Akhir tahun lalu viral pemberitaan rencana Raffi Ahmad membangun bisnis vila, resor, dan beach club seluas 10 hektare (ha) dengan nama Bekizart Beach Club di atas kawasan karst Pantai Krakal, Gunungkidul, Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul, selaku pemangku wilayah, tampak menyambut gembira rencana investasi tersebut. Sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Jogja (16/12/2023), Bupati Gunungkidul Sunaryanta hadir langsung dalam acara peletakan batu pertama proyek bersama pemilik RANS Entertainment itu.

Tentu saja sebagai seorang selebriti dan pemengaruh dengan puluhan juta pengikut di media sosial, langkah Raffi Ahmad menjadi sorotan banyak pihak. Pro kontra pun naik ke permukaan linimasa perbincangan warganet. Pihak pro—termasuk pemkab—beranggapan keberadaan bisnis perhotelan akan melengkapi daya tarik wisata pesisir selatan Gunungkidul, serta meningkatkan perekonomian daerah. Di pihak sebaliknya, begitu keras menolak karena dikhawatirkan berdampak pada keberlanjutan ekosistem karst Gunung Sewu, terutama wilayah Gunungkidul.

Langkah bisnis industri pariwisata di atas kawasan karst Gunungkidul bukan kali pertama terjadi. Beberapa tahun sebelumnya telah berlangsung pembangunan serupa di kawasan lindung untuk mata air dan pertanian tersebut. Sebut saja Drini Park, Stone Valley by HeHa, dan HeHa Ocean View, destinasi wisata kekinian yang juga membelah gunung karst. Terbaru, rencana 300 vila milik Raffi Ahmad. Sebagaimana dikutip dari Betahita.id (20/01/2024), WALHI Yogyakarta mengkritik penyalahgunaan tata ruang atas pembangunan tersebut.

Tangkapan layar akun Instagram Raffi Ahmad menampilkan rencana pembangunan vila dan beach club miliknya di area karst Pantai Krakal, Gunungkidul

Gunung Sewu: kawasan karst yang indah sekaligus rapuh

Mundur beberapa waktu ke belakang, Pemkab Gunungkidul pernah melakukan langkah—yang menurut saya blunder—dan menghebohkan kalangan aktivis hingga pemerhati lingkungan hidup. Dalam keterangan siaran pers WALHI Yogyakarta (01/11/2022), pada November kala itu pemkab mengajukan surat permohonan peninjauan ulang delineasi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, khususnya wilayah Kabupaten Gunungkidul, kepada Menteri ESDM melalui Kepala Badan Geologi.

Dalam permohonan itu, pemkab berencana mengurangi 51,19% luasan KBAK, dari yang semula 75.835,45 ha—Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu—menjadi hanya 37.018,06 ha. Tujuannya agar pemkab memiliki keleluasaan untuk membangun infrastruktur, serta pengembangan pariwisata dan industri lainnya atas nama peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Sulit untuk tidak curiga sekaligus kesal pada langkah ngawur pemkab. Gunungkidul dianugerahi kawasan karst yang memiliki manfaat besar, tetapi seperti terlalu ngoyo untuk dikeruk demi kepentingan investasi—saya coba memperhalus frasa “disia-siakan”. Banyak pihak meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X menolak keras usulan Pemkab Gunungkidul tersebut.

Penetapan kawasan karst Gunung Sewu (mencakup wilayah Kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunungkidul) sebagai Global Geoparks Network (GGN) oleh UNESCO pada 2015, karena keindahan warisan bumi serta fungsi krusialnya untuk alam dan masyarakat, tampaknya ditafsirkan ke jalan yang keliru. Status prestisius itu bisa saja sewaktu-waktu terancam dicabut, seperti dialami kaldera purba Danau Toba karena terjadinya penurunan kualitas alam dan pengelolaannya (Antara News, 09/10/2023). 

  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul

Setyawan dkk (2015) menyebut Gunung Sewu merupakan salah satu kawasan karst paling lengkap di Indonesia, baik dalam aspek geologi, ekologi, ekonomi, dan budaya. Gunung Sewu tidak hanya menjadi tempat hunian masyarakat, tetapi juga rumah bagi keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya. Salah satunya adalah kelompok Selaginella, tumbuhan herba sejenis paku-pakuan yang membutuhkan air sebagai media untuk fertilisasi. Sementara kita tahu bahwa ciri khas gunung karst adalah kawasan yang rentan mengalami kekeringan jika kantung-kantung penyimpanan air hilang.

Sari Bahagiarti Kusumayudha, pakar bidang hidrogeologi karst, menguatkan fakta tersebut. Seperti dikutip Harian Jogja (25/11/2022), ia mengungkap ancaman bencana yang bisa muncul jika luasan KBAK di Gunungkidul dikurangi. Salah satunya adalah kekeringan yang sangat identik dengan Bumi Handayani, sedangkan karst perlu dilestarikan untuk menjaga ketersediaan air.

Perusakan gunung karst akan berdampak multisektor, seperti geologi, geomorfologi, hidrogeologi, arkeologi, pertanian, perkebunan, peternakan, ekonomi, dan sosial-budaya. Lebih lanjut rektor UPN Veteran Yogyakarta periode 2014—2018 itu menyebutkan bahwa kerugian yang timbul akan ditanggung hingga anak cucu. Ikon Gunungkidul seketika lenyap hanya untuk kenikmatan ekonomi sesaat, sementara butuh waktu jutaan tahun agar terbentuk gugusan karst seperti sekarang ini.

Deretan kebijakan “membangkang” kaidah peraturan yang berlaku membuktikan tidak sinkronnya kebijakan antarlembaga pemerintahan di tingkat daerah maupun pusat. Tak ada kepastian hukum yang mengikat dan benar-benar terimplementasikan dengan baik. Benturan kepentingan bisa saja terjadi demi membuka lebar pintu investasi, yang sejatinya tidak ramah lingkungan bahkan tak berperikemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa pemangku kewenangan tampak malas untuk berpikir jernih, apalagi bekerja lebih keras demi meningkatkan kapasitas daerahnya tanpa harus merusak alam.

Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
Wisatawan menikmati Pantai Krakal, Gunungkidul/Azhari Setiawan via Wonderful Images Kemenpar

Mendesak tata kelola pariwisata berkelanjutan

Saya tak yakin jika Raffi Ahmad—dan juga investor lainnya—maupun pemerintah benar-benar berpikir betapa sangat genting dan pentingnya nasib gugusan karst Gunungkidul. Padahal tak kurang-kurang pelbagai riset menyampaikan manfaat dan potensi karst yang dikelola dengan baik, sekaligus membeberkan bahaya-bahaya yang timbul jika tekanan pada karst tak terkendali.

Namun, semua kajian ilmiah itu seakan mental. Tak mempan membendung nafsu bisnis, yang lagi-lagi dilakukan atas nama peningkatan perekonomian; yang tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmati. Tekanan-tekanan yang dihadapi bahkan tidak hanya tata kelola industri pariwisata yang serampangan, tetapi juga kegiatan penambangan batuan gamping yang mengancam fungsi karst untuk alam dan masyarakat Gunungkidul.

Pariwisata memang menjadi sektor andalan perekonomian daerah, bahkan nasional. Terlebih Gunungkidul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah lama dikenal dunia. Pariwisata memiliki potensi besar untuk mengangkat taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, semua itu tidak akan ada artinya jika alam maupun lingkungan—tempat destinasi itu terbangun—kian “lelah” dikeruk terus-menerus demi kepentingan ekonomi.

Di Gunungkidul, sejatinya pantai-pantai yang terbentang alami telah menjadi primadona tersendiri. Belum lagi liang-liang gua, aliran sungai, hingga kawasan hutan yang bisa diandalkan menjadi sumber perekonomian daerah, selama dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Jejak gunung api purba (kiri) dan bentang karst dengan tutupan lahan pertanian maupun hutan masyarakat di Nglanggeran, Gunungkidul (kanan). Nglanggeran termasuk berhasil mengelola sumber daya karst dan sektor pertanian-peternakan dengan kemasan desa wisata berbasis masyarakat dan ramah lingkungan/Rifqy Faiza Rahman

Apalah artinya miliaran rupiah dibanding bayang-bayang marabahaya karena alam yang terus diusik? Yakinlah, tidak akan sepadan. 

Pemkab Gunungkidul punya kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi, kenyataannya tak sesederhana itu. Tata kelola daya tarik wisata yang dimiliki tampak kurang terarah.

Padahal menurut Rudy dan Mayasari (2019), kunci pengembangan pariwisata yang tepat terletak pada pengelolaan terintegrasi, mulai dari perencanaan, kebijaksanaan penyelenggaraan, dan pemanfaatan sumber daya alam—secara berkelanjutan. Pariwisata mestinya dikelola dengan prinsip yang menekankan pada nilai-nilai kelestarian lingkungan alam komunitas, serta terjadi manfaat nilai-nilai sosial secara dua arah, yaitu untuk wisatawan dan masyarakat lokal.

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sudah mengatur dan menegaskan itu, bahwa seyogianya pariwisata justru memberikan perlindungan pada nilai-nilai budaya masyarakat dan kelestarian mutu lingkungan hidup. Walau pada faktanya, memang yang terjadi di lapangan acap bertolak belakang dari seharusnya. Dan ini bukan hanya berlaku untuk pemerintah Gunungkidul saja, tetapi juga lembaga pemerintahan lainnya; tak peduli di tingkat kabupaten/kota, provinsi, bahkan pusat.

Sudah banyak orang-orang baik yang telah meluangkan waktunya dan memberi “piweling” alias nasihat atau peringatan—lewat penelitian, kritik, surat terbuka maupun seruan keras—kepada pemerintah, Raffi Ahmad, hingga investor-investor lainnya. Saya berharap suara-suara itu didengar dengan saksama di sepasang telinga mereka, sebelum alam memberikan peringatan lebih keras dan menyakitkan.


Referensi

Antara News. (2023, 9 Oktober). Pemprov berjuang keras cabut status kartu kuning Geopark Kaldera Toba. Diakses pada 25 Maret 2024, dari https://www.antaranews.com/berita/3764520/pemprov-berjuang-keras-cabut-status-kartu-kuning-geopark-kaldera-toba.
Betahita.id. (2024, 20 Januari). Tiga Resor di Gunungkidul Diduga Langgar Kawasan Karst. Diakses pada 25 Maret 2024, dari https://betahita.id/news/detail/9776/tiga-resor-di-gunung-kidul-diduga-langgar-kawasan-karst.html?v=1705684145.
Budiyanto, Eko. (2018). Remote Sensing and Geographic Information System for Assess the Gunungsewu Karst Groundwater Vulnerability and Risk to Pollution in Gunungkidul District. [Doctoral Thesis Summary]. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Harian Jogja. (2022, 25 November). Pakar Hidrogeologi: Kalau Karst Dipangkas, Kekeringan di Gunungkidul Bakal Makin Parah. Diakses pada 18 Januari, dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/11/25/512/1118719/pakar-hidrogeologi-kalau-karst-dipangkas-kekeringan-di-gunungkidul-bakal-makin-parah.
Rudy, D. G., & Mayasari, I. D. A. D. (2019). Prinsip-Prinsip Kepariwisataan dan Hak Prioritas Masyarakat dalam Pengelolaan Pariwisata berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa. 13 (2). Pp 73—84. https://doi.org/10.22225/kw.13.1.2019.1-5.
Setyawan, A. D., Sugiyarto, Susilowati, A., dan Widodo. (2015). Diversity of Selaginella in the karstic region of Sewu Mountains, Southern Java. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Surakarta, 28 Oktober 2023. Volume 1, Nomor 6, September 2015, hal. 1318-1323. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010610.
WALHI Yogyakarta. (2022, 25 November). Press Release: Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia Menolak Rencana Pengurangan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses pada 18 Januari 2024, dari https://walhi-jogja.or.id/index.php/2022/11/25/press-release-koalisi-masyarakat-pemerhati-karst-indonesia-menolak-rencana-pengurangan-kawasan-bentang-alam-karst-gunung-sewu-oleh-pemerintah-kabupaten-gunungkiduldaerah-istimewa-yogyakarta/.
Yuwono, J. S. E. (2013). Karakter Geoarkeologis dan Proses Budaya Prasejarah Zona Poros Ponjong—Rongkop di Blok Tengah Gunungsewu. [Tesis]. Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Foto sampul:
Restoran privat Horizon Terrace di area Heha Stone Valley, yang berdiri di atas kawasan KBAK Gunungkidul/Pancurajipost.com


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar