Selama tinggal di Pulau Kapoposang yang serba terbatas, sudah menjadi agenda rutin bagi saya untuk ke Pangkep. Intervalnya bisa dua minggu sekali atau sebulan sekali, tergantung ada atau tidaknya kapal yang bisa ditumpangi.
Beberapa waktu lalu, saya ke Pangkep untuk menebus sayur-sayuran dan buah-buahan dalam daftar belanjaan, sekalian mampir nongkrong di Logos Coffee demi menikmati akses internet. Maklum, di Pulau Kapoposang kuota internet saya terbatas. Soal sayur dan buah ini, sebenarnya di Pulau Kapoposang kami sudah mulai berkebun, tapi hasilnya masih kurang mencukupi. Kangkung, sawi, dan kacang panjang langsung habis begitu kami panen. Tapi, ke depan mungkin akan beda, sebab lahan terus diperbesar dan ilmu bercocok tanam terus digali.
Begitu tiba di Pangkep, efek wabah corona mulai terasa. Di pulau, saya memang sudah mengikuti kabar soal COVID-19 lewat lini masa. Tapi, kegiatan di pulau bikin pikiran saya tak terlalu tersita pada isu itu. Yang saya jumpai, wabah corona telah membuat roda perekonomian Kabupaten Pangkajene Kepulauan, nama panjang Pangkep, menjadi lesu. Terlebih sejak ditemukannya kasus positif di Makassar. Orang-orang pun mulai khawatir. Maklum, Pangkep dan Makassar hanya terpaut dua jam perjalanan.
Di Kapoposang sendiri, kewaspadaan sudah mulai muncul. Masyarakat pulau ternyata tak mau mengambil risiko. Salah satu langkah preventif yang dilakukan adalah mencegah wisatawan masuk pulau. Kemarin-kemarin, ada beberapa orang wisatawan yang “maksa” liburan ke pulau. Besoknya mereka langsung dipulangkan oleh warga.
Kafe Logos juga sudah terkena imbas. Di dalam kafe yang biasanya ramai itu hanya ada beberapa orang ketika saya datang. Itu pun adalah para kenalan Bang Ramez sang pemilik kafe, bukan tamu. Menurut Bang Ramez, omzet menurut tajam.
“Kemaren saja hanya [Rp]30 ribu,” ungkapnya. Itu ekuivalen dengan tiga gelas saja.
Pemerintah Pangkep ternyata sudah mengeluarkan imbauan untuk tidak berkumpul di keramaian. Ada semacam sweeping yang dilakukan petugas ke titik-titik keramaian untuk sosialisasi hal itu. Sekolah telah diliburkan, tempat-tempat kerja ditutup, dan masyarakat diimbau untuk #dirumahaja. Untungnya pasar masih berjalan seperti biasa meskipun harga beberapa bahan kebutuhan pokok sudah mulai naik.
Keadaan ini bikin saya makin tak ingin lama-lama di Pangkep. Saya ingin sesegera mungkin mencari kapal untuk kembali ke Pulau Kapoposang.
Keesokan paginya saya sudah di “Dermaga Pinggir Sungai” Pangkep lagi. Kapal sudah diisi berbagai barang dari pasar. Saat menunggu berangkat, saya tiba-tiba menyadari bahwa masyarakat di pulau memang sudah melek informasi. Tapi, yang sekarang mesti dipikirkan, segala informasi yang didapat mesti diverifikasi agar valid. Alasannya, ya, supaya tak muncul kepanikan untuk membeli bahan pokok secara berlebihan. Meskipun barangkali itu wajar-wajar saja menimbang kondisi sekarang. Yang jelas, relasi baik antara masyarakat pulau dan daratan dalam keadaan seperti ini akan jadi faktor yang sangat menentukan.
Akhirnya saya kembali melaut. Cuaca sedang cerah-cerahnya. Ketenangan laut hanya dipecah oleh suara mesin Dongfeng yang begitu memekakkan telinga. Jika biasanya perlu waktu sampai 7 jam untuk ke pulau, kali itu hanya 5 jam saja. Sesampai di rumah, beberapa orang sudah berkumpul. Mereka penasaran mendengar langsung soal situasi di Pangkep.
Kepala desa cukup tanggap menginstruksikan perangkat desa dan warga agar mulai lebih peduli soal kesehatan, misalnya soal praktik mencuci tangan, juga membuat papan informasi agar warga tetap tenang meskipun beraktivitas secara lebih berhati-hati. Jika di kota-kota besar penduduk disarankan untuk di rumah saja, di pulau warga diharapkan untuk tidak keluar-masuk pulau terlalu sering. Itu pun hanya jika ada kepentingan. Orang-orang dari luar pulau diimbau untuk tak datang dulu ke Kapoposang.
Kalau dipikir-pikir, tak akan sulit jika diberlakukan lockdown di Pulau Kapoposang, sebab pada dasarnya masyarakat di pulau cukup mandiri. Hidup di tempat yang jaraknya jauh dari Pangkep atau Makassar, mereka terbiasa bertahan dengan kondisi yang serba terbatas. Saat musim barat, misalnya, bisa hampir sebulan orang Kapoposang tidak keluar pulau.
Ketika dunia dilanda wabah seperti ini, anjuran untuk menjarakkan diri dengan dunia luar tidak terlalu jadi masalah untuk mereka. Yang perlu dilakukan warga justru bagaimana membuat orang sementara tak mampir dulu ke pulau.
Mungkin memang sudah digariskan semesta bahwa saya akan melewatkan masa-masa mencekam ini di tengah-tengah komunitas yang percaya bahwa ketenangan dan usaha mempertahankan hidup itu bisa sejalan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 comment
[…] Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang! […]