Sebagai sektor yang rentan terhadap aktivitas konsumsi berlebihan (overconsumption), industri pariwisata dan hospitality selama ini menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak kecil dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, dan tentu saja mengancam keanekaragaman hayati. Diperkirakan, secara global, sektor pariwisata dan hospitality menghasilkan rata-rata sekitar 35 juta ton sampah per tahunnya. 

Menurut Sustainable Travel International—lembaga nirlaba yang mengusung misi antara lain mendorong aktivitas wisata berkelanjutan—para wisatawan, entah itu wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, umumnya menghasilkan sampah hingga dua kali lipat dibandingkan penduduk lokal. 

Jika mengambil rata-rata dalam sehari, seorang wisatawan memproduksi sekitar 1,67 kilogram sampah (Obersteiner et al, 2021). Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), para wisatawan menghasilkan setidaknya 4,8 juta ton sampah padat per tahun.

Jika tidak ditangani dengan baik, problem sampah ini sudah barang tentu bakal merugikan sektor pariwisata sendiri. Salah satunya yakni akan membawa citra buruk bagi destinasi wisata, yang akan berimbas kemudian pada enggannya para wisatawan untuk datang berkunjung. 

Dari aspek medis, sampah dapat menjadi sumber penyebaran dan penularan sejumlah penyakit yang pada gilirannya dapat memicu wabah. Di sisi lain, sampah juga merusak ekosistem tertentu. Misalnya, sampah telah terbukti merusak terumbu karang.

Dengan demikian, sampah yang dihasilkan wisatawan dapat memberikan tekanan yang cukup berat pada aspek kesehatan lingkungan yang ujungnya akan berimbas pada masa depan bisnis pariwisata itu sendiri. Belum lagi sampah-sampah yang dihasilkan dari sektor industri hospitality seperti hotel, restoran, katering, dan gedung konvensi.

Lantas, bagaimana solusinya?

Jika kita telisik lebih jauh, industri pariwisata dan hospitality umumnya menghasilkan dua jenis sampah padat. Yang pertama yaitu sampah plastik. Dalam hal ini, plastik sekali pakai yang menimbulkan permasalahan sangat serius bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati. Laporan UNEP tahun 2021 bertajuk From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic, menyebut bahwa sampah plastik telah meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut laporan tersebut, sekarang ini terdapat antara 75–199 juta ton sampah plastik di lautan. Pada tahun 2016 lalu, terdapat 9–14 ton sampah plastik masuk ke ekosistem perairan dunia. Diperkirakan, pada tahun 2040, jumlah tersebut bakal meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 23–37 juta ton. 

Plastik adalah sampah laut terbesar, paling berbahaya dan paling persisten. Sampah ini menyumbang setidaknya 85 persen dari semua sampah di lautan. Menurut The National Trust, lembaga swadaya yang berbasis di Swindon, Inggris, dan hirau akan masalah-masalah konservasi, per satu kali kita melangkah di pantai, setidaknya kita akan menemui dua kepingan sampah—yang boleh jadi salah satunya, atau bahkan keduanya, adalah sampah plastik.

Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang akan ada sekurangnya 1 ton sampah plastik untuk setiap 3 ton ikan, dan pada tahun 2050, jumlah sampah plastik justru akan melampaui jumlah ikan yang ada di lautan. Dengan kata lain, lautan akan lebih banyak dipenuhi sampah plastik daripada ikan (Gatehouse, 2019). 

Secara umum, ada dua jenis sampah plastik yang mencemari lautan. Pertama, plastik makro. Ini adalah plastik dengan diameter lebih dari 20 milimeter. Kedua, plastik mikro, yang diameternya kurang dari 5 milimeter. Pengelolaan sampah yang tidak memadai dan pembuangan yang sembarangan merupakan jalur utama masuknya plastik ke lingkungan laut. 

Tatkala hewan-hewan laut—termasuk ikan dalam hal ini—mengkonsumsi potongan sampah plastik, zat-zat kimia yang terdapat dalam plastik masuk ke dalam tubuh hewan. Dan ketika manusia mengkonsumsi hewan-hewan laut itu, zat-zat tadi pun lantas masuk pula ke dalam tubuh manusia. Hasil penelitian yang dilakukan Helene et al dan kemudian dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Environmental Science & Technology menyimpulkan dari sekitar 10.500 bahan kimia dalam plastik, hampir 2.500, atau 24%, mampu terakumulasi dalam organisme hidup, termasuk manusia dan hewan, dan berpotensi meracuni tubuh atau menyebabkan kanker.

Jenis sampah padat kedua yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan hospitality adalah sampah makanan. Sampah ini menjadi salah satu problem besar bagi lingkungan yang dewasa ini sedang kita hadapi. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menaksir sekitar 1,3 miliar ton sampah makanan dihasilkan per tahunnya dan ikut bertanggung jawab terhadap terus menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global.

Sejumlah sumber menyebut, pada tahun 2030 mendatang, jumlah sampah makanan diperkirakan bakal meningkat sebesar 60 persen dan akan menimbulkan kerugian finansial sekitar 1,5 miliar dollar AS.

Wisata Regeneratif

Mempertimbangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh industri pariwisata dan hospitality bagi lingkungan, belakangan ini muncul konsep yang disebut sebagai wisata regeneratif (regenerative tourism).

Selandia Baru disebut-sebut sebagai salah satu negara yang sukses mengembangkan wisata regeneratif. Tourism New Zealand, badan pariwisata resmi negara itu, dinilai telah berhasil mengajak semua wisatawan di negara itu untuk menepati Tiaki Promise. Ini adalah janji untuk merawat Selandia Baru, baik orang-orangnya, budayanya, tanahnya, lautnya, dan alamnya. Bunyi Tiaki Promise antara lain: “Saat bepergian di Selandia Baru, saya akan merawat tanah, laut, dan alam, melangkah dengan ringan dan tidak meninggalkan jejak; bepergian dengan aman, menunjukkan perhatian dan pertimbangan untuk semua; menghormati budaya, bepergian dengan hati dan pikiran terbuka.”

braga
Mungkinkah nantinya wisata regeneratif akan menjadi hal yang umum?/Djoko Subinarto

Menurut Pollock (2019), wisata regeneratif bertujuan untuk memulihkan kerusakan yang telah dilakukan terhadap alam, dengan menggunakan prinsip-prinsip alam, untuk menciptakan kondisi kehidupan untuk berkembang. Pollock berpandangan bahwa pendekatan regeneratif untuk industri pariwisata dapat dimulai dari rumah dan dari dalam diri kita sendiri, kemudian tempat kerja kita dan komunitas kita.

Sementara itu, dalam pandangan Bellato (2022), wisata regeneratif lebih merujuk kepada cara berpikir holistik di mana semua pemangku kepentingan, termasuk para wisatawan, membangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan cara berupaya untuk secara aktif meningkatkan sistem sosial dan lingkungan serta menyelaraskan segalanya untuk menopang planet Bumi ini sehingga semua makhluk dapat berkembang.

Intinya, lewat pengembangan konsep wisata regeneratif diharapkan dapat kian meningkatkan kesadaran lingkungan para wisatawan sehingga akhirnya turut secara aktif berperan dalam mengembangkan aktivitas wisata yang lebih pro-lingkungan. 

Misalnya, dalam kaitannya dengan sampah yang dihasilkan wisatawan, wisatawan diharapkan selalu membawa kantong yang dapat dipakai berkali-kali untuk menggantikan kantong plastik sekali pakai saat berwisata. Ketika membeli sesuatu pada saat wisata, mereka diharapkan pula mampu menghindari membeli produk-produk yang menggunakan kemasan plastik dan mengupayakan untuk membeli produk-produk yang menggunakan bahan-bahan daur ulang.

Contoh lainnya yaitu dalam hal penggunaan transportasi. Para wisatawan diharapkan memilih menggunakan transportasi publik, berjalan kaki atau bersepeda ketika menuju destinasi wisata. Begitu juga dalam hal menggunakan air dan listrik ketika berwisata, para wisatawan menggunakannya secara bijak sehingga tidak terjadi penghamburan atau pemborosan.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar