Travelog

Singgah Sebentar di Klub Merby

Selepas patung katak yang lucu, saya meneruskan langkah melewati lorong Klub Merby, Semarang, yang di dindingnya tertempel banyak sekali lukisan anak-anak. Di ujung, beberapa orang perempuan berpakaian adat Jawa menyambut saya dan teman-teman blogger dengan salam Semarangan.

Di sebuah meja, dunak berisi botol-botol jamu tersaji. Ada jamu beras kencur, brotowali, dan kunir asem. Di sampingnya adalah jajanan kesukaan saya, lumpia, yang tertata rapi di piring tanah liat. Lembaran daun pisang membuat lumpia-lumpia itu tampak makin menggoda.

klub merby
Kunir asem dalam batok kelapa/Mauren Fitri

“Kunir asem ya, Mbak,” pinta saya sambil menyodorkan gelas batok kelapa pada mbak jamu. Seteguk demi seteguk habis isinya. Saya sodorkan lagi gelas itu—hingga empat kali. Segar sekali rasanya. Dahaga lepas blusukan di Pasar Gang Baru hilang sudah.

Lalu beberapa anak usia sekolah dasar menghampiri kami, menunjukkan karya seni melukis baju. Bagus-bagus.

klub merby
Anak-anak memamerkan karya seni mereka/Mauren Fitri

Dari membatik hingga bermain gamelan

Sebelum keliling Klub Merby, kami mengobrol dengan Ibu Grace Wijaya Susanto sang pemilik klub yang ternyata adalah seorang dokter gigi dan pemerhati batik.

Kecintaan yang lebih terhadap budaya Jawa Tengah-lah yang membuat Ibu Grace mendirikan Klub Merby tahun 1989. Harapannya, Merby bisa menjadi tempat bagi semua orang, baik anak-anak maupun yang sudah bukan anak-anak lagi, untuk belajar budaya Jawa Tengah.

Klub Merby menyediakan beragam aktivitas untuk belajar budaya Jawa Tengah, dari mulai membatik, merajin janur, bermain gamelan, nembang Jowo, hingga mencoba permainan-permainan tradisional seperti dakon, congklak, dan balap egrang batok kelapa. Semua aktivitas itu, menariknya, dilakukan di sekitar bangunan berciri Jawa Tengah.

Senang sekali rasanya saya bisa mencoba semua aktivitas itu saat mampir kemarin.

merby
Berkreasi dengan janur/Mauren Fitri

Menyantap makanan “ndeso” di Kedai Dahar

Masuk jam makan siang, saya dan perut yang keroncongan akhirnya dibawa ke Kedai Dahar untuk menikmati ragam jajanan dan makanan ndeso. Selain menarik secara kultural, pondok itu juga punya pesona medikal sebab makanan-makanan di tempat itu tidak mengandung MSG.

Menariknya, menu di Kedai Dahar dirotasi sesuai dengan pasaran (hari) Jawa. Jadi, semisal kamu ke Klub Merby setiap hari, dijamin kamu takkan bosan dengan makanan-makanan yang disajikan.

Tapi, ada satu pertanyaan yang dari tadi muncul dalam pikiran saya: kenapa ikon Merby adalah katak? Untungnya, sebelum kami berlalu dari klub kultural itu, Mbak Krisna yang menemani kami siang itu menceritakan alasan di balik terpilihnya katak sebagai ikon klub.

makanan jawa
Makanan yang disajikan di Klub Merby selalu berbeda setiap harinya/Mauren Fitri

“Jadi, sebenarnya ikon katak Merby ini punya makna. Kalau menurut orang Jawa, katak adalah binatang yang dekat dengan air dan cinta lingkungan. Katak … mudah menyesuaikan diri dengan alam dan selalu gembira karena sering bernyanyi.”

Iya juga, ya. Tanpa sadar, saya menyanyi dalam hati: “Kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali…. Teyot teblung, teyot teblung….


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *