Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup dekat dengan golongan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, uwi hingga tanaman garut atau nggarut. Selain itu di sekitar tempat tinggal saya, sumber karbohidrat nonberas masih cukup mudah ditemui.
Bagi saya pribadi, karbohidrat tidak melulu harus bersumber dari satu atau dua centong nasi. Soalnya diversifikasi karbo yang bersumber dari umbi tidak kalah enaknya, kok. Apalagi kalau dinikmati lengkap dengan kombinasi lauk selayaknya makan nasi. Kalau disantap dengan nilai gizi yang seimbang sesuai anjuran kesehatan, rasa-rasanya tidak perlu khawatir yang berlebihan saat menemui kelangkaan beras di pasar atau supermarket. Sebab selain nasi, masih banyak opsi karbo lain yang bisa dinikmati.
Singkong, misalnya. Dilansir dari Kompas.com, dokter dan ahli gizi masyarakat DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum. menjelaskan bahwa dalam 100 gram nasi mengandung 129 kkal kalori dengan 27,9 gram karbohidrat, sedangkan 100 gram singkong mengandung sekitar 160 kkal dengan 38,06 gram karbohidrat. Dengan harga yang jauh lebih rendah dari beras, seperti halnya nasi, singkong juga dapat diolah menjadi beragam sumber karbohidrat yang enak dan mengenyangkan. Macam tak ada nasi, olahan singkong pun jadi.
Menikmati Growol, Pengganti Nasi yang Tak Kalah Enak
Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, singkong berhasil diolah menjadi beragam makanan yang cukup eksis di kancah lokal. Selain ada yang diolah menjadi camilan bercita rasa manis, seperti getuk, gatot, dan tiwul. Ada pula yang diolah khusus menjadi pengganti karbo, di antaranya telo kukus, telo liwet (singkong yang dimasak dengan santan gurih), tiwul gurih (biasa dijual paketan bersama dengan urap dan ikan asin), mie lethek, dan growol. Kudapan yang disebut terakhir adalah olahan singkong khas Kulon Progo.
Lini penjualan growol bahkan sudah sampai Pasar Bantul. Salah satu pasar tradisional yang kerap menjadi rujukan saya untuk berbelanja sayur. Jadinya, selain ngliwet telo, sampai sekarang growol masih menjadi alternatif karbohidrat yang acap kali tersedia di rumah. Sayangnya, saya sendiri belum pernah melihat pembuatan growol secara langsung. Sedari dulu tahunya hanya lokasi jualan growol di pasar tersebut.
Growol sendiri dibuat dengan mengolah singkong kupas yang direndam selama beberapa hari. Saat proses perendaman, air akan diganti setiap hari. Selanjutnya untuk menghilangkan aroma kecing (asam), singkong dicuci berulang kali sampai bersih, Setelah itu singkong masuk ke tahap penggilingan, pengukusan, dan pencetakan. Di Pasar Bantul, growol utuh dicetak dalam bentuk menyerupai tabung dengan diameter sekitar 20 cm. Harga jual growol tergantung besar kecilnya ukuran cetakan.
Tak hanya utuhan, growol juga dijual dalam bentuk potongan dengan harga mulai Rp2.500. Selain dimanfaatkan sebagai pengganti nasi, growol di rumah saya sering diolah dengan cara digoreng dalam balutan tepung asin yang tipis. Bisa dinikmati bersama dengan lauk yang ada tersedia di rumah. Sekilas bentuk dan tekstur growol mirip getuk. Keduanya sama-sama empuk dan tanpa serat, tetapi hanya beda di cita rasa saja. Kalau getuk condong ke manis, sedangkan growol cenderung tawar dengan sekelebat aroma asam.
Di Bantul, growol biasa dijual bersama dengan pasangannya yang bernama kethak. Kethak merupakan kudapan yang dibuat dari ampas atau sisa pembuatan minyak kelapa (blondo), dengan ditambah bumbu manis maupun asin. Oleh karena itu di Pasar Bantul juga terdapat dua jenis kethak, yakni kethak manis dan kethak asin. Karena bukan penggemar kudapan manis, saya cenderung membeli kethak asin sebagai pelengkap growol. Seporsi kethak gurih biasa dijual dengan harga Rp5.000.
Manfaat Growol
Meski terlihat sederhana, ditengarai growol baik dikonsumsi bagi penderita diabetes karena menawarkan indeks glikemik (IG) yang rendah. Indeks glikemik merupakan penanda yang digunakan untuk mengetahui seberapa cepat makanan yang dikonsumsi akan berpengaruh pada kenaikan gula dalam darah.
Semakin tinggi indeks glikemik dalam suatu makanan, semakin cepat pula makanan tersebut menaikkan kadar gula dalam darah. Sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik suatu makanan, maka semakin lama pula reaksi makanan tersebut menaikkan gula darah. Tidak heran jika kini beragam makanan dengan indeks glikemik rendah mulai banyak diminati. Tujuan pokoknya sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh lonjakan gula darah. Termasuk si growol khas Kulon Progo ini.
Karena sudah lumayan lama mengenal growol, saya sangat mengapresiasi kinerja para pembuat growol yang senantiasa berinovasi dari waktu ke waktu. Pasalnya dulu growol dikenal luas dengan sebutan growol kecing. Sesuai namanya, growol di masa lampau memang berbau asam yang cukup menyengat di hidung. Jadi, jangan heran kalau dahulu penggemar growol kebanyakan adalah orang tua atau lansia. Terutama mereka yang harus menjalani pola makan sehat agar kadar gula dalam darah tetap terjaga.
Seiring berjalannya waktu pula, belakangan bau kecing dari growol sudah banyak berkurang. Kalaupun ada, baunya hanya sepintas lalu saja. Di indra penciuman saya, saat ini bau asam dari growol tidak begitu mengganggu sehingga sama sekali tidak mengurangi selera makan saya untuk menikmatinya.
Sekiranya penasaran ingin mencicipi sensasi makan growol saat berkunjung ke Bantul, teman-teman bisa langsung menuju jalan di belakang Pasar Bantul. Kios growol tepat berada di selatan pintu belakang pasar, tepatnya pasar yang berada di sisi timur.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.