Di antara bangunan kolonial tahun 1600-an yang berdiri megah sampai hari ini, orang-orang duduk di atas rumput hijau, mendengar pembacaan puisi dengan beragam gaya. Momen kebersamaan antara teman dan puisi ini berlangsung dari sore lepas asar hingga matahari tenggelam menuju waktu Magrib di Makassar International Writers Festival (MIWF)—sebuah festival yang mempertemukan penulis dan pembacanya, berlangsung selama empat hari, 8—11 Juni 2023, di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan.
MIWF tidak asing bagi para penikmat buku di Kota Makassar. Setelah menemukan hal-hal yang menyenangkan dari MIWF tahun lalu, tahun ini saya memutuskan untuk ikut ambil bagian sebagai volunteer, spesifik sebagai liaison officer (LO).
Menjadi volunteer di tengah riweh-nya pekerjaan dan kegiatan yang lain menjadi salah satu tantangan saat berkontribusi di perhelatan tersebut. Namun, tampaknya takdir memang menempatkan saya untuk menyambung harmoni dalam rangkaian MIWF selama empat hari. Pada akhirnya ini menjadi salah satu pengalaman terbaik saya sepanjang 2023.
Bertanggung jawab dalam menyukseskan kegiatan ini membuat saya menjadikan MIWF sebagai prioritas utama. Keputusan tersebut, lalu menarik banyak hal-hal baik: bertemu teman-teman yang sudah lama tidak jumpa, teman baru selama kegiatan, penulis-penulis yang telah saya baca karyanya sejak lama, serta penulis-penulis yang membuatku ingin segera membaca buku mereka.
Tahun ini, MIWF mengusung tema Faith dengan harapan mampu membuka percakapan-percakapan terkait agama, kepercayaan, nilai, dan tujuan hidup manusia; hingga percakapan dalam membuka perspektif membangun harapan, daya tahan, dan menciptakan keseimbangan untuk menemukan makna baik. Selain itu, MIWF terasa begitu berbeda dari tahun sebelumnya karena dibuka dengan mengenang kepergian Lily Yulianti Farid, direktur dan pendiri MIWF. Selama gelaran MIWF, saya menangkap setiap panggung mempersembahkan karyanya untuk Kak Lily, seorang pegiat yang telah banyak mewariskan semangat literasi.
Panggung Kreatif MIWF dan Komitmen Nol Sampah
Panggung utama MIWF menjadi salah satu yang paling menarik perhatian saya. Dalam kemasan acara malam “Under the Poetic Star”, panggung MIWF membuka kesempatan bagi para pengunjung dan relawan untuk turut mengisi kedua sisinya dengan tanaman yang mereka bawa. Konsep ini melambangkan pertumbuhan dan keyakinan, terlihat dari pot-pot tanaman memenuhi dasar panggung pada hari pertama dan semakin banyak tiap harinya.
Pun, penampilan tiap malam di “Under the Poetic Star” selalu menggugah hati para penontonnya. Saya pun mulai mengenal beberapa musisi hebat seperti Dian ToD dan Reda Gaudiamo. Saya juga menikmati penampilan Kapal Udara bersama Kak Theoresia Rumthe, serta tenggelam dalam ramainya penonton yang membuncah di hari terakhir mengiringi penampilan Pusakata, menutup empat hari yang berkesan di Benteng Fort Rotterdam. Selain penampilan teatrikal dan nyanyian yang menghanyutkan, musikalisasi puisi “Hujan di Bulan Juni” dari Reda Gaudiamo membuat saya menangis malam itu.
Panggung utama tersebut merupakan kolaborasi MIWF dan Siku Ruang Terpadu yang menggunakan bahan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Membuat saya terkesima dengan penggunaan metode pada layarnya. Penembakan cahaya dilakukan dari belakang, lalu kain semitransparan berfungsi sebagai layar. Seolah bertransformasi layaknya screen besar saat festival atau konser musik pada umumnya.
Tak hanya persoalan panggung yang menggunakan bahan berkelanjutan, faktanya sejak 2019, MIWF telah memulai komitmen nirsampah. Festival ini telah mengedukasi para relawannya untuk tidak membawa tempat makan sekali pakai, air mineral, dan sedotan plastik. Komitmen ini juga diterapkan ke tenda-tenda yang berjualan aneka produk dan makanan. Seluruh makanan dan minuman yang dijual tidak menyediakan wadah plastik, hanya menggunakan gelas kertas atau paper wrap. Selain itu, penyelenggara juga menghitung jejak karbon dari seluruh sampah dari gelaran ini, termasuk juga jejak karbon penerbangan penulis-penulis dari luar Sulawesi Selatan dan transportasi selama MIWF, yang akan diganti dengan penanaman pohon.
Bertemu dan Bercerita
Bertemu dan bercerita juga menjadi bagian terbaik dari MIWF tahun ini. Saya pun berkesempatan menghabiskan waktu-waktu menyenangkan dengan orang-orang yang telah lama tidak saya temui, seperti beberapa kawan saat mengurus pameran di Rappo, kawan-kawan Kelas Inspirasi, kolega di Kebun Tetangga Samata, beberapa orang yang saya kenal sewaktu kegiatan ekspedisi pangan olahan Kata Kerja, kawan-kawan komunitas, dan banyak lainnya.
Saya juga berkesempatan bertemu dengan salah satu penulis dengan karya yang saya nikmati, yakni Fatris MF, seorang penulis dari Padang. Kami banyak bercerita soal banyak hal, terutama perihal penjelajahan dan tempat-tempat menarik yang pernah ia kunjungi. Saya banyak bercerita dengan Fatris bersama Masli, seorang penulis lokal Sulawesi dan kawan yang telah saya kenal sejak lama.
Mengagumi Sosok Uda
Sebagai seorang naradamping, saya sangat beruntung mendampingi Ivan Lanin, seorang wikipediawan yang akrab disapa Uda. Sehari sebelum bertemu, saya mencari beberapa info tentang Uda. Ternyata, banyak orang di sekeliling saya yang sudah mengenalnya sejak lama. Katanya, Uda telah memberikan pelajaran Bahasa Indonesia sesuai KBBI sejak lama.
Pagi itu, penerbangan Uda terjadwal mendarat di Bandar Udara Sultan Hasanuddin pukul tujuh. Saya pun menghubungi Uda dan cukup terkesan dengan sikapnya yang sangat ramah. Kalimat-kalimat pada pesan Uda yang sesuai KBBI pun membuat saya menghilangkan kata yang biasa saya singkat senyamannya, tanda baca tidak pada tempatnya, dan hal-hal lain yang biasanya saya acuhkan dalam berkirim pesan. Setelah memastikan transportasi dan akomodasi, saya pun bersiap-siap ke Benteng Fort Rotterdam, mendampingi Uda menghadiri materi pertamanya: “Semesta dalam Bahasa”.
Saya pertama kali bertemu Uda di depan Gedung La Galigo. Ia tersenyum ramah bersama Kak Joice dari Narabahasa. Saya ikut mendengarkan materi “Semesta dalam Bahasa”, dengan moderator Aan Mansyur dan tiga pembicara, Uda Ivan, Kak Ajeng, dan Kak Rahmat. Perbincangannya sangat menyenangkan dan Kak Aan memoderasi dengan sangat hidup dan kritis.
Sesi tersebut sangat menarik, mengulas bagaimana bahasa dan budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan orang-orang. Saya juga ikut menyaksikan sesi kedua Uda, “Merangkai Bahasa bersama Ivan Lanin” yang sama menyenangkan dan atraktifnya dengan sesi pertama.
Saya tidak sempat mengantar Kak Joice dan Uda Ivan ke bandara, meski begitu, cukup senang mengenal keduanya. Keesokan harinya, Uda mengirimkan pesan yang cukup panjang. Intinya, ia berterima kasih atas pendampingan yang saya lakukan selama kegiatan MIWF. Uda juga menyisipkan doa-doa baik yang membuat saya terharu membacanya. Kak Joice dari Narabahasa juga mengirimkan pesan yang manis.
Untuk orang lain mungkin pengalaman di MIWF merupakan sesuatu yang remeh, tetapi sangat berarti untuk saya. Saya menerima satu pelajaran yang sangat berharga, yaitu tentang cara kita sebagai manusia menginvestasikan waktu. Entah untuk sekadar menyampaikan rasa terima kasih, penghargaan sederhana, maupun meninggalkan kesan baik bagi orang-orang yang kita temui.
Sampai bertemu di MIWF tahun depan!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.