Masih dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh teman relawan Sokola Kaki Langit, saya bersama beberapa teman mengunjungi satu-satunya sekolah di desa ini yang berjarak sekitar 20 menit dengan berjalan kaki dari Rumah Indo, sementara beberapa relawan lain menyiapkan lokasi pemeriksaan kesehatan yang akan berlangsung pukul 10.00 WITA.
Trekking singkat dari rumah ke sekolah tidak begitu sulit. Medan secara keseluruhan hanya berupa jalur landai dan turunan curam sebanyak tiga kali. Otot-otot kaki yang masih ngilu dampak perjalanan panjang kemarin membuat saya langsung memikirkan perjalanan pulang selepas kegiatan di sekolah. Saat tiba, beberapa anak-anak terlihat bermain di lapangan sekolah, beberapa lagi duduk-duduk di lorong kelas, dan sisanya lalu-lalang tidak karuan.
Selain arajang dan Rumah Indo, salah satu motivasi mengunjungi desa dengan akses terisolir ini adalah “titik tengah Indonesia” yang selalu disandingkan dengan Desa Umpungeng. Saya sempat bertanya, “Bagaimana orang-orang bisa tahu bahwa desa ini merupakan titik tengah dari sebuah negara?”
Lalu, seorang relawan berbaju kuning sempat bercerita, bahwa di masa lalu, entah siapa, berhasil menemukan tempat ini. “Jika peta Indonesia dilipat menjadi empat bagian sama besar, maka titik pertemuan dari lipatan tersebut berada di desa ini.”
Setelah mengajar dan menyelesaikan agenda bermain dan lomba hari itu, kami diajak ke titik legendaris tersebut. Titik tengah Indonesia disebut posina tanae yang berarti pusat tanah. Titik ini tidak jauh dari sekolah. Kami menaiki jalan tanjakan curam, lalu berbelok ke daerah perkampungan yang cukup padat di atas sekolah. Tidak jauh dari rumah-rumah warga, terdapat satu bidang tanah dengan rumput hijau. Sebuah plang bertulis “batas alas kaki” menyambut kami.
Tanah lapang tersebut dikelilingi bebatuan rata yang membentuk lingkaran hampir lonjong. Di salah satu bagian lingkaran tersebut terdapat gundukan batu menyerupai tahta, lalu di tengah-tengah lingkaran tersebut terdapat satu batu yang dipagari besi yang bercat merah bata gelap. Situs ini merupakan situs megalitikum bersejarah bernama Garugae. Konon, Garugae—yang hingga saat ini terawat dengan baik—menjadi tempat pertemuan para raja terdahulu dalam bermusyawarah, serta lokasi pelantikan datuk, raja, atau kepala daerah di sini.
“Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana situs ini ada, atau siapa yang meletakkan batu-batu dengan permukaan rata hingga berbentuk seperti ini,” cerita seorang relawan.
Sayangnya, sangat sulit menemukan literasi atau dokumen yang menceritakan tentang Umpungeng sebagai titik tengah Indonesia, berbeda dengan Sabang dan Merauke sebagai titik barat dan timur Indonesia yang bahkan dengan mudah ditemui di lagu-lagu nasional, bahkan sering terdengar dalam jingle populer salah satu merk mi instan.
Namun setelah semuanya, titik yang jarang diketahui secara luas ini membawa kesyahduannya tersendiri. Terlepas dari misteri dan peruntukannya di masa lalu hingga sekarang, sebagai seorang yang berkunjung ke sini, saya menemukan salah satu kenikmatan memandangi deretan pegunungan dari rerumputan situs Garugae.
Keseruan Perayaan Hari Sumpah Pemuda
Terlepas dari segala nilai sejarah dan magis Desa Umpungeng yang cukup terisolir ini, perayaan Hari Sumpah Pemuda merupakan momentum yang mempertemukan banyak relawan, menjadi jembatan yang menakdirkan langkah kami sampai ke desa syahdu ini.
Secara umum, agenda perayaan sumpah pemuda hari itu terbagi dua: bermain dan rangkaian lomba bersama anak sekolah dasar, serta pemeriksaan kesehatan warga di rumah Pak Dusun. Saya mengikuti rombongan ke sekolah pagi itu. Setelah meminta izin ke guru sekolah, kami menggunakan satu ruang kelas untuk bermain selama satu jam pertama.
Selama satu jam tersebut, para relawan mengajari anak-anak dari beragam kelas tersebut seni origami, tepatnya cara membuat bunga mawar dari selembar kertas persegi dengan teknik lipat sana-sini. Kelas berlangsung meriah dan sedikit kacau, tetapi pada akhirnya, masing-masing anak berhasil membuat bunga mawar mereka sendiri.
Setelah membuat bunga mawar dari kertas, para relawan lalu melangsungkan serangkaian lomba di lapangan sekolah. Lomba ini terdiri dari balap karung dan lomba kelereng yang dibagi per kelasnya. Jumlah siswa tiap kelas yang sangat variatif menjadi tantangan tersendiri. Di kelas empat, kami melaksanakan lomba sampai beberapa kloter sebab siswanya sampai belasan, sementara di kelas dua hanya terdapat dua siswa saja.
Lomba hari itu berlangsung meriah. Saya bertugas sebagai juri di garis akhir, sesekali mengambil kesempatan untuk mengabadikan anak-anak dan ekspresi senang mereka. Kompetisi kecil hari ini berakhir dengan satu hadiah untuk setiap anak, baik yang berhasil menjuarai, atau yang hanya keluar sebagai peserta.
Doa Baik Sebelum Pulang
Mengunjungi Umpungeng menjadi salah satu kesyukuran di tahun 2022, setelah hanya mendengarkan nama tempat ini sejak 2019. Meskipun hanya menetap selama tiga hari dua malam, tetapi tempat ini menyajikan perasaan damai yang begitu dekat. Saya merasakan sebuah perasaan yang akrab, seperti telah berada di tempat ini sebelumnya, saat kenyataannya adalah, saya mengunjungi Umpungeng baru kali pertama.
“Tidak semua orang bisa ke sini. Ketika kita tidak ditakdirkan menginjakkan kaki ke sini, terkadang ada saja halangan [berkunjung] yang ditemui,” kata seorang relawan.
Saya mengucap suatu doa dalam hati, untuk diizinkan berkunjung ke Umpungeng di masa mendatang. Doa baik untuk berkunjung lagi saya latunkan sesaat setelah melewati sungai pertama yang konon merupakan “gerbang” desa ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.