Di luar langit masih gelap, bahkan suara toa masjid subuh hari masih menggema di udara. Lepas salat, saya diantar saudara menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan di bulan Juni kali ini akan dibuka dengan mengunjungi salah satu kabupaten dengan kekayaan bahari di Sulawesi Tenggara, Wakatobi.
Keberuntungan membawa saya sejauh 581 km dari Makassar di Sulawesi Selatan, menuju Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Perjalanan dari rumah ke bandara ditempuh sekitar setengah jam. Begitu tiba, tampak calon penumpang maupun pekerja bandara memenuhi pelataran keberangkatan. Tumpukan antrian terlihat jelas di loket validasi dan antrian tes bebas COVID-19.
Saya langsung memasuki bandara. Suasananya tidak seramai sebelumnya. Setelah mengantri di salah satu konter check in maskapai penerbangan, saya pun menuju ruang tunggu keberangkatan. Selalu ada rasa menegangkan dan sedikit mulas ketika memulai petualangan baru, terlebih seorang diri. Perasaan campur-aduk memenuhi dada, termasuk rasa tidak percaya akan kemampuan sendiri. Pertama Kalinya saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Wakatobi berkat Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) Kelautan dari Balebengong, berupa bantuan liputan mendalam di beberapa daerah di Indonesia.
Pesawat mendarat mulus di Bandar Udara Haluoleo di, Sulawesi Tenggara, transit sebelum ke Bandar Udara Matahora di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Perjalanan selama lima jam berakhir begitu saya menginjakkan kaki di Wangi-Wangi, dijemput salah satu kerabat dari seorang kawan, Hasrim, warga lokal Pulau Wangi-Wangi. Pulau Wangi-Wangi dengan pusat kota Wanci menawarkan kawasan tundra dan laut biru bergradasi sejauh mata memandang. Saya dan Hasrim berbincang selama perjalanan.
“Sayang sekali baru tiba di Wanci sekarang, padahal minggu lalu baru saja diadakan acara sunatan,” terangnya. Acara sunatan di Wanci berbeda jauh dengan sunatan-sunatan pada umumnya, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. Di sini, acara sunatan merupakan acara budaya yang dibungkus dengan meriah, arak-arakan keliling kampung dengan berbagai identitas budaya dalam pelaksanaannya.
Saya tinggal di rumah Kak Malil selama di Wanci. Rumahnya dekat dari Pantai Marina, sehingga selama dua hari di Wanci sebelum bertolak ke Kaledupa, saya selalu menghabiskan sore menikmati senja dan laut banda di sini. Aktivitas sore hari warga terlihat di sini. Antara pelabuhan Pelni, pasar malam, lapangan basket, juga titik-titik menikmati sore dan senja di bangku-bangku beton yang disiapkan sepanjang daratan.
Sekali saya menikmati senja di dermaga terapung tempat berlabuh beberapa kapal-kapal speedboat putih megah. Satu senja lainnya saya habiskan di ujung daratan hasil reklamasi dengan duduk-duduk santai di atas bangku beton, dan senja lainnya saya habiskan dengan berjalan-jalan sambil melihat aktivitas sore suku bajo yang berdiam di Mola, salah satu daerah di Pulau Wangi-Wangi. Tanpa tahu siapapun, saya dijaga dan didampingi dengan begitu ramah selama dua hari di Wanci.
Pulau Kaledupa
Tanggal 9 Juni di pagi hari, saya menunggu di atas KM Valentine Bahari di pelabuhan Numana Wangi-Wangi yang hendak menuju Pelabuhan Buranga di Pulau Kaledupa. Perjalanan melewati laut banda yang teduh pagi itu berlangsung sekitar satu setengah jam. Pulau Kaledupa yang hijau dengan perkampungan suku bajo tampak dari tak lama sebelum kapal berlabuh di pelabuhan. Di atas kapal speed ini, saya berkenalan dengan Ika, seorang mahasiswa di kampus keperawatan di Kendari yang hendak pulang kampung ke Kaledupa.
Belum turun dari kapal, Sinta, kawan sewaktu di Makassar sudah menelepon.
“Sudah turun, Naw?” tanyanya.
“Ini masih antri.”
“Saya tunggu pas di depan kapal, nah!”
Saya mencari-cari sosok Sinta, Sinta yang berarti cinta dalam bahasa Kaledupa. Kami saling memberitahu posisi masing-masing. Tak lama, kulihat Sinta dengan pakaian mentereng dan kaca mata hitam melambai dari atas motor miliknya. Bersama Sinta, saya menuju kediamannya di Desa Ollo sebelum melakukan liputan mendalam tentang tenun dan perempuan di Desa Pajam, Kecamatan Kaledupa Selatan.
Matahari terik menyengat siang itu. Sebelum bertolak ke Pajam, saya memutuskan mencari info lebih jauh perihal Pulau Kaledupa di sekretariat Forkani yang letaknya tidak jauh dari rumah Sinta. Di sana, kami berbincang sedikit perihal sejarah, mayoritas mata pencarian penduduknya, sampai topografi pulau ini. dibandingkan pulau-pulau lain yang pernah saya datangi, Kaledupa sedikit unik ketika berbicara perihal topografinya yang berupa pegunungan. Di sini, medannya menanjak dan dengan tebing-tebing yang menghadap laut.
Lepas ashar, saya ditemani Sinta menuju Desa Pajam yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Desa Ollo. Matahari sore yang terik, bersamaan dengan jalan menanjak yang berlubang dimana-mana, menjadi tantangan sore itu. Setelah 20 menit melaju, gerbang Pajam akhirnya menyambut kami. Pajam, sebuah desa pusat wisata budaya di Kaledupa ini, terbentuk sekitar 30 an tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1987. Merupakan pemekaran dari dua dusun, yakni Palea dan Jamaraka yang disingkat Pajam, desa ini aktif sebagai pusat kerajinan tenun yang terorganisir berkat pendampingan dari beberapa NGO maupun Forkani yang mulai mendirikan kelompok tenun di akhir tahun 2016.
Hari pertama di Pajam, saya bertemu dengan Bu Harlina, istri Pak Mul selaku inisiator yang membentuk kelompok tenun di desa ini. Berhubung Pak Mul sedang di Wanci, saya pun menghabiskan sore bercerita dengan Bu Harlina, salah satu penenun perempuan di desa ini. Di pajam, hampir semua perempuan pandai menenun. Keterampilan ini telah diajarkan kepada anak-anak perempuan sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Sore itu, Bu Harlina memperlihatkan beberapa motif kain tenun yang disebut homoru dalam bahasa lokal. Selain kain tenun, ia juga memperlihatkan beberapa produk diversifikasi tenun seperti pouch, tas, ikat kepala, dan aneka produk tenun lainnya. saat langit mulai menampakkan lembayungnya, saya dan Sinta pun pamit dan mengatur jadwal untuk keesokan harinya.
Udara pagi masih segar. Tampak pekerja-pekerja perbaikan jalan di sepanjang rute menuju Pajam. Sangat disayangkan saya tidak mengisi baterai kamera kemarin. Ternyata, listrik di pulau ini hanya hidup dari pukul 17.00 sampai 06.00 di pagi hari. Alhasil, perjalanan di hari kedua hanya berupa observasi lanjutan tanpa adanya pengambilan gambar maupun video. Di hari kedua, saya bertemu dengan Mulyadi, inisiator dari kelompok tenun desa ini. Ia begitu semangat menjelaskan perihal sejarah pembentukan kelompok, fokus kegiatan, sampai kontribusi kelompok ini terhadap ekonomi anggotanya.
Selain berbincang dengan Mulyadi, kami juga melihat langsung proses penenunan oleh dua orang perempuan di desa ini. tidak sulit menemukannya, cukup memasang telinga baik-baik. Mendengar lingkungan desa yang didominasi suara alam, saya bisa menemukan para penenun dengan mendengar bunyi alat tenun tradisional mereka.
‘Tak…tak…tak…’
Bunyi itu datang dari dua selasar rumah warga. Pertama, saya mendatangi rumah terdekat dari kediaman Pak Mul. Tampak seorang perempuan paruh baya tengah sibuk menenun. Saya mengamati aktivitas berulang yang begitu memikat yakni irama kayu yang saling berbenturan secara konstan, kelincahan tangan penenun dalam memindahkan benang sari satu sisi ke sisi lainnya, berpadu pas dengan suara alam yang masih asri di Pajam.
Saya mengunjungi Pajam selama tiga hari berturut-turut. Selain Pajam, saya juga menghabiskan banyak waktu mengunjungi pantai di dekat perkampungan suku Bajo, serta berjalan-jalan mengelilingi dataran tinggi pulau ini. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, tidak heran sepanjang jalan saya melihat banyak sekali tanaman kelapa, pisang, serta aneka umbi-umbian.
Manusia baik
Kekhawatiran berkunjung ke tempat baru tanpa mengenal seorangpun untuk kali pertama terpatahkan. Selama seminggu lebih di Kabupaten Wakatobi, saya dipertemukan dengan banyak sekali manusia-manusia baik. Selama di Wanci dan Kaledupa, saya kerap merepotkan banyak orang yang tidak saya kenal. Merekalah orang-orang baik yang membuat waktu selama peliputan di Wakatobi terasa sangat menyenangkan. Dari mereka, saya belajar bahwa kebaikan terus berputar. Saya berdoa semoga kebaikan-kebaikan mereka kembali dalam bentuk-bentuk terindah.
Di akhir perjalanan, saya penasaran mencoba transportasi laut. Wanci ke Kendari saya tempuh dengan kapal selama delapan jam lebih. Gemerlap kota Kendari menyambut begitu saya tiba di pelabuhan. Dari Kendari, saya menaiki penerbangan terakhir keesokan harinya menuju Makassar. Saat kembali ke rumah, perasaan aneh sekali lagi memenuhi kepala. Perjalanan seorang diri selama seminggu di Wakatobi merupakan pengalaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahkan saat hendak tidur, ketidakpercayaan akan petualangan yang baru saya alami masih terus terngiang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
kerenn!!!!!