Tulisan ini ingin menceritakan kepada pembaca semua tentang perjalanan saya mengenal Sang Buddha di tanah kelahiran saya, Kota Tegal.

Semua dimulai dari sebuah pertemuan di Metta Vihara, Tegal. Sejujurnya, janji saya buat dengan sangat mendadak. Romo Ing Tjong baru memberikan kabar semalam, sekitar jam setengah sebelas. Beruntungnya saya masih membuka WhatsApp saat itu dan belum menyandarkan tubuh di kasur. Persiapan sebelum berangkat biasa saja. Saya membawa barang sekenanya saja, seperti buku, pena, power bank, uang, serta, seperti biasa, dua ponsel. Kalau satu ponsel low-bat, saya bisa menggunakan yang lainnya.

Sesampai di depan vihara, saya titip pesan ke abang, “Tunggu di mobil aja, nggak lama, kok.” Saya tak menyangka pada akhirnya diskusi berjalan cukup lama; saya hanyut dalam cerita panjang Romo Ing Tjong.

Metta Vihara tampak depan/Muhammad Fadhil Ghifari

Sebelum bertemu romo, saya mencuci tangan menggunakan sabun; safety procedure. Ketika akhirnya bertemu dengannya, saya merasa semua jauh di luar dugaan. Saya kira ia sosok yang dingin dan cuek, namun ternyata justru sebaliknya. Tentunya kami tidak bersalaman, demi keamanan di tengah pandemi seperti sekarang. Usai perkenalan singkat, saya dibawa romo ke ruang serba guna khusus untuk menerima tamu dari luar.

Perbincangan kami di dalam ruangan itu diawali dengan sebuah permintaan sederhana dari romo, “Untuk penulisan Buddha nanti dobel ‘d,’ ya. Jadi ‘Buddha,’ bukan ‘Budha.’”

Sebenarnya saya mengetahui soal ejaan itu, tapi saya tak tahu apa alasannya. Penasaran, saya memastikannya, “Memang kenapa, Romo?”

Dengan senyum khas pria paruh baya, ia menjawab tenang, “Budha itu nama salah satu dewa sembahan yang ada di India sana. Nah, kalau Buddha, itu artinya orang yang tercerahkan, orang yang sudah mencapai pendalaman sempurna, ya, Sang Buddha itu.”

Ia juga sempat bercerita sedikit soal betapa sulitnya pengajuan perubahan nama dari Budha menjadi Buddha kepada pihak pemerintah atau otoritas yang mengurusinya. Birokrasi negara ini membuat sekadar menambah huruf “d” di pertengahan nama agama saja menjadi susah. Para pemuka agama Buddha di Indonesia perlu menunggu bertahun-tahun sampai ada dua huruf “d” alam Buddha.

Romo berkisah panjang lebar perihal sejarah masuknya Buddha ke nusantara. Saya jadi pusing sendiri, seolah-olah sedang ikut kursus pelajaran Sejarah bab masuknya agama Buddha ke nusantara, mulai dari cerita zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dahulu sampai soal dua aliran besar Buddha di Indonesia yakni Mahayana dan Theravada (Hinayana). Caranya menjelaskan seru sekali. Namun, entah kenapa tetap saja saya diserang kantuk.

Kemudian, lanjut Romo Ing Tjong, pengaruh Buddha di nusantara meredup, lama, sampai akhirnya hadir kembali pada pertengahan abad ke-20, sekitar dekade 1950-an. Pelopor kebangkitan itu adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sekitar dekade 1960-an, Buddha memasuki wilayah Karesidenan Tegal (Brebes, Tegal, Pemalang, dan sekitarnya). Di Tegal sendiri, Buddha yang berkembang adalah Buddha Theravada. Peresmian vihara ini dilakukan oleh bhikkhu dari Sri Lanka pada tahun 2001 lalu. Sayangnya romo lupa nama tokoh yang membawa Buddha ke Tegal.

Lalu saya mengajukan rasa penasaran lainnya, “Apa makna ritual ibadah bagi umat Buddha?” Ia dengan senyum merekah menjelaskan dengan sangat tenang dan runtut.

Ruang berdoa untuk leluhur/Muhammad Fadhil Ghifari

“Aku contohkan yang paling dekat saja, ya. Waisak, misalnya. [P]erayaan Waisak ini salah satu perayaan yang kami tunggu. Kenapa? Karena dalam Waisak kami memperingati tiga perayaan bersamaan,” jelas Romo Ing Tjong yang kemudian melanjutkan, “yang pertama ada hari kelahiran Sang Guru, atau Siddharta Gautama, atau Sang Pangeran. Kedua, Pangeran mencapai penerangan sempurna menjadi Sang Buddha. Ketiga Sang Buddha meninggal … Waisak ini terjadi di Bulan Waisakka, atau di masa purnama di Bulan Mei menurut kalender internasional. Waisak ini juga disebut Tri Suci Waisak, karena [ada] tiga perayaan itu tadi.”

Pemaknaan terhadap Waisak itu—tentang kelahiran, perjuangan, dan kematian—sejalan dengan salah satu praktik dalam ajaran Buddha, yakni “selalu berbuat baik.”

Menurut romo, Buddha meyakini adanya satu masa kehidupan “baru” setelah kematian pertama. Maksudnya, bilamana seseorang mati dari hidupnya yang sekarang, dia akan lahir kembali di kehidupan berikutnya dengan membawa “bekal” dari kehidupan sebelumnya. Meskipun Romo Ing Tjong tidak menyebut secara spesifik, ini saya maknai sebagai salah satu konsep dalam Buddhisme, yakni reinkarnasi. Sebab itulah penekanan ajaran Buddha ada pada selalu berbuat baik dan baik, bagaimanapun caranya dan dalam keadaan apa pun.

Beberapa kali romo memberikan penekanan soal “berbuat baik.” Semula sempat saya skeptis, “Loh, setiap agama ‘kan pasti memang ngajarin berbuat baik?” Ternyata konsep berbuat baik yang ia ceritakan menarik juga. Ketika berdoa, umat Buddha tidak diperkenankan untuk “meminta” pada Buddha. Justru mereka diharuskan untuk “aktif” demi mendapat apa yang mereka minta. Meminta dianggap hanya akan membuat manusia berserah tanpa usaha dan cuma menggantungkan nasib kepada Tuhan. Padahal semestinya, menurut konsep Buddhisme, Tuhan bukan tempat bergantung atau meminta pertolongan, melainkan Sang Guru yang “menuntun” menuju jalan kebaikan dan segala yang ingin dicapai. Dengan apa? Dengan prinsip berbuat baik sepanjang hayat itu tadi. Ini adalah ajaran utama Sang Buddha sebelum Ia mencapai kesempurnaan sebagai seorang Buddha dan akhirnya moksa.

Sembari bercerita, Romo Ing Tjong memilih-milih buku di perpustakaan atas ruang serba guna yang juga bergabung dengan ruang leluhur ini. Ada satu patung Buddha besar yang terbuat dari fiber dan bercorak khas Indonesia (corak Borobudur), beberapa simbol Buddha lainnya, dan juga foto para leluhur. Pemeluk Buddha cukup serius rupanya menjalin hubungan yang intim dengan roh leluhur melalui doa-doa setiap setelah ibadah.

Romo Ing Tjong sedang memilih buku koleksi perpustakaan vihara/Muhammad Fadhil Ghifari

Kata romo, di kehidupan selanjutnya, mereka yang sebelumnya hanya berbuat jahat akan terus menjadi seorang yang menderita sepanjang hidupnya, penuh kesakitan dan pedih. Oleh karena itu, salah satu yang bisa menyelamatkan kehidupannya adalah doa-doa dari keluarganya yang akan cukup membawa keselamatan atas hidup barunya.

Setelah memilih dan menemukan buku yang dicari, romo memberikan buku itu pada saya. Katanya begini, “Nggak usah dikembalikan, itu buat kamu. Buat kenang-kenangan kamu juga. Anggap sebagai salah satu yang bisa jadi media persahabatan kita. Dan bisa mempermudah kamu dengan tulisanmu nanti.”

Saya terharu sekali mendapatkan semua ini. Diberi kesempatan untuk bisa berkomunikasi langsung dengan salah seorang petinggi vihara saja saya sudah merasa beruntung, sekarang ditambah pula dengan mendapat kenang-kenangan buku Dharma, Ajaran Sang Buddha.

Romo berkata bahwa berbuat baik [dalam ajaran Buddha] tidak hanya kepada sesama Buddha, bahkan juga tak hanya kepada sesama manusia. “Berbuat baik itu sama semua makhluk,” ujarnya. “Termasuk kalau kamu ngelepasin lele dari pasar. Kenapa lele? Karena kalau kamu lihat ke pasar, penjual itu kejem banget sama lele. Lele masih hidup segar, terus dibunuh dengan sadis, digetok kepalanya, dibanting, langsung disobek badannya, tanpa ampun. Sekadar kamu beli lele setengah kilo saja, terus kamu lepas ke sungai, itu kebaikan dalam Buddha. Kita nggak ada konsep pahala, tapi adanya dharma kebaikan. Untuk itu tadi, mencapai kesempurnaan dan mendapatkan nasib baik di kehidupan selanjutnya.

Setelah itu ia membawa saya ke ruang utama vihara, yaitu ruang ibadah. Sambil berjalan, ia bercerita soal relief dinding di sebelah ruang ibadah; gambaran sejarah singkat perjalanan Sang Guru sampai menjadi Sang Buddha.

Relief perjalanan Sang Buddha/Muhammad Fadhil Ghifari

Sebelum masuk ke ruang ibadah, saya bertanya perihal satu bangunan stupa yang cukup besar di depan vihara, “Romo, ini buat apa? Itu juga kelihatan ada tempat dupa, ya?”

Ia menjawab, “Itu simbol estetika saja. Iya, bisa juga untuk berdoa. Karena di dalam [stupa] sana sebenarnya ada abu kremasi dari seorang yang sudah mencapai sempurna. Tandanya itu, di bagian tulang belakangnya ada bongkahan kecil dari permata. Dan itu ada di dalam stupa ini.”

Sepanjang pandemi ini, ibadah dilakukan secara daring dan pribadi di rumah masing-masing, meskipun vihara juga tak menutup pintu bagi umut yang tetap ingin ke vihara, asalkan tidak menggerombol.

Di Tegal, toleransi yang terjalin cukup baik. Saat kami berada di dalam ruang ibadah, Romo Ing Tjong menjelaskan bagaimana toleransi terbentuk baik di Tegal, salah satunya karena ada ruang bersama yang disebut dengan FKUB, akronim dari Forum Komunikasi Umat Beragama yang menaungi enam agama yang diakui secara formal di Indonesia. Salah satu praktik kerukunan adalah melakukan kunjungan ke posko mudik setiap menjelang lebaran.

Nyaris tidak pernah ada konflik antaragama di Tegal. Dalam 30 tahun terakhir, terhitung hanya ada satu kasus yang baru saja terjadi sekitar 3-4 tahun lalu—itu pun sebenarnya hanya sebuah kesalahpahaman dan selesai setelah mediasi. Setelah itu, tidak pernah ada pertikaian yang mengatasnamakan agama apa pun, khususnya Buddha di Tegal.

Seru sekali obrolan panjang dengan Romo Ing Tjong itu. Dalam kondisi begini, ia masih rajin dan terus bersemangat untuk rutin datang ke vihara. Sebelum pulang, saya diajak mengobrol sebentar dengan istrinya yang sudah sempat berbicara dengan saya beberapa hari sebelumnya. Romo dan istrinya adalah pribadi-pribadi yang sangat ramah dan terbuka, yang tidak ragu-ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan penasaran yang saya ajukan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar