Travelog

Jalan-jalan ke Dieng

Setiap akhir pekan pasti sebisa mungkin saya akan jalan-jalan ke sebuah tempat baru. Tidak jauh-jauh, biasanya saya melanglang sekitaran Jawa saja.

Kali ini saya akan cerita soal perjalanan akhir pekan ke Dataran Tinggi Dieng. Biar tidak ribet, saya ikut open trip saja. Semuanya sudah diatur, harganya juga tidak terlalu mahal. Beberapa teman saya juga tertarik untuk ikut. Jadilah kami mendaftar bareng.

Pada satu Jumat malam, rombongan berkumpul di Jakarta. Lumayan ramai juga, ada sekitar 30 orang. Sebuah bus menanti untuk membawa kami melalui perjalanan selama kurang lebih 6 jam sampai Wonosobo.

Keesokan paginya, udara sejuk menyambut kedatangan kami. Senang rasanya menghirup udara segar, jauh dari polusi kota Jakarta. Langsung saja kami hampiri beberapa tempat pada hari yang sama.


Pertama, kami ke Kompleks Candi Arjuna, sebuah kawasan candi Hindu yang dibangun antara abad ke-8 dan ke-12 Masehi oleh Dinasti Sanjaya, Mataram Kuno. Candi-candinya masih kokoh berdiri.

Pada awalnya di kawasan ini ada lebih dari 400 kuil, tetapi sekarang hanya 8 yang tersisa. Nama candi-candi di kompleks ini diambil dari tokoh pewayangan, seperti Arjuna, Puntadewa, Srikandi, Sembrada, dan Semar. Waktu kami di sana, ada beberapa orang yang memakai kostum Hanoman dan pengikutnya.

Beberapa orang yang memakai kostum Hanoman dan pengikutnya di Candi Arjuna/Velysia

Dari sana, kami pergi ke Desa Dieng Kulon untuk singgah di Museum Kaliasa. Museum ini menyimpan informasi dan benda peninggalan yang berhubungan dengan Dieng, mulai dari sejarah, tentang penduduk lokal, budaya, kepercayaan, hingga flora dan fauna. Sedikit-sedikit, saya jadi belajar sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng setelah letusan Gunung Prau.

Terletak di lahan seluas 560 meter persegi, museum ini terbagi dua. Bagian pertama, yang dibangun tahun 1984, menampung banyak relik berkaitan dengan kuil-kuil di Dataran Tinggi Dieng. Bagian kedua dibangun tahun 2008 dan memiliki koleksi yang lebih bervariasi.

Beranjak ke Dieng Theater, kami menonton sebuah film yang menjelaskan tentang sejarah dan kehidupan di Dataran Tinggi Dieng. Film yang disajikan sangat informatif dengan alur cerita yang mudah dipahami.

Sebelum memasuki gedung dan menonton film dokumenter, saya berhenti sejenak melihat pemandangan alam menakjubkan di sekitar gedung teater. Beberapa gunung berdiri megah—Gajah Mungkur, Prau, Pangonan, Sipandu, Nagasari, dll. (Di dekat tempat parkir, ada juga taman kecil yang dari sana kita bisa duduk-duduk santai menikmati pemandangan. Boleh juga sambil makan camilan atau sajian lain yang dijual di sekitar.)

Atraksi utama dari Dieng Theater adalah film dokumenter berjudul “Bumi Kahyangan.” Film berdurasi sekitar 30 menit ini bercerita antara lain tentang sejarah, budaya, dan kondisi geografis Dataran Tinggi Dieng.

Kemudian kami ke Kawah Sileri, sebuah kawah vulkanik aktif. Pemandangan di sana, uap panas menyelimuti kawah yang dikelilingi oleh hijaunya perbukitan, lumayan elok.

Kawah Sileri/Velysia
Telaga Warna/Velysia

Tapi, yang paling menonjol dari Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah Telaga Warna. Karena mengandung mineral dan organisme, ketika cahaya matahari tiba, yang terpantulkan adalah warna-warna indah dalam spektrum hijau-biru-toska. Kalau sempat, tak ada salahnya juga untuk mampir ke Telaga Pengilon yang letaknya dekat sekali dari Telaga Warna. Nama tempat ini berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti “cermin,” sebab permukaan Telaga Pengilon memang tenang dan bening menyerupai cermin.

Usai keliling seharian, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Udara malam hari cukup dingin. Jaket terasa sekali manfaatnya di Dieng.


Matahari terbit tampak dari Puncak Sikunir/Velysia

Keesokan harinya saya harus bangun pagi karena kami hendak melihat matahari terbit berwarna keemasan (golden sunrise) di Puncak Sikunir. Konon, Puncak Sikunir adalah salah satu tempat paling pas untuk melihat matahari terbit. Betul saja, sebab dari Sikunir saya melihat hamparan awan dan beberapa puncak gunung sekitar Jawa Tengah seperti Merapi, Merbabu, Ungaran, and Slamet. Hanya saja, cuaca agak mendung. Tapi tak apa-apa, matahari terbit masih bisa dilihat.

Setelah menyambut matahari, kami mencicipi mi ongklok, makanan khas wilayah sekitar Wonosobo. Lalu, perjalanan pun harus diakhiri. Saatnya pulang ke Jakarta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang traveler yang senang menjelajahi keindahan Indonesia. Hobi naik gunung dan menulis juga.

Seorang traveler yang senang menjelajahi keindahan Indonesia. Hobi naik gunung dan menulis juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *