Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kembali tersorot dunia. Warisan budaya wangsa Syailendra ini menjadi pusat utama penyelenggaraan Hari Raya Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 secara nasional. Berdasarkan informasi dalam buku acara Perayaan Tri Suci Waisak 2567 BE/2023 dari Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), detik-detik puncak Waisak akan berlangsung pada pukul 10.41.19 WIB, 4 Juni 2023.
Terlebih dengan adanya para bhikkhu peserta ritual thudong. Perjalanan puluhan bhikkhu gabungan dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia ke Candi Borobudur dengan jalan kaki tersebut menarik perhatian banyak orang.
Sebelum ritual-ritual pokok, organisasi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) menyelenggarakan kegiatan bakti sosial maupun layanan kesehatan gratis di Candi Borobudur pada 30-31 Mei 2023. Usai acara puncak nan sakral, festival penerbangan lampion yang akan terselenggara malam hari, 4 Juni 2023, jelas akan menjadi momen yang paling banyak orang nantikan.
Seperti di tahun-tahun sebelumnya, isu yang kerap bergulir saat perayaan Waisak di Borobudur adalah mengenai perlu atau tidaknya prosesi pelepasan lampion. Berbagai pertimbangan mendasari, antara lain dampak lingkungan hingga aspek spiritual. Pro dan kontra akan selalu ada, meskipun sejatinya saya percaya setiap hal maupun kebijakan pada acara-acara keagamaan, seperti Waisak kali ini, memiliki tujuan baik dan mulia.
Tentang Festival Lampion Waisak di Borobudur
Penerbangan lampion sebenarnya bukan termasuk dalam ritual pokok Tri Suci Waisak. Namun, banyak wisatawan umum yang menyengajakan diri datang ke Borobudur demi melihat festival lampion.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang dampak lampion terhadap lingkungan. Mengingat status Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia, yang selain bertujuan untuk atraksi wisata, juga merupakan situs yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Mengenai bahan yang digunakan saat acara Dharmasanti Festival Lampion, saya coba mencari konfirmasi dengan menemui YM. Bhikkhu Dhammavuddho Thera, Wakil Ketua DPP Walubi di beranda Kelenteng Liong Hok Bio, usai tradisi Pindapatta oleh 32 bhikkhu peserta ritual thudong di sepanjang Jalan Pemuda, Kota Magelang (31/5/2023).
Ketua Sangha Theravada Dhammayut Indonesia (STDI) sekaligus pembina Yayasan Maha Kassapa Thera itu mengungkapkan, “Bahan yang digunakan dalam festival lampion bukan bahan yang sembarangan. Bahan ini kita beli dan datangkan dari Thailand, kemudian nantinya bisa hancur atau terbakar habis di udara, sehingga tidak akan merusak apa pun, dan ketika turun (ke permukaan tanah dampaknya) relatif minim.”
Bhikkhu Dhammavuddho menambahkan, api yang menjadi elemen utama dalam lampion merupakan simbol penerangan. Seperti halnya ajaran Buddha, yaitu Dharma, yang berarti menerangi.
“Buddha itu pencerahan, jadi dharma mencerahkan semua makhluk di alam yang samsara, di mana makhluk-makhluk yang menderita (dan) mendapatkan dharma, dia menjadi sadar, insaf, dan pada akhirnya dia menjadi orang yang suci atau berbahagia,” terang Bhikkhu Dhammavuddho.
Sumber api dalam lampion tersebut berasal dari api abadi Mrapen, Grobogan, Purwodadi. Adapun air suci yang juga menjadi bagian ritus Waisak diambil dari Umbul Jumprit, mata air yang tak pernah kering di lereng Gunung Sindoro, Temanggung. Pihaknya juga memastikan sudah mengantongi izin dari otoritas kawasan, di antaranya pemangku kawasan Taman Wisata Candi Borobudur, TNI AU, pemerintah daerah, hingga kepolisian.
Alternatif Aksi Konservasi dalam Peringatan Waisak
Namun, tanggapan berbeda disampaikan oleh Suparatno atau Subharatano (43), juru rawat dan pengelola Catra Jinadhammo, pusat pendidikan dan pelatihan Buddha Dhamma di Desa Borobudur. Murid langsung dari mendiang Bhikkhu Jinadhammo Mahathera itu cukup keberatan dengan seremoni pelepasan lampion di malam hari usai prosesi puncak Waisak.
“Saya sendiri sebagai umat Buddha dan masyarakat Borobudur, saya sebenarnya tidak suka dengan lampion,” kata bapak tiga anak itu.
“Sekarang coba bayangkan kalau misalnya kita terbangkan, tiba-tiba dia turun masih nyala. Jatuh di genteng rumah orang, di hutan, lalu terbakar, ‘kan (jadinya) bukan harapan terang yang kita dapat, tetapi kegelapan yang kita terima,” keluh Ratno, sapaan akrabnya. Ia khawatir umat Buddhis menjadi pihak yang disalahkan, keliru, dan membawa petaka.
Di masa mendatang, Ratno meminta pihak berwenang mempertimbangkan kembali penggunaan lampion, lentera, atau sejenisnya sebagai simbol penerangan dan pencerahan saat prosesi Waisak di Borobudur. Ia mendorong untuk menggantinya dengan aksi konservasi, yang ia nilai lebih bermanfaat bagi makhluk. Misalnya, program pelepasan satwa endemik ke habitatnya ataupun menanam pohon.
Rieke (33), seorang rekan penulis dari Semarang yang beragama Buddha, menyuarakan pendapat senada, “Saya sebetulnya kurang setuju dengan pelepasan lampion, karena bisa saja timbul masalah lain, misalnya sampah atau melukai hewan-hewan liar.”
Meskipun menjadi daya tarik tersendiri, baik bagi umat Buddha maupun masyarakat umum, ia menganggap tanpa lampion pun peringatan sakral Waisak tetap sah. Pelepasan lampion hanyalah sebuah simbolis untuk melepaskan hal-hal negatif di dalam diri, sekaligus berisikan doa-doa dan harapan yang lebih baik dalam kehidupan.
Borobudur dan Waisak untuk Semua Umat
Penulis sepemikiran dengan pernyataan Ratno malam itu (30/5/2023), ketika kami ngobrol hingga larut malam di sudut gazebo Catra Jinadhammo. Menurut dia, “Pada dasarnya, setiap ritual ibadah dalam agama apa pun membutuhkan keheningan dan fokus.”
Dari kacamata saya, perkataan Ratno berarti mengajak siapa pun, baik umat Buddha maupun agama dan kepercayaan lain, agar lebih bijak dan memaknai toleransi dengan sebenar-benarnya. Pada fase-fase sakral, menurut hemat saya, kita perlu memberi ruang umat Buddha menjalankan ibadah dengan khusyuk.
Bahkan jika perlu, menghormati dan menyambut Waisak tidak harus lelah-lelah membayar tiket masuk ke Candi Borobudur hanya demi ikut menyaksikan penerbangan lampion. Pelibatan masyarakat kala pra-Waisak, seperti pemberian dana makanan maupun minuman saat tradisi pindapatta, membantu persiapan acara di beberapa vihara, lebih-lebih ikut berkontribusi nyata pada lingkungan sekitar, bagi saya jauh lebih bermakna ketimbang prosesi lampion itu sendiri.
Namun, tentu bukan hak saya melarang pembaca untuk hadir dan menyaksikan prosesi Waisak secara langsung. Saya hanya bisa mengimbau untuk memahami dan menghormati batas-batas maupun peraturan yang berlaku.
Rieke punya saran yang baik dan bisa berlaku bagi siapa pun, “Alangkah baiknya ada aturan yang lebih selektif untuk umum. Misalnya, aturan untuk berpakaian sopan, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak memegang atau duduk-duduk di area yang ada stupanya. (Kita perlu) mengingat (bahwa) Candi Borobudur juga termasuk tempat ibadah.”
Saya berharap prosesi sakral Waisak berjalan khidmat dan lancar, tidak terhalang rintangan apa pun dan para bhikkhu maupun umat Buddha senantiasa sehat hingga acara berakhir. Semoga lampion benar-benar menjadi simbol penerangan dan tidak berdampak buruk pada lingkungan, sekalipun harapan ke depan pengelola waisak dan wisata Candi Borobudur bisa lebih mempertimbangkan aksi konservasi lainnya yang relatif berkelanjutan dalam jangka panjang. Esensi spiritual harus menjadi ruh utama di Borobudur itu sendiri.
Seperti termuat dalam warta Walubi (25/5/2023), Menteri BUMN Erick Thohir dalam acara briefing Festival Purnama di Candi Borobudur menyatakan, “Candi Borobudur akan terasa hampa apabila hanya menjadi sekadar destinasi wisata, tanpa memiliki unsur-unsur nilai spiritual.”
Selamat merayakan Tri Suci Waisak 2567 BE/2023. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.