Kue Wadai Cincin

Mencicipi Wadai Cincin di Banjarmasin

by M. Irsyad Saputra

Suasana pagi itu ramai. Motor lalu lalang mendesing bagai peluru tajam. Suara tawar menawar terdengar seperti gemuruh hujan yang turun dari langit. Pasar itu selalu ramai, mungkin karena letaknya yang berada di pinggir jalan raya sehingga memudahkan orang-orang untuk singgah. Ada yang berjualan buah-buah lokal, ikan segar, ada pula sayur mayur yang baru saja tiba dari pengantarnya. Segera saja mataku mencari-cari di mana orang yang berjualan kue.

Kue-kue yang dijual ada berbagai macam; roti pisang, donat, wadai lapis, klemben, babungku, dan kue cincin. Kue cincin merupakan salah satu kue kegemaran saya kalau urusan kue tradisional. Teksturnya yang padat, rasa gulanya yang pas membuat lidah gemerisik menahan rasa, lalu warna coklatnya yang menarik mata untuk mendekat. Saya membeli beberapa buah untuk dimakan di rumah. Lumayan untuk mengganjal perut di pagi hari.

Kue Wadai Cincin
Wadai cincin dalam etalase bersama panganan lain/Irsyad Saputra

Kue cincin merupakan panganan khas beberapa daerah seperti Kalimantan, Betawi, Sunda. Orang Betawi menyebutnya sebagai kue cincin, orang Sunda menyebutnya Ali Agrem, orang Banjar menyebutnya dengan nama wadai cincin. Bentuknya memang seperti cincin, lebih tepatnya menyerupai kue donat. Wadai cincin Banjar tampak berbeda dari yang lain karena mempunyai empat lubang. 

Menurut buku Makna Simbolik dan Nilai Budaya Kuliner “Wadai Banjar 41 Macam” pada Masyarakat Banjar Kalsel, empat lubang pada wadai cincin melambangkan empat penjuru mata angin. Empat penjuru mata angin tersebut menunjukan darimana datangnya siklus alam, juga menggambarkan keharmonisan alam satu dengan alam lainnya.

Wadai cincin termasuk dalam “wadai 41” yang umum tersedia dalam acara-acara ritual orang Banjar sebagai persembahan kepada makhluk alam sebelah. Penggunaan istilah 41 merujuk kepada banyaknya sajian jenis kue, yakni 41 macam. Sejak zaman Hindu utamanya Kerajaan Nagara Dipa, “wadai 41” sudah ada sebagai pelengkap upacara. Lambat laun pengaruh Islam yang kuat mempengaruhi pemaknaan ritual yang berganti kepada ritual-ritual yang bernafaskan agama Islam. Misalnya dalam acara maulid nabi, tapung tawar, badudus, dan lainnya.

Bahan-bahan pembuatnya berupa tepung beras, gula merah, gula putih, dan garam. Ada yang menggunakan pisang sebagai tambahan adonan. Panaskan gula merah dan gula pasir, campurkan tepung beras. Campurkan semua bahan kemudian bentuk adonan menggunakan tangan. Lalu buat empat lubang menggunakan jari (merujuk pada kata “cincin” termasuk dalam penggunaan jari pada adonannya seperti memasukkan cincin ke jari). Kemudian goreng dengan api kecil agar matangnya merata.

Penjual wadai cincin yang saya temui, Rusmini, menjual kue-kue tradisional dalam warung kecilnya. Dia tidak membuatnya sendiri, melainkan diantar oleh penjual lainnya. Wadai cincin yang diantar tiap hari sebanyak 25 buah. “Cincin pisang ini namanya, berbeda dengan cincin biasa,” katanya. Mewarung, kebiasaan orang Banjar disaat pagi ini juga identik dengan kue-kue khas Banjar. Kegiatan mewarung adalah kegiatan santai saat pagi hari sebelum berangkat kerja, kue-kue tersebut menjadi santapan pagi hari ditemani segelas teh hangat. Di pinggiran kota, tradisi tersebut masih berlangsung, meski dikepung kemodernan.

Ada varian yang lain dari kue cincin yang menggunakan tepung talipuk atau teratai. Varian wadai cincin ini termasuk langka, hanya didapati di daerah Amuntai dan sekitarnya. Nymphaea Pubescens Willd atau talipuk dalam bahasa Banjar merupakan salah satu tumbuhan rawa yang tumbuh liar di habitat alami. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah Hulu Sungai Utara, daerah Rawa Lebak, oleh karena itu penggunaan talipuk umum digunakan sebagai alternatif tepung untuk bahan pangan. Berdasarkan komposisi gizi, tepung biji talipuk terdapat asam amino dan beberapa kandungan seperti 92,35% karbohidrat, 3,106% pati, 2,49% protein, 0,11% lemak, 0,49% abu, 4,56% air. 

Kue Wadai Cincin
Kumpulan kue tradisional dalam warung via Flickr/Andri Kusuma Harmaya

Para pencari buah talipuk sibuk mengayuh diantara teratai-teratai. Ternyata buah talipuk ini terbentuk apabila bunga teratai sudah layu dan masuk ke air. Sambil mengayuh dan memeriksa, para pencari buah ini mengumpulkannya dalam satu wadah di jukung. Satu buah, dua buah, lambat laun sudah terkumpul  buah teratai yang cukup banyak. Buah yang terkumpul kemudian dibersihkan dan didiamkan selama beberapa hari agar mudah dibuka. Buah yang kemudian terkumpul berbentuk biji-biji kecil, kemudian basuh dengan air hingga lendirnya hilang. Biji yang sudah dibasuh kemudian dijemur hingga kering dan siap untuk digiling hingga halus.

Cincin talipuk hanya mempunyai satu lubang, tidak seperti cincin tepung beras yang mempunyai empat lubang. Saya mendeskripsikan rasanya sebagai wadai cincin terenak, ada bulir bulir kecil seakan berpasir ketika kita mengunyah makanan tersebut. Saya beberapa kali dikirimi wadai itu oleh nenek saya yang berada di Hulu Sungai. Maklum, variasi cincin ini langka, tepungnya tidak dijual secara luas. 

Wadai cincin memang kalah bersaing dengan kue-kue modern dan kekinian yang tampil dengan segala macam rupa dan rasa. Kue-kue yang dipoles dengan warna mentereng dan simbol terkenal mendominasi di mall dan pinggir jalan raya. Pelestarian kue tradisional sangat bergantung pada pasar tradisional, bukan tidak mungkin suatu saat akan tergerus ritel modern, dan pada akhirnya juga tamatlah riwayat kue tradisional yang akan semakin sulit dicari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Irsyad Saputra

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

You may also like

Leave a Comment