Penyuka seni ukiran kayu tentu sudah tak asing lagi dengan suku Asmat. Mereka bermukim di Kabupaten Asmat, Papua, yang daerahnya penuh rawa. Sehari-hari, masyarakat Asmat berburu binatang dan meramu sagu. Tapi, yang berbeda dari suku lainnya, orang-orang Asmat memiliki keahlian unik yakni mengukir kayu. Saya belum pernah ke Agats, Ibukota Kabupaten Asmat. Untungnya, tak perlu ke Agats untuk melihat ukiran Asmat.
Anak-anak suku Asmat belajar di Jayapura
Jayapura sebagai Ibukota Provinsi Papua tentunya punya infrastruktur pendidikan paling maju di provinsi itu. Dan tak salah jika kota ini menjadi tujuan bagi anak-anak dari berbagai pelosok Papua untuk menuntut ilmu. Tak terkecuali bagi anak-anak Asmat, yang sejak dulu berdatangan ke Jayapura untuk mengembangkan kemampuan diri.
Karena itu, jika berkunjung ke Jayapura kita dapat menemukan banyak sekali asrama perwakilan berbagai daerah dari penjuru Papua.
Asrama Wowyipits didiami oleh mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Asmat. Letaknya di belakang Expo, daerah Gelanggang, Waena. Jalan masuknya berliku, di gang kecil di ujung jalan buntu—mblusuk. Sampai-sampai ada lelucon, “Pencuri masuk ke sini kalau tra lulus sekolah tra ‘kan ingat jalan pulang.”
Walau nyempil di lingkungan padat penduduk, Asrama Wowyipits sangat mudah dikenali. Di sini terdapat lima rumah panggung kayu yang terpisah di lahan seluas lapangan badminton. Rumah-rumah itu hanya terpisahkan sekira dua anak tangga dari permukaan tanah. Pekarangannya berupa tanah hitam tertutupi oleh serpihan kayu yang bertebaran, pertanda banyaknya kayu yang dikupas dan dibentuk di sini.
Ada alasan kenapa rumah seperti itu masih dipertahankan sebagai asrama. Katanya, tempat seperti ini mengingatkan mereka dengan rumah di kampung halaman. Peradaban suku Asmat memang tak terpisahkan dari kayu. Kampung halaman mereka saja dijuluki Negeri Sejuta Papan. Bermukim di wilayah rawa, mereka memang terbiasa hidup di rumah kayu.
Mengukir untuk mencukupi kebutuhan hidup
Saya main ke Wowyipits bersama Kaka¹ Iam, seorang dosen yang sehari-hari mengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua. Dari depan asrama itu tampak lengang, seolah-olah tak ada orang. Namun, sayup-sayup, dari dalam terdengar suara orang sedang memahat.
Kami masuk ke dalam. Ada sekitar lima orang yang sedang bermain-main dengan selembar kayu, seolah-olah sedang asyik menulis. Suara ketukan sambung-menyambung seperti dendang lagu. Setelah saya amati, saya kaget sendiri mendapati bahwa mereka memukul pahat dengan tangan kosong alih-alih palu!
Salah seorang dari mereka menghampiri kami. Namanya Gregorius Asinawor, biasa dipanggil Kaka Goris. Salah seorang senior di Asrama Wowyipits ini adalah mahasiswa ISBI.
Bersama Kaka Goris ada sekitar lima puluh orang anak Asmat yang tinggal di Wowyipits. Tapi jangan samakan mereka dengan mahasiswa rantau di Jogja, misalnya, yang tiap bulan mendapatkan jatah bulanan dari orangtua. Mereka hidup di Jayapura dengan segala juang. Beasiswa sebesar Rp 3 juta dari pemerintah daerah yang datang setahun dua kali tentu saja tidak mencukupi kebutuhan mereka selama di Jayapura.
Dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, mereka dituntut untuk melakukan segala daya upaya untuk mencari biaya, sekadar untuk makan dan biaya pergi naik taksi (sebutan bagi angkutan umum).
“Kadang kalau kami ada kebutuhan uang yang mendesak, ukiran kami bawa ke kantor pemerintahan. Meminta mereka untuk membelinya,” tukas Kaka Goris.
Di balik ukiran Asmat
Bagi orang-orang Asmat, mengukir bukan sekadar seni membuat pola di potongan kayu. Mengukir bagi mereka adalah cara untuk berkomunikasi dan menghormati leluhur. Kesakralan dari mengukir untuk leluhur ini yang lama kelamaan mulai luntur dan terpaksa mereka lakukan setiap hari atas nama ekonomi.
Ukiran Asmat sarat makna. Selain melambangkan kehadiran roh leluhur, ukiran Asmat merupakan ungkapan perasaan sedih atau senang, perlambang kepercayaan serta keindahan, dan kenangan terhadap leluhur. Karena itulah ukiran yang dihasilkan setiap pengukir Asmat berbeda-beda, eksklusif; penghayatan masing-masing orang pasti akan berbeda.
Setiap seniman punya “signature” masing-masing. Sebagai pengukir, mereka bercerita di atas kayunya. Ada yang bercerita tentang manusia, tapi tak sedikit pula yang mengukir tentang alam. Alam dan manusia adalah dua motif yang jamak muncul dalam ukiran Asmat.
Kayu yang mereka ukir pun tidak sembarangan, hanya kayu besi dan kayu linggua yang terkenal keras yang mereka gunakan.
Mendengar cerita Kaka Goris, saya jadi paham kenapa ukiran Asmat dihargai tinggi di mancanegara. Seni memang dapat dipelajari, tapi hasilnya akan berbeda jika seni itu sudah mendarah daging dan diajarkan turun-temurun sejak zaman leluhur, seperti pada masyarakat Asmat. Anak-anak suku Asmat dilahirkan dengan kelebihan dapat mengukir tanpa menggunakan sketsa. Semua mengalir seperti bernapas; tanpa diajarkan pun kita sudah bisa menghirup udara. Mengukir, bagi anak-anak Asmat, sama seperti bernapas.
Sebelum beranjak, saya bertanya bagaimana nasib ukiran-ukiran yang belum laku dijual? Kaka Goris menjawab, “Kami simpan di dalam, sambil menunggu ada yang mau beli.”
[1] Kaka adalah sapaan hormat Papua terhadap orang yang lebih besar—ed.