Bisnis penginapan memang bak jamur di musim hujan, di setiap kota apalagi di kota-kota tujuan wisata, penginapan memainkan peran penting menjaga keberlangsungan wisatawan yang melancong. Dari yang harga miring, hingga berbintang. Semua hadir dengan kualitas yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Lalu bagaimana jika semua penginapan menerapkan konsep yang sama, apakah akan ada sama rasa yang didapat pengunjung yang mengarah ke kebosanan?

Tani Jiwo, sebuah penginapan yang berlokasi di Dieng. Tepatnya di Jalan Dieng Nomor 31, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di tengah-tengah dataran tinggi yang berdekatan dengan kompleks percandian Arjuna dan Gunung Prau, menjadikan Tani Jiwo berada di lanskap yang sempurna untuk mengintip keindahan Dieng dari jantungnya. Namun, alih-alih hanya menawarkan lanskap yang indah, Tani Jiwo berkomitmen untuk menyediakan penginapan murah, ramah, serta berkelanjutan. Bagaimana ceritanya?

Salah satu ruangan di Tanijiwo

Dalam bahasa Jawa, Tani Jiwo bermakna jiwa petani. Kenapa mengambil petani sebagai nama? Hal ini menurut situs resminya adalah sebagai upaya untuk mencerminkan spirit petani Indonesia yang selalu nandur sedulur. Petani yang merupakan salah satu pondasi bangsa urusan pangan, telah menurunkan nilai-nilai kekeluargaan demi mencapai panen yang sukses. Hubungan dengan alam, hubungan dengan manusia lainnya dijaga seharmonis mungkin untuk mencapai keteraturan yang biasa kita sebut dengan “tentram”.

Para pengurus Tani Jiwo sadar, keberlangsungan pariwisata Dieng juga berarti keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Jangan sampai orang-orang lokal kalah saing dengan orang luar sehingga nantinya tenaga kerja lokal menjadi diremehkan. Oleh karena itu Tani Jiwo mengupayakan untuk mempekerjakan orang-orang lokal yang sudah sedari dulu memahami kehidupan di tanah Dieng. Orang-orang muda Dieng fasih berbahasa Jawa—bahasa ibu yang digunakan untuk percakapan sehari-hari—dan bahasa Indonesia untuk melayani kebutuhan pengunjung akan informasi di sekitar Dieng.

Tani Jiwo sadar betul akan Dieng yang menjadi titik perkumpulan wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Oleh karena itu, Tani Jiwo tidak ingin jika pengalaman menginap hanya sekedar menghabiskan waktu di kasur ataupun di kamar. Tani Jiwo menyediakan perpustakaan mini yang dilengkapi buku-buku yang sudah dikurasi sedemikian rupa untuk menambah pengetahuan. 

Sebagai komitmen untuk menjaga lingkungan, Tani Jiwo terus berusaha dengan menyediakan tempat sampah di titik-titik strategis taku menggunakan material ramah lingkungan dengan usia pemakaian panjang, aktif berdiskusi hingga melakukan gerakan bersama Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) & warga sekitar Dieng untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. Tak berhenti di situ, Tani Jiwo juga menanamkan utamanya kepada para karyawan. “Kami percaya, apabila tuan rumah sudah teredukasi dengan nilai-nilai tersebut, maka secara naluriah akan memberikan edukasi serupa pada pengunjung,” ucap Sinlu, salah satu dari tim marketing Tani Jiwo.

Buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit/Tanijiwo

Salah satu terobosan Tani Jiwo yang paling terkenal adalah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dieng: Sebelum Matahari Terbit. Penerbitan buku ini sekaligus menandai kesadaran akan buku yang membahas tentang Dieng masih sedikit. Dengan sedikit usaha, anak-anak muda Dieng dikumpulkan dan menulis berbagai macam cerita naratif ringan nan berwawasan. Semisal cerita tentang hubungan petani dan pendaki di Gunung Prau, cerita tentang Dieng sebagai pusat kebudayaan Jawa pada masa silam, hingga cerita anak gimbal dari sudut pandang yang berbeda. Kesemua ini dimaksudkan untuk merangsang pengetahuan dan mengalihkan sudut pandang semua orang yang memandang Dieng hanya sebagai komoditi wisata.

“Mengenai buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit, gerakan ini dimulai sejak renovasi perpustakaan rumah kami. Tujuannya adalah untuk membuka & memberikan kebutuhan literasi yang masih minim di Dieng.”

“Selain memperkenalkan produk baru kami, keberadaan buku ini juga menjadi kesempatan bagi kami & teman-teman yang terlibat untuk belajar dari lebih banyak sumber,” tambahnya.

Selain itu, Tani Jiwo juga mengusung program residensi sebagai bagian untuk mengembangkan anak muda Dieng dan luar Dieng untuk menulis tentang Dieng. Perhatian Dieng sulit sekali dilepaskan dari kacamata pariwisata, padahal Dieng adalah ruang hidup yang sangat luas untuk manusia, alam, dan juga hewan yang lebih dari sekedar “festival”, hal inilah yang kemudian coba diwadahi oleh Tani Jiwo. Bagaimana cara skema program ini berjalan?

Program residensi yang menjalin banyak pemuda Dieng maupun luar Dieng/Tanijiwo

“Residensi di Tani Jiwo berusaha mengenalkan potensi Dieng melalui disiplin ilmu yang beragam. Dari setiap peserta terpilih akan menjalani beberapa hari di Dieng untuk riset sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti. Para narasumber yang dipilih adalah penduduk Dieng & sekitarnya. Data-data yang terkumpul oleh peserta kemudian akan diolah secara pribadi menjadi karya, baik tulisan, visual maupun audio. Keluaran dari residensi ini mengijinkan peserta untuk dipamerkan dalam satu wadah Tani Jiwo, maupun di luar Tani Jiwo yang mengangkat isu serupa.”

Tahun ini, Tani Jiwo menyongsong semangat baru setelah dua tahun pagebluk melumpuhkan berbagai sektor. Termasuk pariwisata di Dieng. Sebagai salah satu yang terdampak, Tani Jiwo tentu mengusahakan kestabilan sirkulasi pengunjung seperti sedia kala. Tani Jiwo kembali membuka kesempatan berkolaborasi dengan siapapun untuk tumbuh kembang bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar