Teknologi terkini mengantarkan saya dan Nyonya ke sebuah restoran lawas: Toko Oen. Masih pagi ketika itu. Matahari yang bersinar miring mengiringi kami memasuki salah satu gedung tua di sekitar Alun-Alun Malang itu.
Bangunan itu peninggalan zaman kolonial. Dindingnya tebal. Etalase kue dan jajanan hangat (hot snacks) menyambut kedatangan kami. Meja-meja tua yang dikelilingi kursi yang tak kalah uzur bertebaran dalam ruangan. Namun, setelah saya lihat lebih dekat, ada beberapa meja “baru” yang terselip di antara mebel-mebel dari zaman baheula itu.
Dari pintu masuk tampak sebuah spanduk besar berbahasa Belanda yang mudah sekali ditangkap mata: “Welkom in Malang—Toko ,,OEN” die Sinds 1930 Aan de Gasten Gezelligheid Geeft.”
Sebuah gambar Garuda Pancasila yang didampingi foto presiden dan wakil presiden menempel di dinding, seolah-olah menegaskan bahwa Indonesia sudah tak lagi dipimpin oleh seorang gubernur jenderal dari Kerajaan Belanda.
Menu berbahasa Inggris dan Belanda
Pagi itu Toko Oen sudah ramai. Para pelanggan bercengkerama sambil menikmati hidangan. Beberapa pramusaji berkostum putih berkeliaran di antara meja-kursi mengantarkan menu dan makanan yang dipesan pelanggan.
Sayang sekali kami berdua tidak kebagian bangku tua. Andai tiba lebih cepat, kami pasti akan dapat tempat duduk yang nyaman di dekat jendela.
Bagi saya, yang tersaji di Toko Oen adalah pemandangan yang agak surealistis seperti lukisan The Persistence of Memory Salvador Dali. Sementara pramusaji-pramusaji berkostum jadul lalu-lalang di dalam, di luar sana mobil-mobil tercanggih sibuk unjuk gigi membunyikan klakson. Memandang jalanan dari dalam Toko Oen, saya seperti seorang time traveller yang sedang mengintip masa depan lewat jendela mesin waktu.
Beberapa detik setelah kami memilih tempat duduk, seorang pramusaji menghampiri sambil membawa dua lembar menu.
Di menu itu tak ada tulisan berbahasa Indonesia, hanya bahasa Belanda dan Inggris. Tapi kamu jangan khawatir. Kalau tak paham, para pelayan berkostum putih itu akan dengan senang hati menjelaskan apa yang ada dalam menu untuk kamu.
Setelah memilih-milih sebentar, kami pesan dua jenis old-fashioned ice cream. Saya pesan seporsi single scoop es krim stroberi, sementara Nyonya memilih tutti frutti. Driver taksi online yang tadi mengantarkan kami menyebut bahwa es krim adalah kuliner paling recommended dari Toko Oen. Saatnya membuktikan!
Sudah berganti pemilik
Sambil menunggu pesanan datang, saya berkeliaran. Dinding dalam Toko Oen lumayan menarik. Banyak foto repro yang dipajang. Sebagian besar adalah foto bangunan-bangunan tua di sekitar Jalan Kayutangan. Ada pula beberapa artwork warna-warni bernuansa kereta api alias spoor.
Di salah satu sudut, pohon natal berdiri tegak ditemani sebuah organ tua berwarna hitam. Konon pada waktu-waktu tertentu akan ada musisi yang memainkan organ itu untuk menghibur pengunjung Toko Oen. Sebuah radio tua dipajang dalam kotak kaca transparan.
Saya tertarik untuk mendekati pigura berisi potongan artikel Kompas yang mengulas Toko Oen. Dari sanalah saya tahu bahwa rupanya pemilik yang sekarang bukanlah keturunan Mr Oen yang merintis usaha restoran ini tahun 1930 lalu.
Setelah Mr Oen tutup usia, toko ini dikelola oleh keturunannya, sampai akhirnya seorang bernama Danny M tertarik untuk mengakuisisi Toko Oen. Tahun 1989 silam, Danny M membeli gedung Toko Oen beserta segala perabot yang ada di dalamnya.
Resep Toko Oen yang diwariskan turun-temurun
Setangkup es krim stroberi dan sebilah tutti frutti pun datang. Konon, resep makanan dan minuman di Toko Oen diwariskan secara turun-temurun dari satu koki ke koki lainnya (yang bisa tahan jadi karyawan Toko Oen sampai 30 tahun!).
Karena homemade dan resepnya diwariskan turun-temurun, es krim stroberi itu terasa lembut sekali di mulut. Rasa stroberi dan krimnya melebur jadi satu. Tiada yang lebih dominan. Begitu juga Tutti Fruttinya. Aroma coklat dan krim berpadu dengan rasa rempah yang menimbulkan sensasi tersendiri di lidah.
Rasanya memang tidak menggelora, tetapi hangat. Namun barangkali ini memang disengaja. Jika dilengkapi dengan perasa yang terlalu dominan, barangkali konsumen malah akan lebih cepat bosan.
Mau tak mau ketika mencicipi es krim Oen saya teringat pada toko es krim Tip Top di Jalan Mangkubumi Yogyakarta (sekarang Jalan Margo Utomo) yang sekarang sudah tutup. Sama seperti Toko Oen, kedai itu juga terletak di dekat pusat keramaian. Hanya saja, dibanding Oen, bangunan Tip Top lebih kecil. Sepi pengunjung membuat kedai es krim tertua di Jogja itu tutup. (Tip Top di-rebrand menjadi Olddish Tip Top.)
Selain punya gedung yang lebih besar dan varian makanan yang lebih banyak, Toko Oen juga lebih social-media friendly. Selain itu, banyak juga blog atau media cetak yang mengulas tentang restoran penyintas zaman ini. Makanya Toko Oen masih bisa bertahan melawan gilasan roda waktu.
Es krim kami pun habis. Rasanya tak enak hati buat lama-lama di sana. Konsumen terus-menerus berdatangan, sementara yang di dalam terus bertahan. Setelah membayar kami keluar. Masih banyak hal-hal menarik lain yang bisa kami temui di Malang.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
4 comments
Resto ini sangat vintage. Suasana tempo doeloe nya sangat terasa. Dan ini yg dicari banyak pelanggan di resto ini. Selain tempat yg vintage, menu makanannya pun juga klasik banget… es krim nya juga sangat jadul…. we love it….
Bener banget, Kak. Suasananya bikin pengen mampir terus. 🙂
Tempatnya vintage, berasa banget nuansa Hindia Belandanya. Makanannya tasty, rasa es krimnya unik, cuman kayaknya terlalu mahal satu scoop 25rb. Tapi nggak masalah lah buat nyobain sekali kali. Recomended place kalo misal lagi ada di Malang.
Iya, Kak. Yang ditawarkan sama Toko Oen adalaha suasananya. Dan toko ini berhasil menghadirkan suasana lawas yang bakalan susah dilupakan. 🙂