kita datangi dan apa yang sekarang sedang kita rasakan, ini akan menjadi semacam latihan. Menulis jurnal membebaskan kita dari kenangan masa lalu dan angan-angan masa depan—tempat yang baru saja kita datangi atau destinasi selanjutnya. Kita bisa melepas segala harapan dan ketakutan sebab yang kita hadapi adalah sekarang, kemudian sesaat setelahnya, dan setelahnya lagi. Jika dilatih terus, latihan menulis perjalanan akan membentuk sebuah kebiasaan dalam diri kamu, yakni ketenangan yang juga akan bermanfaat di segala lini kehidupan.

4. Dan ruang privat yang tak bisa ditembus orang lain

Ketika bepergian sendirian, sebuah buku catatan akan menjadi teman. Sebaliknya, jalan-jalan bersama banyak orang berati kita bisa berbagi dengan orang lain namun tidak punya privasi. Kita berbagi kamar, tumpangan, makanan, jamban; saling meminjamkan peta, peralatan, dan kaos kaki kering. Namun buku catatanmu adalah benda pribadimu. Ia takkan pernah dipinjam oleh rekanmu. Maka buku catatan menjadi semacam markas, sebuah oasis untuk menenangkan diri saat permasalahan menghampiri dalam perjalanan—sebuah kuil atau altar pribadi di mana hanya kamu yang punya akses untuk masuk.

Petualangan via pixabay.com

5. Menulis catatan perjalanan adalah kendaraan untuk menemukan jati diri

Jika catatan biasa adalah portal untuk menumbuhkan kesadaran, travelog adalah medium untuk menemukan diri. Dipasangkan dengan pengalaman melakukan perjalanan, sebuah catatan perjalanan akan memberikan pencerahan, yang berbeda dari genre tulisan lain. Perjalanan membolak-balikkan paradigma seseorang dan memberikan kuliah singkat mengenai makna cita, keterikatan, kebencian, dan ketidakpedulian.

Dalam perjalanan, kita terus menerus dihadapkan pada hal-hal baru—keadaan selalu berubah. Meninggalkan rumah berarti menyerahkan kontrol atas diri, membebaskan diri dari rutinitas, dan menghadapi kerikil tajam dan segala ketidaknyamanan (keniscayaan dalam sebuah perjalanan) di setiap perempatan. Kita terus menerus dituntut untuk merenungkan kembali kepercayaan yang selama ini kita anut, sebagaimana juga konsep-konsep sosial dan budaya yang selama ini kita anggap benar—dari mulai bagaimana cara memberi hukuman pada anak, makanan untuk sarapan, cara mandi, berjabat tangan, dan berpakaian. Mencatat jurnal sembari merenungkan penemuan dan hambatan selama kamu jalan-jalan adalah kesempatan langka dan luar biasa yang tidak semua orang bisa alami.

6. Kamu nggak pernah tahu jika di suatu saat kamu akan perlu informasi kecil yang tersimpan dalam catatan

Pada dasarnya sebuah travelog adalah laci untuk menyimpan informasi yang kamu perlukan—misalnya nama hotel di Ende tempat kamu bermalam, nama pelukis yang kamu lihat di galeri lukisan, atau keluarga yang menampungmu di Pulau Komodo, atau resor mewah di Pulau Moyo. Catatan perjalanan dapat menyimpan segala info yang kamu perlukan, terutama saat kamu tidak ingin membagikannya dengan para pembaca blogmu atau teman-teman milis.

Beberapa fotografer punya catatan berupa lokasi pemotretan dan pengaturan kamera, sementara para chef menyimpan coretan mengenai resep dan daftar bahan-bahan masakan dalam jurnalnya agar bisa digunakan di kemudian hari. Kalau kamu adalah orang yang menggilai detail, misalnya, kamu bisa membuat sebuah tabel untuk diisi dalam perjalanan. Akan mudah sekali menemukan informasi di kemudian hari, info seperti restoran favorit, penginapan, toko, lokasi kemping, atau spa yang nanti bisa kamu rekomendasikan ke teman-teman pejalanmu (atau lebih baik lagi, info buat dirimu sendiri).

7. Menulis catatan perjalanan adalah latihan menulis paling efektif di dunia

Dalam Fresh Air Fiend, Paul Theroux berkomentar, “Ketika orang bertanya pada saya apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menjadi seorang penulis, jarang sekali saya menyarankan untuk membaca banyak buku. Saya anggap orang itu punya kegemaran pada tulisan, dan kesendirian, dan tak peduli pada kekayaan—jadi saya bilang, “Kamu ingin jadi penulis? Pertama-tama, keluarlah dari rumah.”

Perjalanan bisa membuat kita semua menjadi penulis, dan menulis catatan perjalanan membuat potensi itu menjadi kenyataan. Kalau punya hal-hal berikut, kamu akan bisa menjadi seorang penulis: perjalanan yang menyuplai materi dan inspirasi, travelog yang menyediakan kanvas yang menuntut komitmen dan keseriusan, dan kamu, pejalan yang gagah berani, yang menjalani petualangan itu.

Salah satu keuntungan melakukan perjalanan adalah begitu kita melintasi perbatasan kita tidak perlu lagi mencari inspirasi—inspirasi bertebaran di mana-mana. Melangkah keluar dari bandara kita langsung dikelilingi oleh tanaman dan bunga aneh yang selama ini hanya kita lihat di TV. Kita berinteraksi dengan orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak kita pahami, mengamati kebiasaan-kebiasaan yang berbeda seratus-delapan-puluh-derajat dengan budaya kita, membeli souvenir unik dengan mata uang asing, menyantap sarapan yang kamu tak tahu terbuat dari apa. Bagi sebagian orang, kejadian di atas mungkin menjengkelkan. Namun bagi seorang penulis, itu adalah durian runtuh.

Mencatat via pixabay.com

8. Kreativitas muncul saat kamu “di luar”

Pablo Picasso berkata, “Semua anak adalah seniman. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana tetap menjadi seorang artis saat mereka tumbuh besar.” Persoalan itu, saya rasa, bisa diselesaikan oleh perjalanan. Traveling membuat kita kembali muda, mengembalikan jiwa seni yang tertimbun semakin dalam ketika kita tumbuh dewasa. Berada di tempat baru, kita akan kembali menatap dunia dengan mata penuh rasa ingin tahu seperti anak kecil berumur enam tahun, dan kita akan memperoleh ramuan yang membuat kita kembali menjadi seniman: inspirasi, waktu luang, kanvas portabel (buku catatan), dan materi-materi menakjubkan untuk diolah menjadi sebuah “karya seni.” Selain traveling apa lagi coba cara yang lebih pas untuk menumbuhkan kembali kreativitas?

Mengisi buku catatan dengan gambar-gambar menarik tidak hanya menyenangkan; itu juga akan membuatmu merasa lebih mengenal sebuah destinasi, membantumu menggali sisi-sisi lain dari tempat tersebut. Dengan menyertakan karya seni berbentuk apapun dalam buku catatanmu berarti kamu mengabadikan kesan terhadap sebuah destinasi—berdasarkan observasi yang mendalam. Ketika kamu pulang, kau akan membawa sebuah jurnal berisi gabungan antara tulisan dan gambar—memorabilia untuk pengalaman dan perjalananmu.

9. Jurnal yang ditulis bareng akan membuat hubungan lebih erat

Kalau kamu jalan-jalan bersama teman atau pasangan, membuat sebuah buku catatan bersama akan membuat kalian lebih dekat dan akan menyatukan kalian. Dampaknya tidak hanya itu: Pertama, dengan berbagi catatan perjalan, kemungkinan besar kalian menjadi lebih solid dan tidak akan gampang bertengkar. Kemudian, ketika kamu tidak sedang merasa bersemangat untuk menulis, mungkin sebaliknya dia lagi bersemangat—kalian akan saling mengisi. Menulis jurnal bersama orang lain juga akan memberikan nuansa baru pada tulisanmu. Satu bonus lagi adalah kamu tak perlu lagi khawatir tidak bisa mengingat semua detail. Sebab, temanmu pasti akan membantu mengisi detail-detail yang mungkin terlupakan olehmu. Misalnya ketika kamu terjatuh di lubang menganga di bagian belakang bioskop kapal Bukit Siguntang atau disundul gajah di Way Kambas.

Kalau kamu jalan-jalan berkelompok, kamu bisa menyatukan teman-teman seperjalanan dengan membuat sebuah buku catatan perjalanan kelompok yang bisa diisi oleh semua orang. Di akhir perjalanan, fotokopi buku itu dan bagikan kepada mereka semua. Kamu juga bisa membuat sebuah scrapbook berisi gambar, kutipan, nama-nama teman seperjalanan, inside jokes, hal-hal menarik, dan detail-detail lain. Meskipun kalian bersama sepanjang waktu, masing-masing darimu akan menulis dari sudut pandang yang berbeda. Kamu akan belajar banyak hal dari perspektif mereka mengenai hal-hal yang kalian alami. Pada akhirnya, ceritamu dan teman-temanmu akan menghasilkan sebuah kisah indah yang saling melengkapi.

10. Penyaluran terbaik bagi stres yang kamu alami dalam perjalanan

Perjalanan tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang  ada momen ketika kamu kesal. Pada saat-saat nggak enak seperti itu, buku catatan perjalanan bisa menjadi sekoci penyelamat. Sesuatu yang bisa diandalkan saat kamu terjebak dalam badai kejadian tak menyenangkan dalam perjalanan. Ketika kamu kangen rumah, merasa lemah tak berdaya, frustrasi, atau takut, kamu bisa melampiaskannya dengan menulis di buku catatan—dengan menggunakan jurnal sebagai semacam suaka dan pengingat bahwa bagaimanapun juga kamu selalu berusaha untuk tetap tegar. Ketika kamu mulai dilanda amarah (atau mendadak kehilangan selera humor), kamu bisa menuliskan itu di jurnal. Itulah gunanya buku catatan. Jurnalmu akan menjagamu untuk tetap waras, seperti psikiater pribadi. Nanti kamu pasti akan terheran-heran ketika sadar bahwa kamu lebih jujur pada jurnalmu sendiri ketimbang kepada psikiater.


Sumber: Lavinia Spalding, www.matadornetwork.com

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *