Travelog

Overtourism dan Ketenangan di Desa Penglipuran

Di hari terakhir, kami memutuskan untuk menyusuri Bali ke daerah pegunungan. Setelah beberapa hari sebelumnya menikmati pesisir pantai yang penuh turis dan ingar-bingar malam. Tujuan utama kami adalah Desa Adat Penglipuran, Bangli. Namun, sebelum ke sana, kami singgah ke beberapa tempat terlebih dahulu.

Dari hotel kami di sekitar Sanur—yang sangat dekat dengan Monumen Bajra Sandhi—kami bergerak sepanjang Jalan By Pass Ngurah Rai menuju ke pemberhentian pertama, yaitu Pasar Seni Sukawati, Gianyar. Sangat sulit rasanya untuk tidak membeli dan berbincang dengan orang-orang di pasar ini. Harganya sangat murah dan kami bisa melakukan tawar-menawar dengan pedagang. Kami membawa keluar cukup banyak kantong belanja dalam sejam.

Masih berteman teriknya Bali, mobil kami melaju sepanjang Jalan Kembengan sampai di daerah Bangli. Kabupaten yang berjarak sekitar 38 kilometer dari Sanur. Kami mampir sejenak di alun-alun kota untuk berfoto dan mengunjungi monumen perjuangan tepat di seberangnya. 

Setelah istirahat sebentar, kami berkeliling Bangli untuk mencari kuliner autentik di daerah tersebut. Pilihan makan siang kala itu jatuh kepada Mujair Nyat Nyat Pak Bagong, yang letaknya tak sampai sepuluh menit dari alun-alun kota Bangli. Sambal nyat nyat dan ikan mujair kukus menjadi salah satu makan siang terenak kami selama di Bali. Aromanya nikmat dengan wangi rempah sereh dan kunyit yang menyengat. 

Perjalanan Menuju Desa Adat Penglipuran

Usai makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi utama: Desa Adat Penglipuran. Jaraknya sekitar tujuh kilometer dari rumah makan Pak Bagong. Dalam waktu normal membutuhkan 15-20 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Berbekal aplikasi Google Maps di gawai—yang sangat membantu—kami menyusuri jalur yang ternyata bertransformasi. Dari jalan yang luas perlahan menyempit. Dari yang datar berubah menanjak cukup curam. Bahkan hanya bisa dilewati motor dan satu mobil saat berpapasan. 

Tampaknya sistem GPS dari Google memberi kami jalan alternatif sempit tersebut. Sudah begitu tanpa sinyal di kawasan yang kami lalui. Kami sempat berpisah dengan teman serombongan, karena tidak ada jaringan seluler sama sekali.

Namun, sore itu kami akhirnya berhasil sampai ke tujuan. Bali yang umum dengan segala kemeriahan dan eksotisme pantai pun berganti dinginnya daerah pegunungan. Membawa suasana yang jauh berbeda.

Kami sempat kesulitan mencari tempat parkir mobil. Semuanya penuh, sehingga kami harus keluar dari kawasan desa dan memarkir kendaraan cukup jauh dari pintu masuk. 

Overtourism dan Ketenangan di Desa Penglipuran
Kepadatan wisatawan di Desa Adat Penglipuran saat akhir pekan/Nawa Jamil

Gejala Overtourism di Penglipuran

Turisme memang menghadirkan angin segar bagi suatu daerah. Sebut saja meningkatnya penyerapan tenaga kerja, produktivitas masyarakat, pendapatan devisa, taraf ekonomi, pertukaran budaya, dan kemampuan bahasa asing masyarakat. Namun, turisme selalu dibayang-bayangi oleh overtourism, yaitu sebuah fenomena ketika kegiatan pariwisata mulai mengganggu.

Secara ringkas, overtourism terjadi ketika jumlah wisatawan yang datang melebihi kapasitas maksimum yang dapat ditanggung daerah tersebut. Akan tetapi kita tidak hanya berbicara soal angka saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. 

Sejauh ingatan saya, Bali telah menjadi salah satu destinasi wisata yang mengalami overtourism di Indonesia. Gejalanya dapat dengan mudah kita rasakan ketika di Bali. Ketenangan dan kenyamanan masyarakat Bali terganggu akibat beberapa hal, seperti vandalisme turis, konflik akibat norma-norma yang dilanggar, kesenjangan sosial, harga tanah yang meroket, pelanggaran lalu lintas, hingga jumlah wisatawan melampaui kapasitas yang dapat ditanggung suatu tempat wisata.

Overtourism dan Ketenangan di Desa Penglipuran
Beragam cendera mata yang dijual warga di Desa Adat Penglipuran/Nawa Jamil

Salah satu gejala yang disebut terakhir saya rasakan langsung saat mengunjungi Desa Adat Penglipuran di akhir pekan. Kami menemui antrean di loket, meskipun tidak begitu panjang. Untuk masuk ke desa wisata tersebut, kami membayar Rp25.000 per orang.

Jalan setapak dengan berbagai ornamen khas Bali menyambut kami. Tak terkecuali lorong desa dengan kontur menanjak yang jadi ikon Penglipuran. Menyandang predikat sebagai desa terbersih di dunia, Penglipuran sejatinya menyuguhkan pertemuan antara alam pegunungan, serta kebudayaan dan keagamaan yang jangan sampai terlewatkan. Sayangnya, saya berkunjung di akhir pekan. Saat-saat banyak orang juga berpikir sama untuk pergi ke desa ini. Dampaknya, sulit sekali berfoto dengan latar belakang sepi tanpa banyak orang. Pengunjung lainnya jadi ikut terjepret dalam lensa kamera.

Sore itu, saya tidak menemukan ketenangan di lorong utama Desa Penglipuran. Ketenangan tersebut justru saya temukan di gang-gang kecil dan memasuki rumah-rumah warga dengan pintu terbuka. 

Sisi Tenang di Penglipuran

Saya mendapatkan sisi tenang Penglipuran di dalam rumah-rumah warga. Penjor, sebuah ornamen bambu dengan ujung melengkung berhias janur kuning serta sesajen di bagian pangkal, terpasang di setiap rumah. Hampir 90 persen penduduk memanfaatkan rumahnya untuk tujuan pariwisata. 

Kami mudah menemukan aneka buah tangan dengan harga yang cukup terjangkau di sini. Biji kopi dan kue manis yang lezat menjadi cendera mata yang paling saya rekomendasikan dari Penglipuran.

Overtourism dan Ketenangan di Desa Penglipuran
Salah satu warga Desa Adat Penglipuran di kompleks rumah bagian dalam yang lebih hening/Nawa Jamil

Meskipun suasana di jalan utama desa begitu ramai, bagian belakang tiap kompleks rumah menghadirkan kesunyian yang saya dambakan. Penjor setinggi belasan meter yang terpasang seragam, keindahan alam perdesaan, hingga alunan mantram Hindu yang terdengar dari radio salah satu rumah. Selain itu terdapat jalan yang lebih sempit menuju sebuah pura, juga satu-dua rumah lain yang terletak lebih ke dalam.

Di sini, dengan ramah pemilik rumah mempersilakan kami duduk. Kami juga bertukar cerita dan mengobrol ringan. Jika ingin mencari ketenangan seperti ini, maka menghabiskan satu sampai dua malam bisa menjadi opsi terbaik untuk menikmati Penglipuran. Beberapa rumah menyewakan kamar mereka untuk para wisatawan, khususnya yang ingin menikmati kesegaran alam dan kebudayaan desa adat tersebut. 

Kami mengecap nuansa destinasi ini selama satu setengah jam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pura Besakih di Karangasem. Penglipuran, di tengah riuh rendah kehadiran turis, tetap memberikan jejak-jejak berkesan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Meramu Kepingan Masa Lalu di Canteng Mok