Interval

Djamaluddin Adinegoro, Travel Writer Indonesia

Di Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, ada sebuah jalan panjang yang diberi nama Jl. Adinegoro. Letaknya di pinggir kota. Sudah masuk Padang coret sebenarnya. Berkendara sedikit saja lebih jauh kamu akan tiba di Kabupaten Padang Pariaman.

Lazimnya ruas jalan di pinggir kota, kawasan Jl. Adinegoro masih sepi. Lebih banyak semak belukar dan persawahan dibanding perumahan. Orang-orang pun tidak terlalu menggubris nama “Adinegoro” dan lebih senang menyebutnya sebagai daerah Lubuk Buaya. Maka tak heran jika tak banyak yang tahu Adinegoro itu siapa.

Untuk “berkenalan” dengan Adinegoro, sempatkan diri untuk mampir ke Museum Mbah Suro di Sawahlunto, kota tambang batubara yang dulu sempat jaya di pedalaman Sumatera Barat. Dinding museum itu penuh dengan reproduksi foto-foto zaman dahulu dan poster-poster berbau sejarah. Adinegoro ada dalam salah satu bingkai foto itu.

Kamu pasti tak akan menyangka bahwa ternyata Adinegoro punya hubungan darah dengan Muhammad Yamin, salah seorang tokoh Sumpah Pemuda. Adinegoro adalah adik Muhammad Yamin satu bapak lain ibu. Barangkali sebagian besar warga Kota Padang yang tiap hari lalu lalang di sana juga tidak akan menduga bahwa Adinegoro, yang namanya bernuansa Jawa, adalah putra Minangkabau.

Nama asli Djamaluddin Adinegoro adalah Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Lahir di Talawi (sekarang salah satu kecamatan di Sawahlunto) pada 14 Agustus 1904, ia adalah salah seorang pemuda Minangkabau zaman katumba yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di Pulau Jawa.

Adinegoro adalah nama pena yang ia gunakan untuk menulis di surat kabar semasa bersekolah di salah satu sekolah paling bergengsi di Hindia Belanda, STOVIA. Ia terpaksa memakai nama pena sebab di masa itu para siswa sekolah dokter pribumi itu dilarang untuk menulis di surat kabar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di STOVIA (1918-1925), ia berangkat ke Berlin, Jerman, untuk mendalami jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik. Lumayan lama ia di Eropa, sekitar lima tahun antara 1926 dan 1930. Dan selama itu pula ia menyambi menjadi wartawan lepas untuk Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Batavia).

Sekembali ke tanah air, Djamaluddin Adinegoro melanjutkan kiprahnya sebagai wartawan. Ia sempat memimpin beberapa surat kabar, seperti Pewarta Deli di Medan, Sumatera Shimbun, dan Mimbar Indonesia. Ia juga sempat mengabdi di Kantor Berita Nasional yang sekarang bernama Antara sampai menjadi Presiden Komisaris LKBN Antara.

Selain itu, ia juga turut andil mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama penghargaan jurnalistik paling bergengsi di Indonesia, yakni Adinegoro Award.

Selain tokoh wartawan, Djamaluddin Adinegoro barangkali bisa pula dikatakan sebagai salah seorang penulis perjalanan (travel writer indonesia), sebab jauh sebelum penulis perjalanan seperti HOK Tanzil, Norman Edwin, Teguh Sudarisman, Trinity, atau Agustinus Wibowo muncul, pada tahun 1930 Adinegoro sudah menerbitkan sebuah buku berjudul “Kembali dari Perlawatan ke Europa” yang berisi kisah perjalanan pulangnya dari Jerman ke tanah air.

Kembali dari Perlawatan ke Europa

“Kitab ini ditoelis dikapal ditengah laoetan besar. Meskipoen ombak kadang-kadang membikin kepala poesing tapi kewadjiban kita teroes didjalankan, mesin toelis tidak boleh dibiarkan pensioen menganggoer sadja.”—Djamaluddin Adinegoro

Alih-alih pulang naik kapal lewat jalur konvensional ke Hindia Belanda, ia memilih untuk melipir dulu ke Afrika, lewat Abyssinia (Ethiopia) dan Eritrea sebelum meneruskan perjalanan ke India dan Sri Lanka. Ia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi koloni-koloni lain Eropa. (Eritrea adalah koloni Italia sementara India dikuasai oleh Inggris.) Dengan mengunjungi kedua koloni bangsa Eropa itu, ia berharap bisa mendapatkan “sesuatu” untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Lama di Eropa memang tidak serta merta membuat Adinegoro lupa Tanah Air. Bahkan selama di Eropa ia tak henti-hentinya memikirkan Indonesia. “Saja sekarang akan poelang ketanah air jang tidak saja loepakan satoe menit, selama saja didalam perantauan. Bertambah djaoeh kapal ke Selatan, makin besar hati saja” (Adinegoro, 1930: 16-17).

Sebagai travel writer Indonesia, ia mencatat segala yang dirasakan dan dijumpainya dalam perjalanan pulang yang mengharukan itu, dari mulai perpisahannya dengan tanah Jerman, kota-kota baru nan indah yang disinggahinya, sampai orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan.

Salah satu kisah yang menarik adalah ketika ia bertemu tiga orang Tionghoa di kapal. Dua orang awak kapal, satu orang pelajar. Menurutnya, tak peduli keluar negeri dengan alasan apa—belajar atau bekerja—para pemuda Tionghoa menjalaninya dengan bersemangat. Semua mereka lakukan demi kemajuan negaranya. Ia juga bercerita tentang teman-teman atau kenalannya dari Tionghoa ketika belajar di Jerman. Tak segan-segan ia mengungkapkan kekagumannya pada para anak muda Tionghoa yang bisa bicara banyak bahasa dan mampu menyerap dengan baik pendidikan Barat, namun di sisi lain tidak melupakan akar mereka, yakni budaya Timur.

Yang juga menarik adalah pendapat Adinegoro soal melakukan perjalanan. Menurutnya, jalan-jalan ke daerah lain di Nusantara akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan mengunjungi rekan-rekan di tempat lain, semangat persatuan akan muncul dan kita akan benar-benar menjadi seperti saudara.

Adinegoro membandingkan kebiasaan jalan-jalan di Eropa dan kebiasaan jalan-jalan di tanah air ketika itu. Menurut pengamatannya, orang Eropa lebih senang liburan ke tempat-tempat jauh, ke kota-kota lain, ke pantai, atau ke gunung. Sementara generasi muda di Indonesia lebih senang menghabiskan perlop alias cuti dengan berdiam diri di kamar. Ia menganggap bahwa bangsa Eropa itu bisa pintar bukan karena mereka sudah pintar sedari lahir, melainkan karena mereka suka mempelajari hal-hal baru, yang salah satunya bisa didapat melalui jalan-jalan.

Perjalanan panjangnya berakhir di Medan. Meninggalkan Medan selama lima tahun, ketika kembali ke kota itu ia terkaget-kaget dengan perubahannya. Kota semakin besar dan semakin banyak intelektual yang berkumpul di sana: “Dari sana ke Djawa dan kembali lagi ke Medan, roepanja besi berani (magneet) Medan ada lebih koeat.” Namun Djamaluddin Adinegoro di masa itu barangkali tidak menyangka bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang tokoh nasional yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *