Nusantarasa

Kuliner Prancis dan Arsitektur Jawa dalam Cinema Bakery Yogyakarta

Upaya pemasaran dan promosi di era ini telah mencapai kemutakhiran, terutama di antara kawula muda. Saat ini istilah fear of missing out (FOMO) menjadi kata yang lekat bagi generasi muda yang cakap teknologi dan seakan tak bisa lepas dari sosial media. Fear of missing out atau diterjemahkan kasar menjadi ketakutan untuk menjadi yang tertinggal, marak digunakan sebagai strategi pemasaran untuk meningkatkan popularitas suatu produk, layanan, dan tempat.

Fenomena suatu tempat menjadi marak dikunjungi, café dilabeli istilah ‘hits’, serta restoran didatangi pelanggan secara berbondong-bondong merupakan buah dari FOMO tersebut. Sebuah bakeri dan kafe kecil yang tersembul di antara ramainya Jalan Palagan Yogyakarta menjadi bukti nyata akan fenomena yang satu ini.

Saya dan tiga orang teman—generasi Z yang hobi main sosial media—menjadi sasaran empuk bagi pemasaran berbasis FOMO. Berkunjunglah kami ke tempat ini, dengan harapan menemukan kudapan lezat dan tempat yang bagus untuk diabadikan dalam foto, menjadi bukti bahwa promosi dari mulut ke mulut dalam platform sosial media mampu menghadirkan rasa penasaran dan tidak mau ketinggalan dalam diri kami. 

Kala itu, sosial media Twitter dihebohkan oleh sebuah utas yang membahas tentang café cantik dengan estetika khas Prancis menjual pastry dan kue dengan harga sangat terjangkau. Lantas, kami tidak mau ketinggalan hype-nya dan langsung ingin bergegas ke sana. 

Perjalanan menuju Cinema Bakery dapat dikatakan cukup membingungkan dan unik. Meskipun terletak di Jalan Palagan, kami harus melewati perkampungan, kebun, hingga tambak lele. Jika tidak menggunakan maps, tentunya kami bisa tersesat saat itu. Kami pun sampai ke café mungil berwarna putih yang diapit oleh pepohonan setelah sepuluh menit mengendarai motor dari Jalan Palagan. 

Cinema Bakery Yogyakarta

Bangunan Cinema Bakery menimbulkan kesan vintage dari segi bentuk serta bahan penyusunnya. Bentuk bangunan Cinema Bakery menyerupai sebuah joglo, namun dengan atap yang didesain lebih sempit dan terlihat modern dari joglo pada umumnya. Bangunan tersebut disusun dari kayu yang dicat putih, memberikan kesan vintage namun cantik. 

Dua jendela besar membuat kami dapat mengintip ke interior Cinema Bakery dan jajaran kue yang dipajang di etalase. Tulisan berbahasa Inggris dan Prancis menghias jendela café, ditulis dengan font bergaya klasik. Eksterior café ini cantik untuk diabadikan dalam foto, sekaligus kian mengundang pengunjung untuk masuk.

Kesan vintage semakin kental saat kami sudah masuk ke bagian utama café. Paduan interior khas Eropa dan Jawa berkolaborasi apik untuk menciptakan interior yang nyaman dipandang mata. Ubin kuning khas arsitektur keraton, beberapa meja tua bergaya Jawa, lukisan dan pajangan ala Prancis, serta deretan kudapan favorit khas Jawa dan Eropa Menyusun ruangan tersebut. 

Pemandangan sore dan perangkat makanan estetis ala Cinema Bakery/Dyah Sekar Purnama

Berbagai menu pastry, kue, roti, pai, hingga es krim tersedia dalam café ini. Makanan tersebut dipajang dalam etalase dan lemari es ala bakery yang langsung menyambut kami begitu masuk. Croissant mengilat, kue cokelat menggugah selera, macaroon warna-warni, dan banyak jenis makanan lain berjajar rapi mengundang kita untuk membeli. 

Selain menggugah selera, pastry dan kue di Cinema Bakery dijual dengan harga bersahabat. Pastry ukuran kecil dibanderol dengan harga Rp7.500, sedangkan ukuran besar seharga Rp13.500. Terdapat berbagai jenis kue tart disini, semuanya dibanderol dengan kisaran harga Rp20.000 – Rp30.000. Roti-rotian, seperti baguette dan sourdough, juga dijual dengan harga terjangkau yakni di kisaran Rp10.000 – Rp20.000. 

Tersedia juga makanan asin seperti quiche dan pizza, yang dijual dengan harga sedikit lebih mahal yakni di kisaran Rp30.000 – Rp40.000. Namun mengingat pastry dan kue disini dibuat oleh chef berkebangsaan Prancis yang mulai naik daun, arga tersebut sangatlah terjangkau.

Mencicipi Kue Prancis Buatan Chef Cedric dalam Bangunan Bergaya Jawa

Kami diarahkan ke bagian belakang joglo Cinema Bakery untuk menikmati kudapan. Tempat duduk di Cinema Bakery tersedia dengan konsep semi-outdoor, kami duduk dalam ruang beratap, namun tidak ada yang membatasi kami dengan bagian luar café. Udara dingin membelai kulit sebagai sisa dari hujan yang turun sore itu. Suasana sore yang dingin dan interior Cinema Bakery yang hangat, dengan lampu kuning dan kursi bergaya vintage, membuat pengunjung betah berlama-lama disini. 

Oreo Cheesecake, Red Velvet, dan Lemon Tart khas Cinema Bakery/Dyah Sekar Purnama

Kami membeli beberapa pastry, roti, dan kue andalan Cinema Bakery, antara lain adalah baguette, lemon tart, cheesecake Oreo, kue opera, sable, pastry berupa pain au chocolat, dan quiche daging. Secara umum, semuanya enak serta membuat kami makan dengan lahap dan kenyang. Kami juga tidak memesan minum karena Cinema Bakery menyediakan satu botol besar air mineral, lengkap dengan set gelas cantik, untuk para tamu dine-in

Baguette milik Cinema Bakery memiliki tekstur yang keras seperti baguette pada umumnya. Terdapat sensasi remahan di bagian kulit baguette. Uniknya, rasa baguette ini sedikit asin dan gurih. Satu baguette dapat dibagi menjadi sepuluh potong, sehingga cocok untuk dimakan bersama-sama.

Sable (kiri) dan Roti Pain Au Chocolat (kanan)/Dyah Sekar Purnama

Pain au chocolat merupakan sejenis croissant dengan kulit meremah dan berkilat serta isian cokelat. Pain au chocolat di Cinema Bakery cukup cocok dengan selera saya, yakni renyah dan tidak terlalu berminyak. Bagian tengah dari roti ini terasa lembut, ditambah terdapat cokelat yang tidak terlalu manis. 

Kue andalan yang direkomendasikan Cinema Bakery adalah lemon tart. Lemon tart milik Cinema Bakery memiliki warna kuning lembut dengan krim meringue putih di atasnya. Kue tersebut memiliki cita rasa lemon yang kuat namun tidak terlalu asam, tekstur lembut, serta rasa manis dari meringue. Keunikan rasa lemon tart membuat kue ini pantas menjadi andalan Cinema Bakery. 

Kue lain yang kami coba adalah kue opera dan cheesecake Oreo. Tidak ada yang spesial dari cheesecake Oreo, rasanya manis, paduan tekstur lembut dan renyah mendominasinya, namun kurang terasa kejunya. Kue opera cukup membuat kami takjub. Kue tersebut memiliki cita rasa kopi yang kuat dan paduan cokelat yang tidak terlalu manis sehingga mampu memanjakan lidah.

Terdapat biskuit unik yang wajib untuk dicoba ketika mengunjungi Cinema Bakery yakni sable kacamata. Sable merupakan cookies asal Prancis, tepatnya dari wilayah Normandy, yang berbasis mentega dan memiliki tekstur meremah. Sesuai namanya, sable yang dijual di Cinema Bakery berbentuk menyerupai kacamata, dengan bentuk kapsul dan memiliki dua cekungan yang diisi selai stroberi. Biskuit yang satu ini layak menjadi favorit karena paduan rasa manis, asam, serta tekstur remahnya. Biskuit tersebut akan lebih berkesan jika dikonsumsi bersama secangkir teh atau kopi hangat.

Satu kesan yang saya dapatkan dari Cinema Bakery adalah café ini estetis dan Instagramable secara natural. Mulai dari interior, peralatan makan, suasana, hingga pemandangan, menyiratkan kesan cantik dan nyaman untuk dikunjungi. Pengalaman menyenangkan dengan kudapan lezat dan tempat bernuansa homey tersebut pun didapatkan dengan harga yang bersahabat.  Lebih uniknya lagi, konsep makanan Prancis café ini mampu berkolaborasi unik dengan budaya lokal Yogyakarta, yaitu bangunan berbentuk Joglo. Cinema Bakery menjadi café-bakery Yogyakarta yang dapat dimasukkan ke dalam bucket list liburan. Harga terjangkau dan hidangan berkualitas mampu memikat pengunjung dari segala usia. Dijamin, Cinema Bakery akan membuat kita terpesona di kunjungan pertama!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dyah adalah seorang mahasiswi semester akhir di Yogyakarta. Kadang mengerjakan skripsi, kadang menulis, kadang memikirkan ide aksi lingkungan, kadang jalan-jalan, kadang bermimpi.

Dyah adalah seorang mahasiswi semester akhir di Yogyakarta. Kadang mengerjakan skripsi, kadang menulis, kadang memikirkan ide aksi lingkungan, kadang jalan-jalan, kadang bermimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah di Balik Dharma Boutique Roastery, Rumah Kopi Tertua Semarang