Melihat pandemi yang belum kelihatan ujungnya, aku memutuskan untuk mudik. Ya, mudik, pulang kampung, atau apalah sebutannya.
Kala itu, sudah kurang lebih sebulan aku dan kakakku mendekam di apartemen mungil di Jakarta Selatan. Setiap dua minggu bapak ibu mengantarkan persediaan makanan rumahan dan buah-buahan ke apartemen. Prosedurnya ketat. Mereka akan parkir di depan lobi, memberi waktu bagi kami unuk mengambil dua kantong besar makanan di bagasi belakang, lalu tanpa basa-basi dan cipika-cipiki mereka akan kembali melaju ke Bogor. Ya, sayonara kami hanya lambaian tangan.
Sudah beberapa kali bapak ibu menyuruh kami pulang. Tapi, masih tetap ada perasaan was-was. Meskipun sudah beberapa minggu tidak ke kantor, tertib, dan meminimalisir pergi-pergi ke luar (jalan-jalan paling jauhku adalah membeli obat lambung ke apotek di gedung apartemen sebelah), aku masih takut membawa virus ke rumah.
Namun jenuh juga lama-lama mendekam di apartemen kecil itu. Sinar matahari sulit menerobos bangunan-bangunan tinggi. Berjemur di luar pun sulit karena terhalang gedung-gedung apartemen. Akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk mudik ke Bogor saja.
Malam itu hari Senin. Kami akan dijemput oleh bapak ibu dengan kendaraan pribadi. Kami pun bersiap-siap membawa baju rumah, beberapa baju pergi, juga baju kotor. Tidak lupa kami membersihkan kulkas dari makanan-makanan yang akan basi jika ditinggal lama. Makanan-makanan yang belum sempat dihabiskan akan kami bawa pulang juga.
Di dalam mobil, kami duduk berjarak dan menggunakan masker. Posisinya, di depan hanya ada bapak yang menyupir, di tengah kami berdua, dan di belakang hanya ibu. Malam itu hujan cukup deras. Sepanjang perjalanan suasananya cukup sepi untuk standar ibu kota. Namun ketika sampai di tol Jagorawi,
“Kok agak melambat, ya?” tanya bapak.
“Iya, ya. Kok agak macet?” heran, kujawab dengan pertanyaan.
Meski banyak mobil berkeliaran, seharusnya tidak sampai macet. Setelah maju beberapa ratus meter terungkaplah penyebab perlambatan jalan tol itu: mobil sedan merah, tampaknya seri tua, hancur di tengah jalan dengan posisi terbalik. Kelihatannya mobil itu habis menabrak pembatas sisi kanan dan terbalik ke tengah jalan. Tak kelihatan korban di sekitar tempat kejadian tersebut, kemungkinan besar sudah dipinggirkan orang-orang agar tak menjadi tontonan pengguna jalan.
Asumsiku, sang pengemudi mengira jalanan kosong dan memutuskan untuk melaju kencang. Namun, karena saat itu hujan lumayan deras, jalanan cukup licin, mungkin roda mobil terpeleset sehingga kejadian mengenaskan itu pun terjadi. Aku hanya bisa berharap semoga korban kecelakaan tersebut selamat dan kembali bersama keluarganya.
Akhirnya sampai juga di Bogor. Perjalanan itu tidak memakan waktu terlalu lama, mungkin kurang dari sejam. Sejuknya udara Bogor pada malam hari berbeda dari Jakarta walaupun selepas hujan. Nyamannya kota hujan ini. Aku segera mandi, beres-beres sedikit, lalu bersiap tidur karena sudah tak sabar bertemu matahari besok pagi.
Bangun pagi, suasana benar-benar berbeda dari apartemen Jakarta. Suara pagi hari bukan lagi suara KRL Commuter Line yang melewati stasiun dekat gedung, melainkan suara burung di genting, suara ayam di kampung sebelah, dan suara seseorang sedang menyapu sesuatu di depan rumah. Suasana pagi itu membuatku semangat bangun dari rebahan dan melangkah ke teras rumah untuk berjemur cahaya matahari.
Saking rindunya dengan matahari, suatu hari aku memutuskan untuk jalan-jalan dan joging keliling pukul 10.30, ketika matahari sudah panas dan cukup menyengat dibandingkan matahari jam 8 pagi. Berbekal masker, berjaga kalau-kalau bertemu tetangga dan harus basa-basi, aku pun mengitari daerah rumahku. Risiko kulit belang tak kupedulikan—wong tidak ke mana-mana. Yang penting kulit kena panas sinar matahari dan berkeringat sedikit.
Walaupun harus di rumah saja, aku bersyukur masih bisa melihat dan merasakan panas matahari walaupun hanya sebatas di sekeliling rumah atau teras, bukan di pantai. Terlebih, selama beberapa waktu aku sudah sangat kekurangan asupan sinar matahari ketika berada di apartemen mungil itu. Itu hal sederhana yang bisa kusyukuri, yang membantuku menjalani hari demi hari di tengah pandemi yang belum jelas ujungnya ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.