Travelog

Menembus Nostalgia di Adonara Timur

Pada Desember 2021 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi kampung halaman ayah saya di Adonara Timur tepatnya di Desa Lamawolo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pemandangan sejak lima tahun silam kini terlihat sedikit berbeda, namun hangatnya sapaan kereu ina/ama—ungkapan salam yang dilontarkan ketika berpapasan untuk wanita/pria—serta tradisi jumat bersih oleh perempuan di kampung ini masih melekat dengan erat di ingatan dan nyata hingga hari di mana saya menginjakan kaki kembali di bawah kaki Gunung Ile Boleng ini.

Perjalanan menuju Adonara kali ini, saya sebut “pelarian” karena modal nekat dan dana minim. Merasa sangat suntuk dengan rutinitas di depan si merah—panggilan spesial untuk laptop kesayangan—saya memutuskan mengajak Inry—sahabat saya—dalam misi pelarian ini.

Perjalanan kami mulai dari Kota Pancasila, Ende, sekitar pukul 07.00 pagi. Saya dan Inry beranjak menuju Kota Larantuka menggunakan bus antar kota. Perjalanan ini memakan biaya sekitar 130 ribu rupiah per orang dengan jarak tempuh sekitar 286 km. Waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan sekali perhentian di Kampung Boru untuk beristirahat dan makan siang. 

Sekitar setengah jam melepas penat sekaligus mengisi perut dengan semangkuk bakso dan juga teh hangat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami tiba di sana sekitar pukul 4 sore, untuk kemudian menuju rumah paman saya yang berada di Desa Lebao. 

Malam itu menjadi malam panjang nan lelap. Setelah bergegas membersihkan diri dengan air hangat dan membaluri badan dengan minyak kayu putih, rasa penat setelah seharian suntuk berada di dalam bus sirna. Kami beristirahat di rumah paman selama dua hari, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Adonara. Kali ini paman saya ikut serta.

Pukul 09.00 pagi, kami bertolak dari Pelabuhan Larantuka menuju Adonara menggunakan kapal motor. Perjalanan laut dari Pelabuhan Larantuka menuju Pelabuhan Waiwerang Adonara memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan tarif 20 ribu rupiah per orang. 

Kapal motor merupakan salah satu transportasi utama masyarakat Flores Timur dan Lembata, oleh karena itu kepadatan di kapal motor nampak dari kerumunan penumpang hingga barang yang diangkut. Salah satu yang masih khas dan masih saya temui hingga sekarang yakni kapal motor Arkona yang merupakan kapal motor jurusan Larantuka–Waiwerang yang masih beroperasi dengan baik, dari usia saya seumuran anak SD hingga sekarang saya berusia 23 tahun. Tiba di Pelabuhan Waiwerang kami langsung menuju rumah kakek dan nenek yang terletak di Desa Lamawolo. 

Cerita dari Pantai Watotena

Singkatnya, waktu liburan ini tentunya tidak cukup jika hanya berdiam diri di dalam rumah saja. Saya bersama keluarga memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata andalan kebanggaan orang Lamaholot yaitu Pantai Watotena yang terletak di Desa Bedalewun, Adonara Timur. Perjalanan dari Desa Lamawolo menuju Pantai Watotena memakan waktu sekitar 15 menit menggunakan mobil. Biaya masuknya hanya Rp5.000 saja.

Menurut cerita warga setempat, pantai ini merupakan salah satu saksi atau simbol suatu kejadian di masa lampau yang masih hidup sampai sekarang. Sesuai dengan arti namanya, watotena yang berarti perahu dari batu atau batu yang berbentuk perahu. Arti dari Watotena bisa kita lihat dari salah satu bebatuan hitam (batu magma) yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Batu ini merupakan hasil semburan magma dari Gunung Ile Ape, Lembata. 

  • Pantai Watotena
  • Pantai Watotena

Terhampar pasir putih dengan bulir pasir yang halus dan bersih, deburan ombak, bebatuan hitam di sekelilingnya yang mengapit pantai, dengan Gunung Ile Boleng di belakangnya. Warna air lautnya hijau biru, membuat saya betah berlama-lama duduk menatapnya di atas lopo—gubuk kecil yang tersedia sebagai tempat untuk beristirahat. Dari jauh tampak beberapa rombongan keluarga yang mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan komuni suci.

Di sini, pengunjung tidak boleh membuang sampah, membawa rokok dan minuman keras di pesisir pantai. Bagi yang ingin menikmati minuman atau merokok sudah disediakan lopo, dan sampah harus berada pada tempatnya.

Kampung Lamawolo 

Kali ini saya juga akan menceritakan tentang kampung halaman ayah saya. Kampung Lamawolo, berada tepat di bawah kaki Gunung Ile Boleng. Adat dan budaya masih sangat kental di daerah ini. Orang-orangnya juga tidak kalah ramah walaupun kadang “tampangnya garang”.

Ke mana pun pergi dan berpapasan dengan masyarakat sekitar, entah itu bocah SD maupun orang dewasa yang tidak kalian kenal, janganlah heran ataupun merasa aneh jika mereka menyapa hangat. “Kereu,” begitu kalimat sapaan di sini.

Sebagai putri Adonara yang hidup berdampingan dengan adat, tentunya saya tidak lupa untuk mengunjungi tanah leluhur yang letaknya di Kampung Lamawolo Atas. Di sini, terdapat sebuah Bale Adat Suku Lamawolo yang berisi rumah adat dari tiap suku yang berbeda di Desa Lamawolo dan sebuah tanah lapang untuk upacara adat. 

Sebagai bentuk penghormatan untuk tanah leluhur, saya bersama Indry mengunjungi tempat ini dan menyempatkan waktu untuk sedikit berbincang dengan kepala suku dan yang juga menjaga rumah adat suku saya. Ada berbagai tempat di area bale adat ini yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang, namun dengan tetap menjaga sikap dan tutur kata maka kita pun bisa keluar dari tempat ini dengan berkat baik pula. 

“Setiap doa leluhur selalu mengiringi ke mana pun anak cucunya berpijak, dengan tidak melupakan mereka merupakan salah satu penghormatan besar bagi para leluhur kita.” 

Pagi itu, saya dan Indry yang memakai kwatek Adonara—kain tenun tradisional Adonara yang ditenun langsung oleh perempuan Adonara. Kami menyusuri Bale Adat Suku Lamawolo yang terletak di bawah lembah Gunung Ile Boleng. Ragam bentuk rumah adat tiap suku di Lamawolo yang terdapat di Bale Adat pada umumnya semi modern, dilihat dari perpaduan material yang dipakai untuk membangun rumah adat yakni beton dan sebagian dinding berupa bambu.

Pelarian saya kali ini sangatlah singkat, tapi sangat berkesan. Mudah-mudahan di lain kesempatan saya bisa lebih sering menyempatkan waktu untuk mengunjungi ujung timur Pulau Flores ini.                           

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.                                                                         

Ansi Doni atau kerap disapa Adon oleh teman-teman saya, mahasiswa Arsitektur tingkat akhir di UMN (Universitas Multimedia Nusantara), di sela-sela kesibukan menyelesaikan tugas akhir dan melihat rumitnya angka serta mencerna bangunan saya sengaja menjerumuskan diri di dunia jalan-jalan selain karena hobi, ini adalah salah satu cara saat ini untuk kembali mengisi daya serta membangkitkan semangat saya lewat rekam jejak perjalanan.

Ansi Doni atau kerap disapa Adon oleh teman-teman saya, mahasiswa Arsitektur tingkat akhir di UMN (Universitas Multimedia Nusantara), di sela-sela kesibukan menyelesaikan tugas akhir dan melihat rumitnya angka serta mencerna bangunan saya sengaja menjerumuskan diri di dunia jalan-jalan selain karena hobi, ini adalah salah satu cara saat ini untuk kembali mengisi daya serta membangkitkan semangat saya lewat rekam jejak perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Silat Bajo dan Budaya yang Mulai Pudar