Perjalanan LestariTravelog

Apakah Tambakrejo akan Tenggelam?

Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130 bibit pohon mangrove hasil dari kampanye Pendekar Lingkungan TelusuRI di sana.

Roda kendaraan kami mengaspal jalan, dari Jatingaleh menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Truk tronton merayap parkir di sayap kiri, pada sepanjang jalan menuju gang masuk kawasan Tambakrejo. Usai melewati pabrik-pabrik di kawasan pelabuhan, kami berhenti tak sampai satu menit pada sebuah masjid berwarna hijau di kiri jalan. Aroma “asin” mulai tercium, menjadi tanda bahwa tujuan kami sudah dekat. “Ini kita jalan saja lurus mentok, lalu belok kiri,” ucap saya pada dua kawan lain yang mengendarai motor berbeda.

Jalan aspal mulus berganti dengan tanah kering. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan bergelombang. Gapura “Selamat Datang di Tambakrejo” dengan warna merah khas salah satu BUMN menghantarkan kami masuk ke kawasan Tambakrejo. Aroma khas pinggir pantai makin terasa. Begitu juga dengan udara yang terasa panas, menyengat meski matahari belum naik ke atas kepala.

Sekitar satu kilometer setelahnya, di depan Sekretariat CAMAR, Pak Yazid menyambut kedatangan kami dengan hangat. “Silakan masuk ke dalam Mbak, yang lain sudah menunggu di dalam.”

Sehari sebelumnya, beliau mengucurkan banyak rasa terima kasih karena kami karena “kembali” ke Tambakrejo. Dua tahun lalu, saya memang sempat singgah ke sini, melakukan hal yang sama dengan apa yang akan saya lakukan hari ini. Kali ini masih dengan misi yang sama, namun dengan teman perjalanan yang berbeda, saya datang mewakili para Pendekar Lingkungan yang sudah berdonasi pohon mangrove untuk penghijauan pesisir Tambakrejo.

Di sudut lain, Pak Julaimi, Ketua Kelompok CAMAR sedang asyik berbincang dengan Rivai dan Rifqi. Ketiganya tampak begitu serius. Saya menyela obrolan seru mereka dan memberikan informasi bahwa kegiatan akan segera kami mulai.

persiapan acara
Persiapan sebelum acara dimulai/Mauren Fitri

Semua berkumpul. Ada 12 orang selain anggota Kelompok CAMAR yang akan ikut menyeberang. Tiga dari LindungiHutan, lima dari TelusuRI, dan sisanya adalah relawan. Hasan memberikan arahan perjalanan ini, sebelum akhirnya kami menaiki kapal lalu menyeberang.

Langit Semarang membiru, matahari makin naik. Suara deru kapal menemani perbincangan kami yang kebanyakan baru saling kenal pagi hari itu.

“Dulu kawasan ini merupakan area tambak atau budidaya ikan. Rejo artinya hasilnya melimpah sekali. makanya orang menamainya Tambakrejo,” Pak Julaimi membuka diskusi di gazebo edupark.

“Pada waktu saya masih lulus SD, kiranya sekitar tahun 1986, untuk ke bibir pantai, saya harus berjalan satu setengah kilometer dari pemukiman. Parah-parahnya sekitar tahun 2000-an, abrasi mulai mengguncang kawasan ini. Pada tahun tersebut, saat saya buka pintu belakang rumah, ternyata sudah laut.”

Tahun 2011 baru Kelompok CAMAR didirikan. Dari sini para anggota kelompok yang terdiri dari masyarakat setempat bertekad untuk mengembalikan tanah mereka yang kini tenggelam. Tanah yang dulunya tambak, tanah yang dulunya identik dengan mangrove.

Pak Julaimi melanjutkan, “Dulu, menurut orang tua saya, mangrove itu adalah benalu karena akar-akarnya menjadi tempat ikan bersembunyi sehingga pas musim panen, tangkapan nggak maksimal.”

Lain dulu, lain pula sekarang. Kondisi Tambakrejo sangat jauh berbeda. Pak Yazid, kemudian melanjutkan sesi diskusi mengenai mangrove itu sendiri. Jenis apa saja yang tumbuh di sini, hingga bagaimana mangrove dapat bermanfaat untuk masyarakat selain untuk mengembalikan ekosistem Tambakrajo. Kami berjalan perlahan, mengitari jalur trekking yang terbuat dari bambu sepanjang kurang dari 300 meter.

“Awalnya, kawasan ini menjadi tempat untuk memberikan edukasi mangrove kepada orang-orang yang berkunjung. Sayangnya, tak banyak orang yang singgah. Apalagi saat pandemi. Apa yang kami bangun, akhirnya kurang maksimal. Hanya segelintir orang saja yang datang, itupun kebanyakan dari mahasiswa dan akademisi; bukan wisatawan.”

Bapak paruh baya yang mengenakan kaus hijau dengan logo LindungiHutan ini seorang nelayan ikan di Tambakrejo. Selain menjadi nelayan, ia juga menjadi petani pohon mangrove bersama kelompok CAMAR. Ia melakukan pembibitan mangrove di atas lahan sempit, di belakang rumahnya. Pak Yazid dan Kelompok CAMAR mulai melakukan pembibitan secara otodidak, berdasar pada pengalaman dan berguru pada stakeholder yang lebih ahli di bidang ini. 10 tahun sudah ia bergabung di kelompok ini, bahkan ia mendapatkan julukan “profesor” karena pengalamannya berjibaku dengan mangrove.

“Ayo kita ke lokasi penanaman,” ajaknya kepada kami semua setelah menghabiskan sekitar 20 menit di edupark. Kami kembali naik ke atas kapal, Pak Yazid memimpin di depan. Mesin kapal kali ini tak dinyalakan, Pak Yazid dengan galahnya yang panjang mendorong kapal perlahan menuju titik penanaman. Tak jauh ternyata, hanya sekitar 20 meter, namun tak bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Kaki kami mulai basah. Tak ada dermaga untuk mendaratkan kaki-kaki ini. Sampah-sampah di bibir pantai pun menyambut. Saya dan kawan-kawan lain yang baru kali pertama tiba di sini tiba-tiba terperangah mendapati ada makam yang tenggelam juga ikut mengucapkan selamat datang.

“Dulu ada jalan dari sana, sampai sini. Sekarang jalan itu ikut tenggelam, jadi makam ini tidak digunakan lagi,” terang Pak Yazid pada kami.

Sebagian makam memang sudah ada yang dipindahkan, namun tidak semua. Biaya untuk memindahkan makam memang tak murah, gumam saya. Menariknya, saya menemukan makam yang terbilang baru. Di nisannya tertulis meninggal pada tahun 2014 dan 2015—artinya, pada masa itu area tersebut belum tenggelam. Kalau saya hitung, jaraknya hanya sekitar 7 tahun dari sekarang. Cepat juga tenggelamnya!

Fakta lain yang baru saya tahu, ternyata tak hanya air laut yang naik hingga menyebabkan Tambakrejo tenggelam, tetapi juga ada penurunan muka tanah. “Beberapa tahun sekali, warga di sini meninggikan rumah mereka setidaknya satu hingga dua meter, Mbak.” Pak Yazid menjelaskan.

“Di mana ada reklamasi, di situ ada abrasi. Lihat saja itu pelabuhan, reklamasi bukan? Abrasinya di sini, Mbak,” sahut Pak Julaimi.

Meninggikan rumah supaya tidak terkena banjir rob, apakah solusi? Entahlah, saya tak mau berpikir berat siang itu. Matahari makin menyengat, yang berarti tanda untuk kami harus bergegas untuk mulai menanam.

Sebanyak enam orang anggota Kelompok CAMAR sudah memulai penanaman lebih dulu sehingga kami bisa melanjutkannya. Satu per satu dari kami mengambil bibit-bibit mangrove yang setiap polybag-nya berisi dua batang bibit. Tujuannya, jika satu pohon mati, masih ada pohon lain yang akan berpeluang hidup. “Kita, manusia saja diciptakan berpasang-pasangan. Begitu juga mangrove,” canda Pak Julaimi pada kami.

  • Peserta tanam mangrove
  • anggota CAMAR
  • Penanaman mangrove

Keringat mengucur sedikit demi sedikit dari kepala dan punggung kami. Topi di kepala tak cukup untuk menghalau panas. Kami pun mempercepat penanaman. “Ini caranya begini, gali dulu tanahnya, lalu masukkan polybag ke dalamnya. Setelah itu, tutup dengan tanah lagi.” Pak Yazid tampak menjelaskan bagaimana cara menanam mangrove yang benar kepada kami. Tentu, tak boleh asal tanam supaya bibit-bibit ini tetap bisa tumbuh dan bertahan saat air laut pasang nanti.

“Rata-rata, tingkat kehidupannya di atas 90%. Jadi nggak usah khawatir. Asal pohon-pohon ini tidak jatuh, dia akan tumbuh ke atas.”

1.130 pohon yang terbagi menjadi 565 polybag sudah berada di tempatnya, tertanam di tanah lumpur Tambakrejo yang tenggelam. Kaus kaki yang kami kenakan juga sudah mulai molor ke mana-mana, pertanda kami harus kembali ke daratan.

Sebelum mengakhiri perjalanan, Pak Yazid mengajak kami untuk melihat tempat pembibitan mangrovenya. Ia juga menjelaskan bagaimana cara pembibitan. Di sini, saya mendapatkan satu fakta baru lagi bahwa ternyata pohon mangrove juga bisa hidup di darat. “Ada yang pernah coba menanam, bisa hidup. Mangrove itu kan tumbuhan yang sifatnya adaptif, jadi bisa menyesuaikan dengan lingkungan dia tumbuh.”

“Wah bisa nih, kita tanam di pot! Lumayan, bisa mengurangi polusi di sekitar rumah,” celetuk salah satu di antara kami. 

***

Saya percaya, Tambakrejo tak akan tenggelam jika ada Pak Julaimi, Pak Yazid, Kelompok CAMAR, LindungiHutan, dan juga kamu yang kini berkomitmen untuk menjadi Pendekar Lingkungan.

Tabik!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Energi Terbarukan untuk Listrik Daerah Wisata Terpencil