Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian.
Di dalam diary itu ia mencatat detail-detail kejadian yang dialaminya, sampai sekecil-kecilnya. Barulah kemudian ia menuliskan ceritanya dan mengirimkan ke media. INTISARI adalah majalah yang setia memuat catatan perjalanan H.O.K. Tanzil, dari tahun 70-an sampai 90-an awal.
Perjumpaan pertama saya dengan karya-karya H.O.K. Tanzil terjadi medio 2014 ketika sedang asyik menelusuri pusat kota Kediri. Kalau tidak salah, waktu itu saya hanya menemukan tiga edisi INTISARI yang memuat tulisan sang pengelana. Lumayan, daripada tidak ada sama sekali. Majalah INTISARI lawas dan buku H.O.K. Tanzil memang sudah terbilang langka. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang pun, secara total saya baru menemukan sekitar lima edisi INTISARI bekas yang memuat tulisan Om Hok.
Namun beberapa bulan yang lalu ketika pameran buku saya mendapat durian runtuh. Seperti biasa, setiap kali ada eksebisi, seksi buku bekaslah yang pertama kali saya sambangi. Tak terkecuali malam itu. Hanya butuh beberapa menit menelusuri punggung buku sampai mata saya tertumbuk pada sejilid buku saku tipis berwarna coklat tua dengan tulisan kuning. Judulnya “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.” Pengarangnya: H.O.K. Tanzil!
Siapa H.O.K. Tanzil?
Secara tak terduga, buku saku kecil terbitan 1982 (Penerbit Alumni) itu memberikan banyak informasi kepada saya soal sosok H.O.K. Tanzil.
Om Hok ternyata lahir di Surabaya tahun 1923. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran UI dan lulus tahun 1953. Tahun 1960 ia sudah meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran Mikrobiologi dan 14 tahun kemudian, 1974, ia diangkat jadi Guru Besar di FKUI. Namun, oleh sebab kesehatan, ia pensiun muda tahun 1975.
Artinya, ketika ia melakukan perjalanan yang akhirnya dirangkum dalam “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” ini, usianya sudah lebih dari setengah abad! Lucunya lagi, perjalanan-perjalanan itu ia lakukan berdua dengan istrinya, yang katanya sakit-sakitan.
Untuk manusia berumur lebih dari 50 tahun, perjalanan-perjalanan yang dilakukan H.O.K. Tanzil lumayan ekstrem. Tahun 1975 di Amerika Tengah, ia dan istrinya road-trip panjang selama berbulan-bulan dengan sebuah “camper” VW 1972 yang dibelinya di Rotterdam. Pada sebagian besar perjalanan, mereka tidur dan memasak di lahan terbuka yang aman untuk memarkir mobil.
Petualangan mereka ke Amerika Tengah itu sebenarnya adalah fase akhir dari perjalanan akbar selama 160 hari. Kamu pasti bakal kaget mengetahui bahwa jarak yang ditempuhnya adalah 45.000 km “melintasi 16 negara Eropa, Kanada, 30 negara bagian AS, Mexico dan Amerika Tengah” (hal. 51).
Di Australia, Om Hok dan istrinya membeli tiket terusan bis Ansett Pioneer untuk menjelajahi separuh Benua Australia. Selama tiga pekan, rute mereka adalah Sydney, Canberra, Melbourne, Adelaide, Alice Springs, Ayers Rock, Alice Springs, Tennant Creek, Mount Isa, Brisbane, Toowoomba, Brisbane, dan kembali ke Sydney.
Kemudian mereka juga sempat ke Pasifik, ke Pulau Tahiti, Polinesia Perancis, sebelum melanjutkan petualangan ke semua negara di Amerika Latin! Kalau saja Om Hok jaya di zaman digital seperti sekarang, ia barangkali sudah jadi selebgram yang punya pengikut jutaan orang.
Merekam zaman, H.O.K. Tanzil mencatat pengalamannya sampai hal-hal terkecil
Dalam sebuah wawancara dengan R. Ukirsari Manggalani dari National Geographic Indonesia, Om Hok berkata begini tentang buku catatan: “Ini modal saya untuk menulis. Buku harian membantu saya mengingat.”
Pada kenyataannya, tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil memang amat detail. Ia mencatat segalanya dari mulai tanggal pembuatan visa, jam keberangkatan pesawat, nama kota yang pernah dilintasi, orang-orang yang dijumpai, sampai harga BBM, rumah, atau mobil VW di negara-negara yang sedang dikunjunginya.
Jika memang ia lupa mencatat karena alasan tertentu—misalnya ketiduran atau saat itu malam sehingga ia tak bisa melihat nama daerahnya di plang—ia akan dengan jujur menuliskan bahwa ia tidak sempat mencatat nama kota yang dilalui.
Baginya, catatan harian sangat berharga dan betul-betul ia jaga. Tapi sekali waktu ia juga pernah lalai; buku hariannya pernah hilang dalam perjalanan melintasi Eropa naik kereta. Setiba di stasiun tujuan, ia melapor ke kepala stasiun. Untungnya catatan itu masih utuh di tempatnya ditinggalkan.
Namun, tanpa disadari, dengan mencatat rincian-rincian itu H.O.K. Tanzil juga mengabadikan zaman. Jika dibaca di kemudian hari, buku ini akan memberikan pembacanya gambaran lengkap masa ketika perjalanan itu dilakukan. Misalnya, di halaman 136 ia menulis: “La Paz, Ibukota tertinggi di seluruh dunia, berpenduduk kira-kira 800.000 letaknya 12.500 kaki di atas permukaan laut.” Contoh lain adalah harga bensin. Pada bulan Agustus 1975 ia mencatat bahwa, “Bensin dibeli seharga Peso Mexico M $ 1,50 (=Rp. 50) per liter (± Rp. 66 di USA dan Rp. 55 di Indonesia waktu itu” (hal. 4).
Menonton di bioskop, tak pernah alpa walaupun sedang di rantau
Meskipun sibuk bertualang di negeri orang, H.O.K. Tanzil selalu merindukan Indonesia. Kerinduan itu mengejawantah dalam pemilihan busana. “Sudah kebiasaan saya untuk selalu memakai baju batik di luar negeri,” tulisnya.
Selain itu, di setiap kota yang dilintasinya, ia juga selalu menyempatkan waktu untuk mengecek kantor pos besar. Siapa tahu dari Tanah Air ada kabar. Namun, sampai halaman terakhir “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” tak ada satu pun surat yang ia terima. Kerinduannya terhadap Indonesia cuma diobati oleh pertemuan-pertemuannya dengan diaspora Indonesia.
Rindu itu juga berusaha ditawar oleh Om Hok dan istrinya dengan menyempatkan mampir di restoran-restoran Tionghoa terdekat (karena rasanya tak jauh beda dari makanan Indonesia). Kalau ada orang yang tekun, barangkali dari buku catatan perjalanan ini dapat disarikan sebuah daftar harga restoran-restoran Tionghoa di Pasifik, Australia, Amerika Latin antara 1975-1976!
Sepanjang perjalanan, hanya satu hal yang tak banyak ia komentari: bioskop. Sebagai penggemar film, setiap ada waktu, di manapun dan kapanpun ia selalu mengajak istrinya untuk nonton di bioskop-bioskop setempat.
Saat di Buenos Aires, mereka tak melewatkan kesempatan nonton film Oscar, “One Flew Over the Cucko’s Nest.” Sewaktu di Sao Paolo, yang ditonton adalah “Samurai,” “Russian Roulette,” dan “Hindenberg.” Di Rio de Janeiro, yang ditonton adalah “The Man Who Was to be King”² dan “Lucky Lady.” Di Curacao, Antillen Belanda, mereka berdua nonton film kung fu!
[1] 19/10/2017 H.O.K. Tanzil tutup usia di umur 94 tahun.
[2] Barangkali maksudnya “The Man Who Would Be King.”
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
1 comment
Saya cucu Prof Tanzil