Interval

Melihat Dampak Baik COVID-19 bagi Wisata Alam

“Pantai memanggilmu. Santailah dulu sejenak kawanku. Tinggalkanlah semua masalahmu. Bisik pasir debu dan ombak, temani semesta membiru.”

Lirik lagu di atas adalah lagu RAN, original soundtrack dari film Kulari ke Pantai, sebuah film anak-anak yang bercerita tentang petualangan tiga orang ke tempat-tempat wisata. Pantai menjadi tempat wisata yang di-highlight dalam cerita ini.

Namun bukan hanya film itu saja yang mengangkat tempat-tempat wisata alam. Telah banyak film—dan juga lagu—bertema liburan dan mengekspos keindahan alam. Banyaknya seniman dan filmmaker yang menyuguhkan tempat-tempat wisata mengindikasikan bahwa lokasi wisata alam khususnya pantai dan pegunungan sering dipilih sebagai tempat liburan.

Kesegaran udara dan keindahan alam menjadi alasan umum bagi para wisatawan untuk lebih memilih datang ke sana ketimbang ke tempat wisata buatan. Indonesia juga menempatkan wisata alamnya sebagai destinasi unggulan. Sebut saja pantai di Bali, Raja Ampat di Papua, Bunaken di Sulawesi, dan masih banyak lagi. Setiap harinya entah berapa ratus ribu wisatawan yang pergi berlibur. Angka tersebut menandakan bahwa minat berwisata masyarakat sangat tinggi.

Tetapi, pandemi COVID-19 telah melumpuhkan banyak sektor di dunia, utamanya wisata. Terhitung sejak awal 2020, beberapa negara yang terdampak corona mulai membatasi wisatawan untuk datang. Tidak dapat dipungkiri bahwa pergerakan manusia di dunia menyebabkan virus ini dapat cepat menyebar. Ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan, hingga saat tulisan ini dibuat, dikutip dari Covid19.who.int, kasus infeksi virus ini telah mencapai 3.862.676. Dalam laman web yang sama, virus ini sudah tiba di 215 negara, dengan kasus kematian mencapai 265.961 jiwa.

Banyaknya kasus yang telah teridentifikasi, membuat beberapa negara menerapkan kebijakan kuncitara (lockdown) dan pembatasan untuk datang ke tempat ramai. Imbas dari kebijakan ini adalah sektor pariwisata di dunia menjadi lumpuh. Keadaan tersebut juga dialami oleh Indonesia. Beberapa destinasi wisata terpaksa tutup dan harus merumahkan para pekerja. Hotel dan fasilitas pendukung wisata juga terdampak oleh keadaan ini. Orang-orang mulai memutar otak untuk bertahan hidup, karena tidak lagi mendapat penghasilan. Pemerintah juga terus memikirkan kebijakan lain agar masyarakat tetap hidup dalam kecukupan meskipun sedang terimbas wabah.

Melihat sisi baik wabah terhadap lokasi wisata alam

Barangkali, secara perekonomian, wabah ini memang membawa berita buruk bagi dunia pariwisata. Namun, jika dilihat lebih dalam, lokasi wisata alam justru mendapat keuntungan.

Saat keadaan normal, manusia berbondong-bondong ke tempat-tempat wisata alam seperti pantai, gunung, bukit, air terjun, sungai, dan lainnya. Setiap wisatawan yang datang menyebabkan perubahan ekologis di sekitar tempat wisata. Salah satunya berkaitan dengan sampah. Merujuk kepada data dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tahun 2015, sampah yang ditemukan pada wilayah Gunung Bromo dan Semeru … 1,5 ton per hari (Hamzah, 2015). Belum lagi perusakan alam dengan mengambil atau menginjak tanaman juga sering terjadi. Kebijakan untuk tetap tinggal di rumah setidaknya membuat alam bernapas sejenak. Tanpa wisatawan, lokasi-lokasi wisata alam dapat memperbaiki ekosistemnya secara mandiri.

Turis/pendaki asing dan lokal di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara barat (NTB), Oktober 2016 via TEMPO/Aditia Noviansyah

Barangkali argumen dalam tulisan ini bagi sebagian orang akan dianggap sebagai keegoisan. Dalam keadaan yang seperti ini, sangat beralasan jika fokus kita cenderung berada pada nasib pekerja wisata dan kerentanan yang mereka hadapi. Tetapi, bagai dua sisi mata uang, kelesuan pariwisata ini dapat menjadi peluang bagi alam untuk melakukan penyembuhan dari kegiatan eksploitasi. Liputan6.com beberapa waktu lalu mengabarkan bahwa beberapa pantai di Phuket, Thailand, yang sepi oleh pengunjung kembali dipadati oleh berbagai hewan laut, di antaranya adalah bintang laut, penyu, lumba-lumba, dan kepiting (Amani, 2020). Kehadiran satwa laut ini menunjukkan bahwa lingkungan sedang mengalami perbaikan dan regenerasi.

Momen ini juga menghadirkan kesempatan untuk memperbaiki beberapa kebijakan pembangunan, terutama dalam sektor wisata. Banyak sekali pekerjaan rumah sektor wisata yang perlu dikerjakan, di antaranya menyangkut wisata alam dan upaya konservasi. Kita perlu merefleksikan bahwa alam yang kita sebut sebagai objek wisata perlu beristirahat dari eksploitasi yang berlebihan. Adanya manajemen terhadap perilaku dan pembatasan wisatawan dapat menjadi solusi. Buckley (2011) melihat kolaborasi antara pemerintah dan stakeholder untuk merancang kebijakan wisata ramah lingkungan dapat berhasil. Tentu dengan mempertimbangkan pula biaya perawatan untuk membantu melindungi alam dan tempat wisata.

Wisata dan perubahan alam adalah dua hal yang tidak akan pernah berpisah. Ketika wisata ada dan merusak alam, kerusakan tersebut juga akan merusak wisata (Holden, 2008).

Jadi kita perlu benar-benar berpikir untuk merawat lokasi wisata berbasis alam ini dengan lebih hati-hati lagi, sebab alam adalah komponen kehidupan yang penting, yang juga menyediakan tempat tinggal bagi manusia serta menyuplai makanan. Melalui kebijakan yang diperbaiki, diharapkan ketika pariwisata kembali berjalan normal tidak ada lagi kerusakan lingkungan dan eksploitasi secara besar-besaran. Program pembangunan wisata juga harus dipastikan mendukung kelestarian alam. Sebab, sebenarnya, jika kita memperlakukan alam sama seperti manusia, alam akan menjadi sahabat bagi kita. Ketika dulu, sebelum wabah, kita sering memperlakukan alam secara tidak baik, bukankah sudah sepantasnya alam kini bergembira?

Wisata bukan aktivitas yang salah dan dilarang. Setiap manusia berhak berwisata untuk kembali menyegarkan pikiran. Namun, sebagai “orang asing” yang datang ke sebuah tempat baru, kita perlu menghormati tempat itu serta makhluk yang hidup di sana. Bagai seorang kekasih, alam perlu dicintai dan disayangi.

Semoga setelah pandemi COVID-19 alam dan manusia dapat berbahagia dan bergembira bersama. Bukan seperti orang-orang yang hura-hura menyambut tahun baru, namun seperti dua sahabat lama yang sedang melepas rindu.


Referensi

Amani, N. K. (2020, April 22). Pantai Thailand Tutup Akibat Pandemi Corona, Penyu di 11 Sarang Siap Menetas. Dipetik Mei 10, 2020, dari liputan6.com: https://www.liputan6.com/global/read/4233751/pantai-thailand-tutup-akibat-pandemi-corona-penyu-di-11-sarang-siap-menetas

Buckley, R. (2011). Tourism and Environment. Annual Review Environment Resource, 397-416.

Hamzah, M. N. (2015, Mei 18). Wisatawan Membludak, Sampah di Semeru Capai 1,5 Ton. Dipetik Mei 15, 2020, dari Malang Times: https://www.malangtimes.com/baca/1351/19700101/070000/wisatawan-membludak-sampah-di-semeru-capai-15-ton

Holden, A. (2008). Enviroment and Tourism. New York: Routledge.

WHO. (2020, Mei 10). WHO Corona Disease (Covid-19) Dashboard. Dipetik Mei 10, 2020, dari World Health Organization: https://covid19.who.int/


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mahasiswa Jurusan Antropologi yang setiap saat dituntut untuk peka terhadap fenomena.

Mahasiswa Jurusan Antropologi yang setiap saat dituntut untuk peka terhadap fenomena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *