Events

Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan bersama Fatris MF

Semua orang melakukan perjalanan, semua orang bepergian, tetapi tidak semua orang melakukan pengamatan dan menuliskan perjalanannya. Untuk bisa menuliskan pengamatan selama perjalanan, dibutuhkan kemampuan yang cakap untuk merasa, meraba, dan merangkai sebuah imaji yang kita lihat dan menuangkannya ke dalam bentuk catatan perjalanan.

Sebagai salah satu media perjalanan yang memuat banyak catatan perjalanan, TelusuRI  mengadakan “Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan” untuk belajar bagaimana menuliskan perasaan, pengamatan, kajian, serta pengalaman pada setiap perjalanan bersama Fatris MF, seorang penulis catatan perjalanan yang telah menelurkan berbagai macam buku seperti: Kabar dari Timur, Merobek Sumatera, Lara Tawa Nusantara, Banda Journal. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu (10/12/2022) dan berlangsung selama dua jam.

Dalam membuka materinya, Fatris menyebutkan ada dua tipe tulisan perjalanan atau penulisan kreatif perjalanan yang biasanya dituliskan: travel journalism atau jurnalisme perjalanan dan travel writing atau catatan perjalanan. Meskipun terlihat sama, dua-duanya mempunyai prinsip yang berbeda. Jurnalisme perjalanan menekankan pada prinsip jurnalistik, sedangkan catatan perjalanan lebih condong sebagai produk sastra. Namun, keduanya mempunyai jalur yang sama, yakni mengambil perjalanan sebagai tema besar, 

Langkah paling awal yang diperlukan oleh para penulis perjalanan adalah mulailah menulis apa yang paling dekat dengan hidup. ”Menulis perjalanan bukan soal bagaimana kita berjalan jauh,” ucap Fatris. Orang sering mengasumsikan tulisan perjalanan adalah melihat negeri-negeri asing atau suatu tempat yang baru, tapi alangkah baiknya penulis mulai dengan hal-hal di sekitarnya. Semisal tetangga sebelah rumah, selokan kecil di gang, atau tentang barang peninggalan kakek.

Selanjutnya adalah melakukan riset. Dalam tulisan, tentunya penulis membutuhkan sebuah tema untuk acuan. Untuk menghasilkan sebuah tulisan yang utuh, maka penulis harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Wacana yang kuat dihasilkan dari riset yang serius, baik riset pustaka yang meliputi pencarian sumber bacaan dan riset lapangan yang mengharuskan penulis terjun langsung. Dengan riset, penulis akan lebih mengenal objeknya sebelum menjadi bahan tulisan.  Riset akan menguatkan wacana awal, juga bisa menentukan posisi penulis, juga berguna untuk memetakan objek.

“Riset juga akan dapat menentukan sudut pandang penulis,” jelasnya. Pada tahap inilah nanti penulis akan menentukan keberpihakkannya. Ada enam tahapan riset yang bisa penulis aplikasikan. 

Pertama temukan isu yang ingin ditulis, ide ini bisa didapat melalui fenomena yang kerap atau jarang diperbincangkan, dan cara menemukannya bisa dari berbagai media seperti buku, koran, televisi, diskusi, hingga pengalaman pribadi. Kedua adalah kritik sumber, yang dibutuhkan untuk melihat secara curiga semua sumber untuk mendapatkan sudut pandang terbaik. Penulis dituntut untuk tidak mudah percaya narasumber lokal, namun bukan berarti menjadikannya lawan untuk berdebat.

Ketiga adalah lakukan perjalanan dan amati segala hal termasuk suasana dan gunakan semua panca indra untuk merasa, meraba, dan melihat. Keempat adalah lakukan dialog dan wawancara dengan narasumber yang kredibel, usahakan selalu mengecek keterangan dari narasumber. Tahap kelima adalah analisis semua data yang didapat untuk menyaring data yang penting dan tidak penting. Yang keenam ada membentuk kerangka untuk menyusun data yang telah dipilih dan agar penulis tidak kehilangan alur.

Fatris mengingatkan kepada para peserta untuk sebisa mungkin menghindari kata sifat. Kata sifat, dalam hematnya bisa saja membuat tulisan membosankan dan biasa saja. 

“Jangan hanya gadis itu sangat cantik, tapi cantiknya gimana,” tuturnya. Metafora akan melahirkan keindahan-keindahan linguistik dan membantu pembaca untuk “melihat” apa yang ditulis. 

“Ketika kalimat verbal yang akan kita sampaikan tidak mampu untuk menggambarkan keadaan, gunakan metafora,” pungkasnya.

Terakhir, proses penyuntingan. Sebelum mulai untuk menyunting tulisan, ada baiknya tulisan yang ditulis harus selesai terlebih dahulu. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai, kemudian saat proses penyuntingan, penulis bisa meminta saran dan masukan kepada orang-orang maupun editor. “Jangan pernah menyunting tulisan yang belum selesai,” pungkasnya.

Berlanjut ke sesi tanya–jawab, Fatris mempersilakan para peserta untuk bertanya ataupun masih penasaran akan penjelasannya. Para peserta yang hadir antusias bertanya melalui kolom chat ataupun bertanya langsung. 

“Bagaimana cara menuliskan tulisan perjalanan tentang budaya tanpa terjebak eksotisme?” tanya seorang peserta yang berasal dari Ternate.

“Rata-rata penulis perjalanan adalah orang yang hidup di kota besar dan mereka akan melihat dengan cara pandang mereka yang urban sekali,” ujar Fatris yang kemudian ia lanjutkan “bagaimana agar dia tidak terjebak bias tersebut? Siapapun, saya kira akan punya bias terhadap apa yang ia tulis. Persoalannya adalah bagaimana meminimalisir bias tersebut.”

Menurutnya, catatan perjalanan yang dekat dengan pariwisata yang menutup luka-luka bangsa dan manusia, dan akhirnya hanya memperlihatkan “eksotisme” dan keindahannya hingga menutup tragedi yang terjadi di suatu tempat. Eksotisme sendiri adalah cara pandang orang barat terhadap daerah-daerah di timur yang dianggap berbeda. “Saya kira itu [cara pandang eksotisme] adalah pelanjutan dari bagaimana kolonialisme bekerja. Kita hanya komoditi bagi kacamata kolonial.”

“Bagaimana cara mulai menulis catatan perjalanan?” tanya peserta yang lain.

Fatris menjawab dengan mengandaikan petani pemula yang bisa melihat petani lain untuk mengolah ladangnya. Begitu pula untuk yang ingin memulai menulis, bisa dengan cara membaca tulisan-tulisan perjalanan yang telah ada. Yang terpenting adalah coba untuk menulis! 

Terakhir, Fatris menyampaikan para penulis harus adil dalam menilai dan melihat apa yang terjadi. Penulis harus mampu menjadi pengantar yang baik akan kejadian di suatu tempat dan tidak menjadi juri dalam menyimpulkan suatu peristiwa. “Saking ramahnya sekelompok orang, mereka tidak akan membiarkan seekor kucing kedinginan di teras rumahnya, tapi akan menutup mata terhadap puluhan orang yang kelaparan di belakang rumahnya,” pungkasnya menutup acara kali ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Memberantas Disinformasi Sejarah Melalui Media Sosial