Travelog

Menjadi “Biksu” dalam Sehari di Candi Sari Yogyakarta

Dalam perjalanan panjang sejarah dinasti Hindu-Buddha, Yogyakarta yang kini terkenal sebagai kota pendidikan, dahulu juga menjadi daerah pelajar bagi calon-calon biksu. Ini terbukti dengan eksistensi Candi Sari sebagai pusat pembelajaran Buddhisme. Pun, Candi Sari merupakan bukti kebesaran Kerajaan Medang di kawasan Mataram (sekarang Yogyakarta).

Saya memang cukup lama terbuai rasa penasaran pada Candi Sari. Sampai suatu siang saya menyengaja pergi ke Candi Sari dengan sepeda motor. 

Kesan pertama saya ketika masuk candi adalah merinding sekaligus takjub. Betapa tidak, bagian dalam candi terdapat bilik-bilik dan kondisinya pengap, lengkap dengan sarang kelelawar di langit-langit candi. Seolah ingin minum untuk melepas dahaga, saya memberanikan diri menyusuri bilik-bilik itu untuk melepas rasa penasaran. 

Memejamkan mata jadi jalan terbaik untuk menggambarkan masa lalu dalam pikiran. Membayangkan para calon biksu berlalu-lalang dengan memegang lontar. Membayangkan rapalan kidung Prajñāpāramitā (Pradnyaparamita) menggema ke sudut-sudut candi.Meski kini calon-calon biksu itu tak lagi terlihat, tetapi atmosfer di sekeliling candi seakan bercerita bahwa dahulu candi ini sempat menjadi pusat pengetahuan tentang Buddhisme. Guratan-guratan tentang sifat-sifat Buddha memberi nuansa ketenteraman. Dengan mendengarkan kidung Prajñāpāramitā melalui earbuds (penyuara telinga), saya seolah menjadi “calon biksu” di hari itu.

Menjadi “Biksu” dalam Sehari di Candi Sari Yogyakarta
Pintu masuk Candi Sari/Raymizard Alifian Firmansyah

Candi Sari Dahulu dan Kini

Setelah membaca narasi sejarah di papan informasi, saya menjadi tahu jika Candi Sari ternyata juga merupakan perpustakaan bagi para calon biksu (Mudhiuddin, 2009). Pantas saja jika terdapat narasi Candi Sari sebagai pusat pengetahuan Buddhisme kala itu.

Bukan tanpa sebab jika calon biksu bisa menjadi bagian dari Candi Sari. Candi Sari yang bercorak Buddha, pada masa pembangunannya memang dirancang untuk menunjang keagamaan Buddha saat itu (Soetarno, 1986). Candi Sari didirikan sekitar abad ke-8 Masehi, hampir bersamaan dengan Candi Kalasan yang terletak di sebelah barat daya, tak jauh dari Candi Sari. 

Ada alasan Candi Sari dan Candi Kalasan dirancang dalam jarak yang berdekatan. Hal ini karena kedua candi tersebut berada dalam satu kompleks yang sama. Jika Candi Sari merupakan tempat belajarnya para calon biksu, maka Candi Kalasan menjadi tempat biksu melakukan kegiatan peribadatan. 

Bagi saya, Candi Sari memang layak masuk dalam daftar candi tersepi di wilayah Yogyakarta. Sedikit sekali pengunjung yang berwisata, belajar sejarah, atau hanya sekedar berfoto ria di sini. Menurut petugas keamanan yang berjaga, jumlah pengunjung per bulannya dapat ia hitung dengan jari tangan. Saat itu saya adalah pengunjung satu-satunya.  Bahkan tak banyak dari penduduk Jogja dan sekitarnya yang mengetahui keberadaan Candi Sari, kecuali penduduk sekitar candi. Cukup miris, bukan?

Candi yang dahulu menjadi sentra pengajaran Buddhisme, kini tertelan padatnya permukiman. Berbanding terbalik dengan keramaian kompleks percandian Muaro Jambi, Provinsi Jambi, yang dulunya juga berfungsi serupa dengan Candi Sari. Jika Candi Muaro Jambi tercatat dalam buku pelajaran sekolah, Candi Sari seolah hilang dari teks sejarah.

Menjadi “Biksu” dalam Sehari di Candi Sari Yogyakarta
Telrihat struktur bangunan bertingkat dari dalam Candi Sari/Raymizard Alifian Firmansyah

Keunikan Candi Sari

Walau begitu, candi ini tetap memiliki kisah unik dalam pembuatannya. Berawal ketika para guru dan pandita Buddha meminta sebidang tanah kepada Rakai Panangkaran—raja kedua Kerajaan Medang menurut Prasasti Abhayagiri Wihara tahun 792 Masehi—untuk mendirikan sebuah biara. Namun, ternyata bukan hanya mengizinkan, Rakai Panangkaran malah memberikan kawasan Desa Kalasan yang luas untuk tempat religius bagi umat penganut Buddhisme. Unsur-unsur Hindu masih terdapat pada corak candi ini, yang menandakan bahwa toleransi beragama pada zaman itu begitu kuat.

Tidak hanya itu. Keunikan Candi Sari lainnya adalah dari sisi arsitektur, yang menampakkan bangunan bertingkat (Mudhiuddin, 2009). Dalam riset KITLV (1931), saat penemuan pertama kali, bangunan Candi Sari berada dalam kondisi rusak meski secara keseluruhan tidak roboh. Sekalipun demikian, panorama Candi Sari membuat saya takjub akan kemegahannya.

Struktur bangunan Candi Sari tidak hanya menggunakan batu andesit, tetapi juga kayu sebagai pemisah lantai atas dan bawah. Ini terbukti dengan adanya lubang penyangga kayu di tengah struktur bagian dalam dinding candi. Karena sifat kayu yang mudah lapuk, maka ruang pemisah ini sudah tidak ada lagi akibat pelapukan yang terjadi seiring berjalannya waktu.

Menjadi “Biksu” dalam Sehari di Candi Sari Yogyakarta
Relief Kinara dan Kinari di Candi Sari/Raymizard Alifian Firmansyah

Candi Sari terbagi menjadi tiga bilik yang kemungkinan di bilik bagian tengah pernah diletakkan arca Buddha yang diapit Boddhisatwa. Sedangkan pada dinding-dinding bilik terdapat relung yang dulunya berfungsi untuk menaruh lontar. Hal ini didukung dengan adanya Candi Kalasan yang menjadi pusat keagamaan waktu itu.

Pada dinding luar candi terpahat relief-relief Bodhisattva (Bodhisatwa) berjumlah tiga puluh delapan buah. Relief-relief tersebut berdiri dengan memegang bunga teratai. Adapun sisi kanan dan kiri pada masing-masing jendela, terpahat wujud Kinara dan Kinari, yakni makhluk kahyangan bertubuh burung dengan kepala manusia.

Keunikan-keunikan tersebut menjadi daya tarik Candi Sari, yang hingga kini belum banyak orang mengetahui keberadaannya. Jika sudah bosan dengan candi yang itu-itu saja di Yogyakarta dan sekitarnya, Anda bisa mengunjungi Candi Sari sebagai alternatif objek wisata sejarah. Merasakan sejenak menjadi “biksu” dalam sehari. 

Referensi

Mudhiuddin, A. M. (2009). Borobudur-Prambanan dan Candi Lainnya: Menelusuri Jejak Peradaban Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soetarno, R. (1986). Aneka Candi Kuno di Indonesia. Semarang: Dahara Prize.
KITLV. (1931). Klooster Tjandi Sari (gerestaureerd) nabij Jogjakarta. Album dari Oudheidkundige Dienst, diakses pada 16 Juni 2023 (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/911624?solr_nav%5Bid%5D=7ea0a5016dfeb05d42bc&solr_nav%5Bpage%5D=5497&solr_nav%5Boffset%5D=2)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Raymizard Alifian Firmansyah

Kini mendekam dalam ruang sunyi di pojok Jogja, dengan aktif berkuliah di Libgen University.

Kini mendekam dalam ruang sunyi di pojok Jogja, dengan aktif berkuliah di Libgen University.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Melawat ke Candi Kidal, Melihat Garuda dan Naga