Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro

Suara alarm dari ponselku mendebarkan gendang telinga, membuatku meregangkan tangan ke udara.  “Ah, masih pukul lima pagi. Lima menit lagi,” gumamku dalam hati. Akhirnya, badan ini baru beranjak dari kasur tiga puluh menit setelahnya. Selama dua hari kedepan, aku akan mengikuti Familiarization Trip yang diselenggarakan oleh Java Promo dan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku dan rekan-rekan lain akan menelusuri empat kabupaten di Yogyakarta.

Jujur saja, rasanya senang tapi takut. Senang, tentu karena aku akan mengunjungi banyak tempat baru dan belajar banyak hal. Tapi, sebagai orang yang punya jiwa introvert cukup tinggi, kegiatan ini akan membuatku bertemu banyak orang baru dan membuat mentalku cukup lelah. 

Setelah acara pembukaan dan sambutan dari penyelenggara, rombongan kami berangkat mengunjungi Tebing Breksi. Dari sini, kami berpindah ke armada lain karena akan mengunjungi beberapa destinasi dengan rute dan jalan yang sulit dilalui kendaraan 2WD. Mobil-mobil jip yang berjajar di depan lapangan parkir pun menyambut kami. Mereka siap mengantarkan petualangan hari itu. Beruntungnya, cuaca Jogja sangat cerah, padahal dua hari sebelumnya Jogja terus diguyur hujan dari pagi hingga malam.

Mobil Jip
Menumpang jip mengitari kawasan Tebing Breksi/Mauren Fitri

Pak Danu memandu mobil jip yang aku tumpangi bersama tiga rekan lain. Beliau dulunya bekerja sebagai pemandu wisata sebelum memutuskan berganti profesi menjadi pengemudi jip. Pak Danu memiliki pengetahuan yang luar biasa mengenai kondisi warga di sekitar Tebing Breksi dan juga sejarah dari destinasi yang akan kami kunjungi. Sepanjang jalan, beliau menceritakan banyak hal. Salah satunya, cerita tentang warga yang dulunya bekerja sebagai penambang batu kapur di Tebing Breksi, yang kini mendapatkan keistimewaan untuk memilih bidang usaha lain ketika aktivitas penambangan berganti dengan aktivitas wisata.

“Ada dua pilihan yang diberikan: membuka usaha [warung] atau memiliki jip yang akan disediakan oleh pihak pengelola—dengan catatan satu keluarga hanya boleh memilih satu jenis usaha saja,” terang Pak Danu.

Melihat Candi Barong dan Banyunibo

Di desa yang terhitung tidak terlalu luas ini, ada beberapa candi yang sedang dalam proses restorasi dan ada juga candi yang sudah mengalami restorasi.  Pak Danu, yang berjalan di depan kami, kemudian menerangkan perbedaan candi Hindu dan Buddha.

“Candi Hindu atapnya runcing, sedangkan candi Budha atapnya berbentuk kubah.” terangnya.

Ini merupakan sebuah pengetahuan baru bagiku. Awalnya, aku cukup sulit membedakan candi Hindu dan candi Buddha sampai aku melihat altar pemujaannya yang berisikan arca, semisal arca Ganesha, Siwa, dan Buddha.

Kami memasuki kawasan Candi Barong dari arah halaman belakang. Berkat penjelasan Pak Danu, aku sudah bisa menebak latar belakang candi ini hanya dari atapnya. Beberapa orang pekerja lalu-lalang sambil membawa batuan yang akan digunakan untuk merestorasi candi ini.

Menurutku, kondisi Candi Barong tidak cukup baik. Bangunan depan candi sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Beberapa bongkah batuan andesit tersebar acak di permukaan tanah, mungkin dulunya batu-batu ini juga merupakan bagian dari Candi Barong. Setelah berjalan naik melewati tangga, aku bisa melihat bangunan candi yang lebih rapi dan sudah tertata.

Kami melanjutkan perjalanan ke Candi Banyunibo yang berada tidak jauh dari Candi Barong. Candi Banyunibo lebih rapi karena proses restorasi yang sudah usai. Tidak ada lagi batuan andesit yang berceceran, semuanya sudah bersatu dalam sebuah bangunan yang tampak liat. Penasaran akan nama Banyunibo yang bermakna “air jauh” dalam bahasa Jawa, saya kemudian bertanya kepada Pak Danu.

Candi Banyunibo
Candi Banyunibo/Azlina Fitri

“Namanya benar Banyunibo, Pak?”

Beliau lalu menjelaskan bahwa nama Banyunibo ini diambil karena daerah di sekitar candi ini memiliki pasokan air dan tanah yang cukup subur. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa daerah atas atau lokasi tempat Candi Barong tadi dulunya tidak memiliki sumber air yang cukup baik atau relatif kering, maka dinamakan Banyunibo (air jatuh). Candi Banyunibo merupakan candi yang digunakan untuk pemujaan Dewa Siwa, beberapa Nandini (patung sapi) juga terlihat di candi ini sebagai representasi wahana Dewa Siwa.

Perjalanan menyusuri candi ini memberikan banyak sekali pelajaran baru dan kesenangan tersendiri.  Kebetulan, aku memang cukup suka dengan cerita para dewa Hindu.  Mendengar nama-nama familiar seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu membuat hormon dopamin meningkat. Selanjutnya, aku juga mengunjungi tempat-tempat pembuatan kerajinan tangan di daerah Gunung Kidul. 

Melipir ke Desa Wisata Putat di Gunung Kidul

Tempat pertama yang aku kunjungi yakni Kerajinan Kayu Jati Eko Bubut yang merupakan pengolahan kayu jati menjadi alat-alat dapur seperti gelas, sumpit, piring, sendok, dan masih banyak lagi. Sebagai orang yang cinta barang-barang berbentuk dan berwarna aesthetic, aku membeli beberapa sebagai oleh-oleh.

Sambil memilih barang yang akan aku beli, telingaku mendengar Pak Eko yang sedang menceritakan usahanya ini. Ternyata, ia sudah menekuni Eko Bubut selama 14 tahun dengan total produksi bisa mencapai 10.000 item per hari. Hasil kerajinannya juga sudah diekspor ke mancanegara walaupun memang beliau masih menggunakan bantuan jasa eksportir.

Siang hari itu hujan turun cukup deras. Kami pun mengunjungi beberapa tempat kerajinan lainnya secara singkat—selain memang jadwal hari itu cukup padat. Dari tempat Pak Eko, kami menuju tempat pembuat topeng kayu di Joglo Batoer, Dusun Bobung, Desa Wisata Putat. Di desa wisata ini, dengan mudah kita menjumpai galeri dan workshop kerajinan kayu.

Aku mendapatkan kesempatan untuk membatik topeng kayu di sini. Proses pembatikan kayu kami lakukan di pada sebuah joglo terbuka. Di dalam joglo, berjajar beberapa kompor tradisional dengan wajan berisi lilin berdiri di atasnya. Penyelenggara kemudian membagi kami menjadi beberapa kelompok, satu kompor minyak kecil akan diisi sekitar 5-6 orang.  Selain itu, kami juga disambut penampilan bermain lesung oleh para ibu-ibu paguyuban Desa Wisata Putat.

Membatik menjadi hal yang cukup sulit untukku. Selain pergerakan tangan harus cepat, aku harus bersabar dan cekatan agar lilin panas yang sudah mencair tidak melebar ke bagian luar motif batik yang sudah di gambar sebelumnya. Karena tidak terbiasa, aku meneteskan beberapa lilin ke bagian luar dan membuat corak batik di topeng ku cukup berantakan. Tak apa, mungkin hasilnya tidak akan bagus? Tapi mungkin juga hasilnya akan jauh lebih menarik karena tetesan lilin yang tidak aku sengaja ini. Aku menerka-nerka bagaimana rupa topeng yang kubuat. Setelah proses pembatikan selesai, topeng akan diberikan pewarna dan dijemur selama beberapa jam hingga kering. 

  • Proses pewarnaan batik topeng
  • Membatik Topeng
  • Toko jati Pak Eko
  • lilin untuk membatik

Sambil menunggu hasil batik topeng, kami beranjak ke The Manglung makan untuk makan sore. Selain menikmati sajian sore, di sini aku bisa melihat Kota Yogyakarta dari ketinggian sembari berbincang dengan rombongan trip mengenai kegiatan hari ini. Tak lama kemudian, kami pun beranjak menuju ke penginapan karena hari sudah sore.

Jalan Kaki Sepanjang Malioboro

Hari kedua kegiatan Familiarization Trip berlanjut dengan mengitari salah satu jantung Kota Yogyakarta, yakni kawasan Malioboro dan Benteng Vredeburg. Sebagai orang yang tinggal di Jogja, mengunjungi Malioboro tentu bukan suatu hal yang asing. Cukup sering aku ke sini, apalagi saat ada teman dari luar kota berkunjung. Mereka, kebanyakan, memintaku menemani berkunjung ke sini entah hanya untuk jalan-jalan ataupun belanja untuk oleh-oleh.

Wajah Malioboro yang baru tampak familiar. 

Setelah diajak melihat-lihat teras Malioboro—tempat dimana para pedagang kaki lima yang tadinya berada di wilayah trotoar jalan Malioboro dipindahkan dan ditertibkan—kami kemudian mengunjungi Benteng Vredeburg. 

Ini adalah pengalaman pertamaku mengunjungi Benteng Vredeburg, yang membawa banyak sekali pengetahuan baru mengenai sejarah Indonesia dan khususnya Yogyakarta. Ada banyak diorama yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai dari kisah Yogyakarta yang dulunya sempat dijadikan ibu kota Indonesia karena Batavia pada masa itu dikuasai oleh sekutu.

  • benteng vredeburg
  • Diorama Benteng Vredeburg

Selama dua tahun terakhir, semenjak pandemi, aku jarang dan bahkan hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang baru. Oleh karenanya, dari perjalanan dua hari tersebut cukup membuatku merasa lelah secara mental. Meski begitu, perjalanan kali ini memberikan aku banyak pengetahuan baru yang membuat aku merasa lebih dekat lagi dengan kota yang baru aku tinggali selama kurang lebih satu tahun kebelakang ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar