“Lho, ternyata nggak bisa masuk dari sini?” Kata saya.
Kami berempat dalam mobil Honda Mobilio yang melintas Jalan Meruyung Raya, Limo, Depok. Padahal tepat di depan Gang Manggis (jalan yang saya maksud) terpantek plang Studio Hanafi, namun tanda verboden terpasang jelas di atas palang hitam putih yang melintang di gang itu.
Meski motor tampak melintas keluar masuk, kami memutuskan untuk tidak ambil risiko. Kami melanjutkan perjalanan dan parkir di halaman ruko-ruko.
“Pantesan Google Maps nggak ngarahin lewat situ,” kata saya yang sejak tadi memang sok tahu mengarahkan jalan lewat Meruyung Raya daripada mengikuti petunjuk Google Maps yang menyuruh kami berputar dulu lewat Jalan Raya Muchtar.
Bukan apa-apa, banyak pengalaman pahit ketika manut sama Google Maps malah diarahkan lewat jalan yang terlalu sempit atau terlalu curam untuk kami. Wajar dong kalau saya skeptis (dan sok tahu).
“Ya, sudah. Parkir di sini, jalan kaki,” istri saya, memutuskan.
Kebetulan hari itu panas sedang tajam-tajamnya. Saya langsung menghela nafas. Tapi, ya sudahlah, jalan kaki hanya 10 menit menurut Google Maps. Lho, sekarang percaya sama Google Maps? Ya, mau bagaimana lagi.
Setelah menitipkan mobil ke penjaga parkir ruko, kami jalan kaki lewat gang kecil di samping taman pemakaman umum. Di ujungnya, kami menyusuri tepi kali kecil, semacam jalur irigasi yang padat dengan lumpur.
Dalam hati saya membatin, sudah berapa lama ya tidak menyusuri jalan seperti ini? Jalanan yang hanya dilapisi semen seadanya dan lebarnya pas-pasan untuk dilalui dua motor. Aneh ya, sesuatu yang dulu jadi arena sehari-hari bisa begitu asing dan eksotis setelah situasi berubah.
“Masih jauh?” tanya ibunya anak-anak.
Saya coba untuk tidak marah-marah meskipun panas menyengat, meskipun kaos sudah banjir keringat.
“Nggak usah ditanya, nanti juga sampe!” kata saya, gagal menahan kesal.
Tak lama, kami sampai di sebuah jalan beraspal, dan tak jauh dari situ tujuan kami terlihat. Akhirnya, saya merasa lega. Entah kenapa harus kesal, apakah karena panas atau sedikit rasa bersalah telah ‘menjebak’ keluarga ke tujuan yang entah akan membuat mereka senang atau tidak.
Apapun itu, akhirnya kami sampai di Galeri Kertas, salah satu (kalau bukan satu-satunya) galeri seni sungguhan di Depok.
Pameran Ondel-Ondel
Alasan kami berkunjung ke tempat ini memang berasal dari saya. Ya, saya sudah ingin mendatangi tempat ini sejak lama. Mungkin sejak empat atau lima tahun lalu. Bahkan, sempat punya niat mengajak kerjasama tempat ini dengan coworking space kami dulu.
Tapi seperti biasa, kesibukan demi kesibukan dan perubahan demi perubahan selalu mengurungkan niat. Lalu, pandemi menghentikan kegiatan di tempat ini sementara. Sampai ketika kami berkunjung di ujung bulan Juni ini, beberapa hari setelah pembukaan pameran.
Pameran ini berjudul Ondel-Ondel: yang Rural dan yang Urban, menampilkan karya kertas dari Edi Bonetski, seorang street artist yang juga mendalami seni musik dan seni pertunjukan. Ya, deskripsi itu saya comot dari akun Instagram resmi mereka. Sebab saya juga belum kenal siapa itu Edi Bonetski. Maaf, pengetahuan seni saya memang minim dan miskin, makanya saya harus belajar.
Sebentar, sebelum saya lanjut bercerita, saya mau comot lagi beberapa hal dari deskripsi pameran itu. Ya, sekadar memberi gambaran saja.
“Pameran ini merupakan respon Edi Bonetski terhadap fenomena hilangnya memori kolektif masyarakat Indonesia terhadap sosok Ondel-Ondel yang bermula sebagai salah satu bentuk kesenian jalanan yang kaya akan sejarah dan kebudayaan.”
“Dalam konteks kontestasi ruang rural dan urban inilah sejarawan Th. Pigeaud dalam bukunya yang masyhur Javaanse Volkvertoningen (1928) mengemukakan para raksasa dan makhluk halus masih hidup dalam memori kolektif masyarakat Jawa. Sosok-sosok besar itu maujud dalam kesenian berbentuk boneka-boneka raksasa. Dihadirkan dalam- perayaan upacara-upacara terpenting siklus kehidupan manusia di antero Jawa dan Bali. (JJ Rizal/ Sejarawan, dalam catatan pengantar Pameran)”
Oke, untuk yang paham seni mungkin bisa membaca dua paragraf di atas dan mengerti lebih jauh apa yang mau disampaikan pameran ini. Buat saya, mengunjungi pameran adalah membuka diri untuk pengalaman yang lain, yang mungkin jauh dari keseharian dan syukur-syukur bisa membantu saya memandang, merasakan dan mengerjakan apa-apa dengan lebih peka.
Kalau dari yang saya amati, perupa Edi Bonetski sepertinya menampilkan ondel-ondel dalam berbagai bentuk yang bisa jadi jauh dari bentuk ondel-ondel yang masyarakat kenal pada umumnya. Ya, ada beberapa figur yang masih mirip ondel-ondel asli, seperti instalasi ondel-ondel kecil yang berbaris di tangga, tapi ada juga bentuk yang butuh imajinasi untuk melihat “di mana ondel-ondelnya?”
Terus terang, lepas dari mengerti atau tidak, saya selalu senang melihat pameran seni. Melihat bentuk-bentuk yang menentang logika itu buat saya jadi ajang menelusuri perasaan saya sendiri. Bisa nggak saya menerima apapun yang ditampilkan ini sebagai “seni”? Atau, saya justru jadi memberontak dan berseru “ini bukan seni” di sosmed? Atau, saya malah berkata “saya tidak mengerti” dan berhenti di situ. Ah, jelas saya nggak mau yang seperti itu. Saya menolak untuk menutup pandangan dan perasaan pada hal-hal yang berbeda, hanya karena saya tidak mengerti atau tidak terbiasa dengannya.
Saya ceritakan sedikit pameran ini. Di ruang pertama, dibagi atas beberapa bagian. Pertama, dari langit-langit bergantung kantong-kantong kertas dengan coretan dan kata-kata (protes?) di permukaannya. Bentuknya, sedikit banyak mengingatkan pada tubuh ondel-ondel yang gembung.
Lalu di sisi-sisi ruangan ada karya pada kertas besar. Lukisan, saya kira, atau mungkin bentuk seni rupa gabungan antara lukis dan hal lain. Tapi yang menarik buat saya adalah karya di sudut ruangan yang dominan warna kuning dan hitam, di situ selain coretan di dinding, perupa juga menampilkan klise rontgen dengan cat putih yang sepertinya dari correction pen atau yang kita lazim sebut tip-eks.
Masih banyak sudut lain, dan instalasi lain di pameran ini. Saya tidak perlu mendeskripsikan semuanya kan? Paling baik adalah kalau kalian, yang kebetulan membaca tulisan ini, berkunjung langsung ke sana.
Apalagi di lantai atas, yang dijangkau melalui tangga besi spiral. Masih banyak lagi karya-karya yang menarik. Kata-kata saya kok rasanya malah membuat karya-karya itu hambar, atau terkesan dibuat-buat karena saya berusaha menutupi kekurang tahuan saya soal seni dengan teori-teori yang tidak perlu.
Memang klise jadinya, tapi memang sebuah pameran itu lebih baik didatangi. Karena dengan begitu, pengalamannya akan milik diri sendiri.
Berbincang dengan Hanafi
Di tempat itu kami memang sudah ada rencana untuk bertemu teman saya. Arkan, namanya, seorang yang pengetahuan seninya lebih baik dari saya. Kebetulan juga, dia cukup akrab dengan teman-teman di Galeri Kertas / Studio Hanafi, jadi saya punya kesempatan untuk bercengkrama dengan mereka.
Sebuah gagasan, yang lama dorman, pun saya cetuskan kembali bersama Arkan. Gagasan itu sederhana: bahwa permainan bisa digunakan untuk membantu orang (atau kelompok) melahirkan karya.
Buat saya gagasan itu menarik, namun saya selalu kesulitan menyampaikannya. Apalagi karena bentuk konkritnya masih jauh dari jelas.
“Oh, games? Kayak mobile legend?” kata seorang pria dengan panggilan Om Sugeng, saya kurang tahu persisnya apakah juga seniman, pastinya saya yakin dia salah satu teman yang sering nongkrong di sana.
Diskusi kami (saya, Arkan dan Om Sugeng) memanas, mulai dari origami, Angry Birds hingga permainan dampu jadi bahan obrolan. Sayangnya, saya juga masih belum bisa mengerucutkan ide itu: bagaimana menggunakan permainan sebagai alat bantu berkarya.
Lalu, Arkan mengajak saya untuk duduk-duduk di taman dekat sungai. Tak lama Mas Hanafi, pelukis dengan reputasi internasional itu, menghampiri dengan santai.
Ya, bukan kebetulan, toh dia memang sudah akrab dengan Arkan dan ini adalah rumahnya. Tapi saya tidak punya niat untuk bertemu langsung dengannya. Saya pikir, akan sulit dan dia pasti sibuk. Jadi, ini memang kejutan yang sungguh menyenangkan.
Tapi, begini, tanpa bermaksud mengecewakan teman-teman yang baca tulisan ini. Saya tidak akan tuliskan obrolan saya dengan Arkan dan Mas Hanafi di sini. Bukan, bukan karena “harus datang sendiri” tapi karena saya tidak minta izin padanya untuk menuliskan percakapan itu.
Lha, tulisan ini saja dibuat tanpa niat kok. Awalnya kan saya mengusulkan perjalanan ke Galeri Kertas atas alasan “mengantar anak-anak”.
Jadi, maaf, percakapan yang sungguh membuka wawasan itu akan jadi bahan inspirasi pribadi saya dulu. Mungkin, kalau sempat, ada beberapa di antaranya yang bisa saya sarikan dan tuangkan ulang ke dalam bentuk yang berbeda.
Apa sih yang kami bicarakan? Topiknya luas, mulai dari soal bagaimana pameran ini akhirnya bisa terjadi, kegiatan di galeri dan studionya, bagaimana ia mengawali studio itu hingga tentu saja soal pemerintah dan komunitas kesenian lain.
Nah, iya, saya memang senang menyeret-nyeret gosip soal pemerintahan ke dalam percakapan. Sekadar mau tahu kok, bukan mau makar. Kalau sudah kenal lebih dalam, obrolannya bisa lebih ngaco, karena menyeret-nyeret soal kepercayaan. Ah, tapi saya kan belum kenal jauh dengan kalian yang baca tulisan ini?
Oh ya, tentunya di kesempatan itu saya juga berusaha melempar gagasan soal menggunakan permainan dalam menghasil karya. Keringat dingin saya mengutarakannya, dan sepertinya saya masih gagal untuk menjelaskannya. Lagi-lagi, ini soal bentuk yang belum jelas.
“Coba, kamu tulis dulu skemanya kayak gimana,” nasehat dari Mas Hanafi ke saya dan Arkan. Baiklah, boleh itu jadi PR kami. Hitung-hitung, bekal untuk perjalanan berikutnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang pencerita yang gemar ngopi. Perjalanan paling menyenangkan untuknya adalah berjalan kaki dan berbincang.