Kami tiba pada siang yang mendung di akhir bulan Juli. Saya ingat, tahun lalu, di hari keempat setelah Idul Fitri, saya tiba untuk pertama kali di Fakfak. Saat itu bandara belum rampung. Stasiun kedatangan digantikan sementara oleh bangunan sederhana berdinding triplek. Tak ada konveyor. Bagasi-bagasi dipilih oleh masing-masing penumpang seperti tumpukan baju loak di Ijhallen.
Setahun berselang, Bandara Torea telah siap menerbangkan burung besi dan menerima siapa saja, termasuk saya. Kali ini saya datang bersama dua kolega demi tujuan utama yang sama—mungkin sama pula dengan Portugis dan Belanda ratusan tahun lalu—yakni sebuah komoditas: Pala.
Dua kawan saya terlihat sama lelahnya. Setelah berganti pesawat tiga kali dari Jakarta menuju Fakfak, kami tersandar pada kursi tengah mobil rental yang mengantarkan kami ke hotel. Di dalam mobil, saya mulai percakapan dengan Zaenal, sang supir, sebisa mungkin dengan dialek Fakfak, menanyakan kesehatannya, anak istrinya, dan kabar mereka-mereka yang setahun lalu pernah saya temui.
Mobil melaju santai di jalan aspal pinggir laut, lalu turun-naik berkelok mengikuti topografi Fakfak yang berbukit-bukit. “Kota” Fakfak memang berada di pinggir samudra, dengan sebuah pelabuhan penumpang dan barang yang jadi pintu menuju Sorong, Kaimana, Nabire, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.
Dari kejauhan, dari dalam mobil tiba-tiba saya melihat sosok itu: tinggi besar dengan badan dan lengan hitam pekat. Lalu saya berkata pada kolega saya yang baru pertama ke Fakfak, sambil menunjuk, “Itu dia—Myristica argentea Warb.” Sosok itu adalah sebuah pohon pala Papua atau pala negeri atau, yang sekarang jadi nama varietas sahnya, pala tomandin. Si daun perak dari timur itu menjulang, dengan buah kekuningan menggantung di ujung-ujung dahan, menyembul di antara daun-daun rindang, hampir matang, hampir siap untuk panen barat.
Kami tiba di hotel, check-in, lalu merebahkan diri. Kali ini, kami akan tinggal selama kurang lebih satu bulan di Fakfak. Namun, alih-alih di hotel dalam “kota” Fakfak, sebagian besar waktu akan kami habiskan di dua desa nun jauh di timur laut Fakfak. Saya menyempatkan diri mengecek jadwal kegiatan, mengucap doa “Semoga Tuhan Berkati,” lalu memejamkan mata.
Jalan panjang ke Patimburak
Morten Kabes alias Morka memacu sepeda motor sedikit kencang. Entah berapa kelokan dan tanjakan dan turunan sudah dilewati. Di belakang, saya memegang erat besi di sisi kanan motor. Dua rekan saya bersama rombongan lain di mobil, sementara saya memilih naik motor dengan Morka, menikmati angin segar dan pemandangan hijau hutan-hutan sepanjang jalan menuju Kokas. Kami telah meninggalkan Kota Fakfak setengah jam lalu. Tak ada lagi internet. Saya bergumam dalam hati, “Aku datang, masa lalu.”
Sambil berkendara Morka bercerita bahwa jalan aspal ini masih muda usianya. Dulu, kakek, nenek, dan ibu-bapaknya, harus berjalan kaki hingga seharian penuh menembus hutan untuk membawa hasil bumi dari Kokas ke Fakfak. Kini, dengan motor dan jalan aspal, Fakfak dan Kokas hanya terpaut dua jam perjalanan saja. Tanpa macet. Tanpa sinyal.
Setelah lebih dari satu jam meluncur, kami berhenti di jembatan besar yang memisahkan sungai dan Air Terjun Kayuni. Bekal makan siang, nasi Padang, pun dibuka lalu kami santap dengan lahap ditemani cerita Morka tentang rombongan anak muda yang tenggelam di aliran Air Terjun Kayuni. “Aliran sungai nanti sampai ke Patimburak, Bang Sur, salah satu Kampung yang akan kita datangi.”
Nasi habis, kami menyesap rokok, lalu melanjutkan perjalanan.
Kami tiba di Patimburak ketika matahari hampir jatuh di ufuk, disambut sahut-sahutan dari mace-mace.
Sepeda motor dan mobil telah kami parkirkan di Pang Wadar, sebuah kampung di Kokas. Untuk sampai ke Patimburak, kami harus menggunakan boat dari Kokas, dengan perjalanan kurang lebih 45 menit. “Jalannya belum jadi, susah untuk dilalui menggunakan mobil atau motor,” begitu jawaban Morka ketika ditanya apakah ada jalan darat dari Kokas ke Patimburak.
Mace-mace tampak sudah sibuk menyiapkan makan malam, sambil menyirih pinang dan bercakap-cakap dalam bahasa setempat. Di Patimburak, bahasa Sekar-lah yang banyak digunakan. Tak tahan dengan penasaran, saya melongok ke dapur lalu membantu mace-mace. Rupanya tambelo, cacing bakau, yang akan jadi hidangan pembuka makan malam pertama ini. Mace Kampung mengajari saya cara menyiangi tambelo, mengeluarkan isi perut dengan mengiris badan cacing menggunakan gigi dari si cacing itu sendiri. Lalu jeruk diperas, garam ditambahkan bersama rica (cabai), dan diaduk dalam wadah berisi tambelo bersih, kemudian disantap mentah-mentah. Saya yang tak begitu suka sushi ternyata juga tak terlalu minat pada tambelo.
Lalu hari-hari di Patimburak terlewati dengan lambat, dengan banyak diskusi tentang pala, juga para petani dengan segudang pertanyaan yang saban hari memenuhi rumah kepala kampung tempat kami menginap. Kadang, sore hari selesai kegiatan pelatihan, kami sempatkan bermain voli di lapangan voli satu-satunya Desa Patimburak. Berkuliah di Belanda dan berteman dengan banyak laki-laki jangkung, aneh rasanya menemukan diri saya memiliki tubuh tinggi di Desa Patimburak.
Dua rekan saya lebih suka berkunjung ke Masjid Tua Patimburak, sebuah rumah ibadah yang konon berusia lebih dari dua abad sebagaimana diklaim prasasti penyebaran Islam di Fakfak oleh Kesultanan Tidore. Pada banyak sore, kami menghabiskan waktu di laut yang meti (surut). Pak Fadly, salah seorang rekan saya, menikmati sekali mencari kerang di lumpur. Saya dan teman-teman lain biasanya memancing di pinggiran dermaga, menunggu rombongan lumba-lumba yang kadang muncul.
Sekali peristiwa di atas perahu cadik mungil
Namun ada satu sore yang saya tidak akan lupa. Ketika itu kami baru selesai bermain voli. Badan saya berkeringat, gerah tak kepalang. Tak ada sumber air di Patimburak. Masyarakat harus pergi ke Mandoni, sebuah kampung di seberang Patimburak, untuk pergi mengambil air, entah untuk minum atau mandi. Sore itu air sudah habis. Bang Aburab, anak Mace Kampung yang biasa mengajak kami pergi mandi ke Mandoni sedang tak ada. Ia sedang pergi ke Kokas naik boat untuk membeli solar.
Saya bergumam pada Morka, “Morka, beta tra bakal bisa tidur kalo tra mandi habis berkeringat bagini e.” Lalu saya duduk lesu di pinggir laut, membayangkan malam yang tak tenang karena tak mandi, dan dikerubungi agas.
Morka diam, lalu pergi. Seperempat jam kemudian ia muncul, tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang kuning kemerahan karena sirih pinang. Ia duduk di sebuah cadik bersama bocah laki-laki, mengacung-acungkan dayung. “Bang Sur! Tong pi Mandoni [untuk] mandi. Pakai dayung saja!!!” serunya meletup. Saya lari, mengambil handuk, senter, dan sabun mandi. Iqbal Heremba, anak baru lulus SMA itu, juga mau ikut. Ia menawarkan diri mendayung nanti waktu pulang. Berangkat!
Kami berempat telah duduk dalam perahu cadik yang mungil. Saya duduk di tengah dan menimba air yang deras masuk lewat lubang kecil—bocor. Iqbal di depan. Sementara, Morka dan anak kecil itu mendayung sekuat tenaga di belakang. Saya sebenarnya takut. Cadik ini terlampau kecil dan kami berempat terlalu berat.
Lalu kami terkejut mendengar sebuah jeritan, jauh di belakang. Mace Kampung ternyata. Sekuat tenaga ia berteriak, “EEEE, gila! Tenggelam e! Putar-putar balik e! Su mau gelaaap ee! Buaya e!!!”
Buaya?
Saat itulah saya menyadari bahwa saya takut sekali. Saya lupa Patimburak adalah sebuah bagian dari muara yang panjang. Saya makin takut melihat bagian perahu yang terapung hanya satu buku jari dari permukaan air. Morka, seolah bisa membacanya ketakutan saya, berkata, “Abang, bisa berenangkah? Tenang Abang, buaya tidak suka kulit putih. Tong tiga ini yang dulu dimakan kalau tenggelam.” Tawa Iqbal dan anak kecil itu mengiringi banyolan Morka. Tidak membantu sama sekali.
Kami tak memutar haluan. Jeritan Mace Kampung tak kami hiraukan. Sepakat kami bahwa air terjun di Mandoni adalah tujuan. Perahu cadik terus melaju pelan dan saya menikmatinya dalam diam. Dalam diam pula saya teringat cerita pendek Seno Gumira, “Cinta di atas Perahu Cadik,” tentang suami seseorang yang bercinta dengan istri seseorang di atas perahu cadik. Tapi tak ada yang bercinta di atas perahu cadik kami. Yang ada hanya tiga manusia Papua yang terlihat tenang dan satu manusia norak yang ketakutan.
Pelan tapi pasti, Mandoni semakin mendekat. Kami sudah memasuki selat dan matahari sudah benar-benar merah di ufuk barat. Morka dan anak kecil itu memutuskan berhenti mendayung sejenak, menikmati matahari yang pelan terbenam di belakang hutan bakau, juga berkas-berkas cahaya oranye yang jatuh ke permukaan air. Cantik. Dan sunyi, sebab tiada lagi bunyi selain kecipak air. Lalu saya berkata, ”Morka, terima kasih sudah mengajak saya pergi mandi ke Mandoni dengan cadik ini.”
“Abang Sur, sabar,” balas Morka, “kita belum sampai Mandoni dan belum tentu selamat pulang ke Patimburak.” Lalu tertawa ia bersama Iqbal dan si bocah kecil.
Bagian pertama dari seri “Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora”
Baca juga:
Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1) […]