Travelog

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan

Penjelajahan pusaka tersembunyi di Parakan belum berhenti. Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, saya bersama The Han Thong melanjutkan langkah ke sebuah bangunan lainnya di sebelah rumah warisan Siek Hwie Soe itu. Selayaknya rumah saudagar, pagar tinggi dengan aksen gerbang kayu menjadikan rumah ini lebih memiliki privasi dari hiruk pikuk dunia luar. 

Meski begitu, halaman depan tampak asri dan terawat seperti Rumah Gambiran. Tujuan saya kali ini adalah sebuah rumah yang berjuluk “Omah Tjandi Gotong Royong”. Saat ini dimiliki Go Kiem Yong, pengusaha kue bolu Parakan.

Go Kiem Yong merupakan cucu dari Bah Suthur atau Hoo Tik Tjay, anak dari Hoo Tiang Bie, yang notabene anak angkat dari seorang seniman beladiri kungfu, yakni Louw Djing Tie. Kalian mungkin penasaran, Omah Tjandi sebenarnya milik Hoo Tiang Bie, Hop Lip Boen, atau Louw Djing Tie? Saya akan coba menjawabnya.

Karena rumah tersebut menjadi milik pribadi, tentu terdapat tata cara yang berbeda untuk sekadar berbincang dan mengabadikan momen yang ada. Setelah mendapatkan izin, saya pun menikmati suasana rumah sesaat lalu masuk ke rumah utama.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
The Han Thong dan pemilik Omah Tjandi saat ini di beranda depan/Ibnu Rustamadji

Rumah yang Menyimpan Sejarah Sang Seniman Kungfu  

Begitu menginjakan kaki di dalam, saya berpikir mungkin pemiliknya senang olahraga berat karena terdapat beberapa alat uji ketangkasan di ruang tamunya. Ternyata saya salah. Alat-alat itu merupakan warisan dari sang seniman kungfu, Louw Djing Tie.

Tatkala memotret peralatan tersebut, The Han Thong mengungkap perihal sebenarnya yang terjadi di rumah ini. Ia menjelaskan, Omah Tjandi Gotong Royong sejatinya merupakan peninggalan Hoo Tiang Bie. 

Kepemilikan awal bukan berada di keluarga Hoo Tiang Bie, tetapi Raden Mas Kertoadmodjo. Suatu ketika orang Belanda bernama F. H. Stout, pengawas proyek pembangunan jalur kereta api Parakan—Secang, membeli rumah itu dengan harga 450 gulden. Beberapa waktu kemudian dibeli Hoo Tiang Bie seharga 300 gulden. 

Pembangunan Omah Tjandi Gotong Royong memadukan tiga langgam budaya di Parakan kala itu, yakni Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Campuran budaya tidak hanya untuk bangunannya saja, tetapi juga keluarga yang menempati.

Memasuki bagian rumah utama, deretan foto keluarga pemilik Omah Tjandi menyambut kami. The Han Tong menunjuk satu gambar berkanvas coklat dengan epitaf aksara mandarin. Sosok dalam potret tersebut adalah Louw Djing Tie, pendekar kungfu kelahiran 1855 dan berasal dari kampung Khee Thao Kee, Kota Haiting, Hokkian, Tiongkok. 

Louw Djing Tie mempelajari kungfu sedari muda. Berawal dari kekagumannya tatkala melihat kelihaian seorang kakek tua pembuat tahu, seakan tengah melakukan aksi bela diri. Sejak saat itu ia rutin berlatih secara mandiri.

Hal ini tidak lepas dari kondisi keluarga yang memprihatinkan. Ia adalah seorang yatim piatu yang hidup dengan dua kakaknya. Iba melihat Louw Djing Tie, sang kakak perempuan memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah bela diri kungfu di Kuil Shaolin. 

Selama di kuil, Louw muda juga memperdalam ilmu tenaga dalam dan pengobatan dengan Biauw Tjien dan Kang Too Soe. Meski begitu, ia diharapkan oleh sang guru untuk tetap rendah hati. Maka dalam beberapa pertarungan, Louw Djing Tie sengaja mengalah atas lawannya. 

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Bagian belakang Omah Tjandi/Ibnu Rustamadji

Mengembara dari Hokkian ke Parakan

Usai belajar di Kuil Shaolin, Louw Djing Tie mencoba mengadu nasib di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kala itu dewan kota praja tengah mengadakan seleksi prajurit, dengan cara mengalahkan jawara pilihan mereka. 

Lie Wan, salah satu adik seperguruan, mendapat kesempatan melawan seorang guru kungfu yang telah mengalahkan lawan sebelumnya. Ia kewalahan menghadapi serangan berbahaya. Demi melindungi Lie Wan, Louw Djing Tie tiba-tiba masuk arena dan menendang kemaluan lawan sampai tewas. 

Akibat kejadian itu, Louw Djing Tie dan Lie Wan pergi ke arah selatan sebagai pelarian. Kali ini tanpa saudara yang sebelumnya menemani setiap langkahnya. Dari daratan Tiongkok, ia kemudian mendarat di Singapura untuk pertama kalinya. Tak lama, ia meneruskan perjalanan ke Batavia dan menjadi pedagang keliling di sekitar Toko Tiga, Glodok.

Seperti tak pernah puas, Louw Djing Tie terus mencari kehidupan baru di luar Batavia. Tujuan berikutnya Semarang, Kendal, Ambarawa, Wonosobo, dan berakhir di Parakan. Saat di Wonosobo ia bertahan hidup dengan berjualan ikan asin keliling serta mengajarkan kungfu kepada kawannya di suatu pondokan.

Roda kehidupan terus berputar sampai akhirnya berlabuh di Parakan. Selama di Parakan, ia diberi tempat tinggal oleh Hoo Tiang Bie, sang pengusaha tembakau, di area rumahnya yang saat ini menjadi Omah Tjandi. Louw Djing Tie menempati rumah kecil di sudut halaman depan. 

Untuk menyambung napas, ia berjualan permen kembang gula. Seiring waktu kemudian ia membuka perguruan kungfu Garuda Mas secara sembunyi-sembunyi, karena pemerintah Hindia Belanda kala itu melarang adanya perguruan seni bela diri. Salah satu muridnya di Garuda Mas adalah Hoo Tik Tjay, putra Hoo Tiang Bie.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Rumah tinggal Louw Djing Tie di sudut halaman depan. Di sini pula ia mendirikan perguruan kungfu Garuda Mas/Ibnu Rustamadji

Perjalanan Hidup Louw Djing Tie di Parakan

Saat di Parakan, Louw Djing Tie pernah bertarung dengan Tan Tik Sioe Sian alias Rama Moortie van Jawa. Ia diketahui sebagai pertapa dari Gunung Wilis, Jawa Timur, yang mencoba mengadu keilmuan dengan Louw Djing Tie. 

Ia pun menerima tawaran adu ilmu tersebut. Namun, di tengah pertandingan Louw Djing Tie sengaja mengalah. Mengetahui hal itu, Tan Tik Sioe Sian segera menghentikan pertandingan dan memberikan kenang-kenangan berupa tongkat kayu cendana sebelum si pertapa kembali ke Jawa Timur.

Louw Djing Tie mengajarkan ilmu bela diri tidak pandang status sosial terhadap siapa pun. Ia juga tidak segan membantu pribumi yang bermasalah dengan warga Belanda. Tentu penyelesaiannya tidak semata-mata harus dengan pertumpahan darah. 

Sang seniman kungfu itu memegang tiga sumpah dalam hidupnya: berumur pendek, hidup miskin tapi bisa makan, dan tidak berkeluarga. Pada masa tuanya, ia terpaksa melanggar sumpah untuk tidak menikah. Benar saja, hidup dengan sang istri tidak pernah lama.

Pasca istri pertamanya meninggal, ia kembali menikah sebanyak dua kali. Namun, istri kedua berkhianat dan istri ketiga mengidap sakit jiwa. Usaha rintisannya pun anjlok. Sakit tua mendera dan ia mulai rabun sejak menjadi pemadat opium. Louw Djing Tie menganggap semua ini hukuman dari Tuhan atas kesalahannya masa lalu.

Semasa tua, Louw Djing Tie hidup bersama Hoo Tik Tjay. Ia tidak memiliki keturunan. Konon hal ini karena keilmuan Louw Djing Tie yang menyembunyikan kemaluannya saat bertarung, sehingga membuatnya mandul.

Sang seniman kungfu itu akhirnya wafat pada 1921 di usia 66 tahun. Ia dikebumikan di pemakaman Gunung Manden, sebelah utara Kecamatan Parakan, Temanggung. Sepeninggal Louw Djing Tie, segala lini usaha dan perguruan Garuda Mas pun turut bubar. Hanya beberapa murid yang sempat meneruskan hingga tahun 1942.

Beberapa usaha yang terdampak atas kepergiannya antara lain Jamu Arem Pegal Linu tjap Garuda, obat segar badan (Siang Yong Wan Pastiles), minyak gosok (Jit Li Yu), dan obat oles bergambar potret Louw Djing Tie dengan baret hitam. 

Raganya Mati, Jiwanya Abadi

Memang tidak banyak peninggalan di dalam rumah ini. Sebab sejak Louw Djing Tie hidup, para murid meminjam alat dan tidak mengembalikannya sampai ia wafat. Walaupun begitu, marwah Omah Tjandi Gotong Royong sebagai awal mula seni beladiri kungfu dari Parakan tetap abadi.

Terlebih semasa pemerintahan Jepang, semua kegiatan bela diri dilarang. Apabila tertangkap, maka akan diinterogasi dan mendapat hukuman. Hoo Tik Tjay, sang murid sekaligus penerus perguruan, memutuskan untuk menghilangkan semua alat bela diri milik Louw Djing Tie. Segala yang berhubungan dengan Garuda Mas dikubur di halaman rumah Hoo Tiang Bie untuk menghapus jejak.

Sekalipun demikian, bagi kami, Omah Tjandi Gotong Royong tetap wajib dikunjungi ketika berada di Parakan. Namun, pengunjung harus mematuhi aturan dari pemiliknya saat ini. Sebagai awal mula seni bela diri kungfu di Indonesia, sudah selayaknya Omah Tjandi mendapat perhatian dan apresiasi.

Kiprah dan gerakan The Han Thong bersama sejumlah rekan untuk mengenalkan harta pusaka Parakan ke masyarakat luas sangat luar biasa. Walau sementara baru dua rumah yang kami kunjungi, Rumah Gambiran dan Omah Tjandi Gotong Royong, penelusuran ini cukup mengobati rasa penasaran saya terhadap Parakan. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan perjalanan saya kali ini: luar biasa cantik! Sukses menikmati Parakan, perjalanan saya berikutnya mungkin akan mengulik pusaka tersembunyi lainnya di Kabupaten Temanggung. Kebetulan saya sempat lewat dan melihat beberapa yang menarik untuk menelusurinya lebih jauh. Saya akan kembali suatu saat dan menikmati setiap jengkalnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Sepenggal Kisah yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa