Fenomena keberadaan permukiman kumuh menunjukkan tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang menyebabkan terjadinya perebutan lahan untuk tempat tinggal.

Umumnya, rumah-rumah itu di bawah standar-hidup, karena tidak cukupnya fasilitas perumahan seperti listrik, sanitasi, dan ketersediaan air bersih. Namun, tinggal di permukiman informal juga barangkali menjadi pilihan yang tepat dalam perspektif ekonomi dan kemudahan mobilitas ke tempat kerja yang berlokasi di pusat kota dan zona komersial. Sebagai akibatnya, populasi yang padat menciptakan masalah perluasan areal pemukiman ke tepi sungai dan menghasilkan limbah rumah tangga yang membuat ekologi sungai memburuk.

Permukiman kumuh di tepi sungai adalah masalah perkotaan paling umum di negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Di Kota Malang sendiri, merujuk Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/86/35.73.112/2015, lingkungan perumahan dan permukiman kumuh tersebar di 29 kecamatan.

Mengubah permukiman kumuh menjadi kampung tematik

Sebuah artikel berjudul Eviction and Fear of Evictions in the Philippines karya (Murphy & Anana, 1994) menjelaskan bahwa masyarakat di permukiman kumuh telah akrab dengan dampak dari sebuah keputusan penggusuran rumah yang sering terjadi menimpa kawasan informal dan kumuh.

Dalam realitasnya, praktik penggusuran seakan mengobjektivikasi masyarakat yang terdampak. Mereka terlihat sebagai objek dengan nilai yang rendah. Selain itu, penggusuran dapat menimbulkan rasa takut bahkan trauma mendalam bagi masyarakat terdampak. Rasa takut tersebut berpotensi memengaruhi mereka, membuat menjadi fatalis, bahkan barangkali juga akan mengakhiri tekad mereka untuk memperbaiki rumah dan lingkungan.

Lalu, bagaimana cara pemerintah Kota Malang merespons tumbuhnya permukiman kumuh tersebut?

Merespons problem tersebut, Kota Malang merancang program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) demi meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Alih-alih menggusur atau merelokasi, Pemerintah Kota Malang justru mengubah kawasan-kawasan tersebut menjadi kawasan wisata kampung tematik dan mengajak masyarakat ikut menyelesaikan permasalah kawasan kumuh lewat program pariwisata.

Keputusan tersebut membuat Kota Malang mendapat banyak sorotan, terlebih ketika pembangunan kampung wisata terlihat sangat cepat penyebarannya. Solusi ini seperti menjadikan pariwisata sebagai obat parasetamol yang dianggap dapat menyelesaikan banyak permasalahan sekaligus, seperti permukiman kumuh, informal, tingkat ekonomi masyarakat yang rendah, sampai soal keterlibatan masyarakat marginal.

Sejumlah wisatawan mengunjungi Kampung Warna-warni Jodipan di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis, 29 Juni 2017 via TEMPO/Rizki Putra

Di antara banyak kawasan wisata kampung tematik di Kota Malang tersebut, beberapa nama sudah tenar, semisal tiga kampung di bataran Sungai Brantas berikut: (1) Kampung Warna-warni, yang sebenarnya bernama Jodipan, dengan rumah-rumah berdempetan bercat warna-warni. Kampung Warna-warni menduduki peringkat pertama dalam wisata kampung tematik (Binar, 2019); (2) Kampung Biru Arema (KBA) yang merepresentasikan Arema—lewat pernak-pernik Arema—sebagai ciri khas Kota Malang; dan (3) Kampung Putih yang menyuguhkan pemandangan hunian warga serba putih yang berderet di gang-gang sempit samping Rumah Sakit Saiful Anwar.

Mempertanyakan kemenerusan wisata kampung tematik          

Sinergi-negosiasi antara pemerintah, swasta (perusahaan cat dsb.), dan masyarakat lokal memang tampaknya telah menghasilkan win-win solution. Pihak pemerintah berkepentingan untuk menertibkan permukiman informal, kemudian PT Inti Dayaguna Aneka Warna (Decofresh)—melalui pemerintah Kota Malang—mewujudkan programnya untuk berkontribusi bagi kehidupan masyarakat, sementara masyarakat kampung tersebut mengusung kepentingan terkait status mereka dalam menempati kawasan tersebut.

Kenyataan ini membuat saya melihat bahwa konsep performing, negotiating and transforming inequality (Durr & Jaffe, 2012) terkait ketimpangan dan kekuasaan perkotaan justru diwujudkan dalam bentuk komodifikasi ketimpangan, yaitu permukiman kumuh dan masyarakat terpinggirkan yang dipasarkan melalui produk pariwisata. Pariwisata menyajikan realitas keberadaan masyarakat di kawasan anti-mainstream (tinggal di pinggiran sungai, kondisi rumah yang berdempetan dalam gang-gang sempit). Ketimpangan kota masuk dalam kelindan negosiasi antarpihak yang mempunyai tujuan masing-masing, mewujudkan performa atau penampilan untuk menghapus citra buruk terhadap lingkungannya dengan mengubahnya menjadi sebuah produk pariwisata. Kemudian realitas ketimpangan kota juga mentransformasi masyarakat terpinggirkan menjadi masyarakat yang berpartisipasi dalam membuat keputusan bersama otoritas daerah.

Namun, ini justru memunculkan pertanyaan selanjutnya: ketika tren sudah menurun dan mereka tak dapat lagi menghasilkan secara ekonomi, apakah mereka tetap akan bisa tinggal di sana? Bagaimanapun juga, sebagaimana jelas mereka sendiri sadari, warga bantaran sungai tersebut tidak tinggal di hunian legal bersertifikat tanah. Tidak ada jaminan bahwa suatu saat mereka tidak akan direlokasi, entah atas alasan legal atau alasan-alasan lain seperti bencana alam seperti banjir.   

Melihat wajah ketimpangan kota yang tidak akan bisa dihapus dalam realitas permukiman informal, saya menyarakan untuk terus melakukan evaluasi dan inovasi terhadap tata kelola wisata sekaligus strategi pemasaran yang profesional. Jika tidak diimbangi, bukan tak mungkin kenyataan yang nyaman ini akan berubah jadi mimpi yang buruk bagi kawasan-kawasan wisata kampung tematik; hanya booming sesaat dan seterusnya hilang. Apalagi ketika atraksi yang mereka hadirkan hanya berupa lokasi berfoto murah alih-alih pengalaman yang akan membuat pengunjung selalu tertarik untuk kembali.

Dan sekarang COVID-19 sedang menggoyang dunia pariwisata. Jika tempat-tempat yang sudah mendunia saja bisa kosong melompong, tak ada jaminan tempat-tempat yang hanya tenar dalam skala regional, seperti kampung tematik, bisa tetap ramai. Tentulah akan ada efek domino yang terasa oleh masyarakat biasa yang hanya menyambung hidup dengan menjadi pemeran pendukung di arena wisata kampung tematik. Semua yang berkepentingan dalam dunia pariwisata kampung tematik memang—jika belum—harus segera bersiap untuk beradaptasi dan berinovasi menghadapi berbagai situasi, termasuk normalitas baru pasca-pandemi.


Referensi

Afandi, A. S. (2017, Agustus 6). Kampung Putih Destinasi Wisata Baru Kota Malang Diresmikan. Retrieved Februari 24, 2020, from Mediacenter Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Malang: https://mediacenter.malangkota.go.id/2017/08/kampung-putih-destinasi-wisata-baru-kota-malang-diresmikan/

Binar. (2019, Mei 09). 7 Wisata Kampung Tematik di Malang, Punya View Instagramable. Retrieved Mei 9, 2020, from Idntimes: https://www.idntimes.com/travel/destination/binar-restu-bumi/7-wisata-kampung-tematik-di-malang-punya-view-instagramable-exp-c1c2/5/full

Durr, E., & Jaffe, R. (2012). Theorizing Slum Tourism: Performing, Negotiating and Transforming Inequality. Revista Europea De Estudios Latinoamericanos Y Del Caribe / European Review of Latin American and Caribbean Studies, 113-123.

Murphy, D., & Anana, T. (1994). Evictions and Fear of Evictions in the Philippines. Environment and Urbanization, 40-49.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

lintar 16 Mei 2020 - 16:22

Wah menarik sekali, keep it up babe

Reply

Tinggalkan Komentar