ARAH SINGGAHTRAVELOG

Singgah di Sanggase

Dari Jawa, butuh tiga hari perjalanan dan tiga moda transportasi ke permukiman Imo Sanggase. Cuaca dan gangguan jaringan di Merauke jadi hambatan utama.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Penyunting: Mauren Fitri ID
Foto: Deta Widyananda


Singgah di Sanggase
Suasana jalanan di kota Merauke selepas hujan

Kami tiba di Bandara Mopah, Merauke pada Rabu pagi (19/8/2025). Penerbangan panjang dengan maskapai pelat merah dari Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa malam, lalu transit sejenak di Bandara Sentani Jayapura keesokan paginya, relatif berjalan tanpa kendala berarti. Turbulensi beberapa kali terjadi seperti biasa. 

Cuaca Merauke hari itu cukup baik, meski berawan. Hari masih belum terlalu siang, tapi benar kata orang, matahari di Merauke seperti bercabang, rasanya sudah cukup terik menyengat kulit. Namun, rupanya sengatan matahari tidak mampu mengalahkan berita buruk yang telah terjadi di kota beberapa minggu belakangan: sinyal seluler lenyap, internet ambruk. Tidak bisa menghubungi dan dihubungi siapa-siapa.

“Ini rutinitas setiap tahun, Kakak. Tahun lalu juga begini,” cetus sopir mobil hotel yang menjemput ke bandara. 

Untung saja, hotel tempat kami menginap hari ini, sudah punya solusi: Starlink. Kali ini kami harus hormat kepada Elon Musk. Tidak heran, jika bagasi seorang penumpang yang satu pesawat dengan kami adalah satu dus perangkat internet satelit itu. Selain kebutuhan primer, ada juga peluang cuan, di antaranya jual voucher internet per jam di kios-kios atau restoran. 

Hotel CareInn terletak 4,6 kilometer dari bandara. Tidak terlalu jauh, tapi yang cukup mengejutkan, lokasi hotel serba merah ini seperti mblusuk di perkampungan. Tampak sederhana, tidak terlalu banyak polesan arsitektur yang ‘wah’. Tapi kata orang sana, hotel ini termasuk yang sangat terjamin hospitality-nya. Setibanya di sana, kami lekas check in dan istirahat sejenak sampai siang, lalu berencana akan menemui fixer dan belanja logistik untuk bekal ke Sanggase.

Singgah di Sanggase
Saat di hotel, Ramsis (kiri) ikut membantu tim TelusuRI menata logistik (terutama bahan makanan dan minuman) untuk dibawa ke Sanggase

Belanja logistik dan bahan kontak

Setelah susah payah menelepon dan mengirim pesan singkat (SMS), akhirnya kami bertemu juga dengan Moses Ramsis Boi di lobi hotel. Satu-satunya staf program associate Yayasan EcoNusa di Merauke itu lega bisa menemui kami. Kami pun sama leganya, akhirnya tatap muka juga setelah sekian kali rapat virtual jarak jauh membahas persiapan liputan ke Merauke.

“Ini sinyal memang kacau. Sudah dari 2017 atau 2018 selalu seperti ini setiap tahunnya. Tahun lalu malah hampir 2–3 bulan sinyal mati. Sekarang alasannya kabel (fiber optik di dalam laut) digigit ikan,” keluh Ramsis.

Usai basa-basi singkat, kami berencana makan siang bersama lalu lanjut menyisir toko-toko swalayan atau warung kecil untuk belanja logistik. Sesuai saran Ramsis, kami belanja beberapa bahan pokok, antara lain beras, minyak goreng, telur, mi instan, gula, aneka camilan, tabung gas portabel (kami bawa kompor camping), dan air mineral galon. Dari Jawa, kami sudah membawa kopi serta sejumlah makanan instan olahan, seperti abon, sambal, dan makanan berprotein siap saji. Tak lupa, kami juga membeli bahan kontak: tembakau, sirih dan pinang kering. “Kalau logistik habis, kita bisa belanja ke distrik (Okaba),” kata Ramsis. Kira-kira 20–30 menit perjalanan dari Sanggase dengan motor atau mobil pikap.

Sorenya kami silaturahmi ke rumah kontrakan Siti Rohana alias Ana alias Mama Ibu. Istri Kepala Kampung Sanggase Yohanes Kilay, yang ternyata asli Banyuwangi—wong Jowo. Ia sedang berada di kota karena menunggui anaknya tes masuk kepolisian beberapa hari lagi. Guru SD YPKK Sanggase itu juga membantu kami memastikan mobil Hilux langganan Bapak Kampung (sebutan lain Yohanes). Ia menelepon Frans, sopir mobil 4WD yang akan mengantar kami ke Kali Bian, dermaga penyeberangan menuju Sanggase. Saat itu juga Frans pergi ke rumah Mama Ibu dan menemui kami, menyepakati jadwal keberangkatan. Kami berencana check out pukul 2.30 dini hari dan berangkat ke Sanggase sebelum subuh. Tak lupa Mama Ibu menitipkan obat dan insulin untuk sang suami.

Sebenarnya ada tiga opsi transportasi menuju Sanggase, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pertama, pilihan paling praktis dan hemat, naik pesawat twin-otter Susi Air berkapasitas 12 penumpang dengan rute Merauke–Okaba. Durasinya 30–45 menit. Dari Bandara Okaba, perjalanan ke Sanggase hanya 20–30 menit dengan motor atau mobil. Sayang, pesawat ini hanya terbang tiga kali seminggu dan tidak bisa pesan secara daring. Calon penumpang harus antre ke loket Susi Air di kota, yang biasanya sudah rela menanti sejak tengah malam.

Kedua, sewa mobil plus sopir ke Pelabuhan Kumbe, sekitar 45 km (1–1,5 jam perjalanan), lalu lanjut naik perahu lewat laut selama 3–4 jam langsung menuju Sanggase. Ongkos mobil lebih hemat, tetapi ongkos perahu jauh lebih mahal. Belum lagi kalau cuaca kurang bersahabat dan berpotensi terombang-ambing di Laut Arafura. Ketiga, seperti yang kami lakukan saat ini. Ongkos mobil lebih mahal karena jauh, sementara ongkos perahu lebih murah alias setara dengan biaya mobil sekali jalan. 

Jika memang ada opsi keempat, itu adalah meminta Susi Air menambah frekuensi penerbangan lebih dari tiga kali seminggu. Naik pesawat adalah satu-satunya jalan termurah dan terefisien jika kita bepergian seorang diri. Tidak ada opsi naik sepeda motor di sini. Bukan karena mustahil, melainkan terlalu melelahkan.

Hari beranjak petang jelang kami pamit ke Mama Ibu. Di tengah jaringan Starlink yang sesaat lagi mencapai limit, Mama Ibu menelepon Agustinus Moyuen alias Agus. Salah satu pria kepercayaan Bapak Kampung yang juga aparat pemerintah kampung. Ia selalu diberi tugas antar jemput tamu. Mama Ibu meminta Agus siaga sejak pukul 6 pagi di Kali Bian, karena kami berencana berangkat dari Merauke pukul 3 dini hari. “Saya selalu bilang ke Agus kalau ‘mama ibu’ juga ikut, meski sebenarnya saya memang tidak pergi. Sebab, jika tidak dibilang begitu, Agus pasti selalu datang terlambat untuk menjemput,” bebernya. 

Singgah di Sanggase
Dawa (kiri) dan mobil Hilux pengganti

Terguncang di jalan poros Merauke–Domande

Seorang kawan yang baru jumpa di hotel, subuh itu menitipkan satu paket krat telur berbahan karton. Isinya puluhan lembar. Katanya titipan Bapak Pendeta untuk peternak ayam petelur di Distrik Okaba, yang juga bagian dari program pemberdayaan ekonomi oleh Yayasan EcoNusa Merauke. Ia bersama temannya sudah tiba di teras hotel sejak pukul 3 dini hari. Sama seperti kami. 

Sejam, dua jam berjalan, Frans tidak kunjung datang. Sialnya, jaringan telekomunikasi masih mati. Jangankan internet, mau telepon atau SMS saja tidak bisa. Tidak hanya kami, Ramsis pun gelisah. Lambat laun kantuk menyerang. Sampai pagi mulai terang, belum ada kepastian kami jadi berangkat atau tidak. 

“Kayaknya mobil Frans rusak ini, jadi tidak bisa dipakai,” Ramsis menduga-duga. Lalu keputusan final dibuat. Kami tetap berangkat pagi itu, tetapi menggunakan mobil rental langganan tim EcoNusa. Karena terbilang mendadak, tentu perlu waktu untuk bisa dapat mobil yang diinginkan, sekalipun rental harus meminjam mobil pribadi orang lain. 

Setelah sempat istirahat sebentar, mobil Hilux dobel gardan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga sekitar pukul 08.30. Kami berkenalan dengan sopir yang akan mengantar kami ke Kali Bian, namanya Dawa, pemuda berdarah Banyuwangi yang lahir dan besar di Merauke. Kami bergegas mengangkut barang-barang bawaan ke bak belakang, dibantu Dawa dan pemilik mobil. Tak lupa ditutup kain terpal tebal, sebagai antisipasi jika hujan di perjalanan.

Jika melihat catatan di Google Maps, jarak dari hotel kami ke Kali Bian sekitar 123 kilometer. Estimasi perjalanan 3–4 jam kalau lancar. Arti lancar di sini antara lain mesin mobil tidak mengalami kendala dan kawasan rawa di Kumbe–Onggari–Domande tidak sedang banjir besar. 

Singgah di Sanggase
Bendera Merah Putih berkibar di wilayah Kurik, distrik padat penduduk yang jalanannya tidak sepenuhnya mulus

Awal perjalanan, seperti biasa, akan menikmati aspal mulus kawasan perkotaan. Rute kami melewat jembatan Tujuh Wali-Wali yang melintas di atas Sungai Maro (perbatasan wilayah kota dan kabupaten), daerah transmigran Distrik Kurik dan Tanah Miring, lalu tiga kampung bertetangga di Distrik Malind: Kumbe–Onggari–Domande. Alat-alat berat seperti ekskavator tampak sibuk di sejumlah ruas jalan, mengerjakan tugas pengerasan jalan, yang tampak seperti program rutinitas setiap tahun.

Namun, kesenangan lewat jalan aspal harus diredam begitu cukup jauh meninggalkan kota Merauke. Perkataan kawan yang titip telur tadi terbukti, satu jam perjalanan awal aman, tapi setelah itu jangan harap. Memasuki Distrik Kurik, sekitar 60 kilometer dari kota, perut rasanya diaduk-aduk. Jalan berlubang dan bergelombang di mana-mana. Sebagian besar masih berupa tanah, berdebu saat kering, berlumpur saat hujan. Padahal daerah Salor, ibu kota Distrik Kurik dan juga terkenal dengan taman wisata 1000 musamus, dipersiapkan menjadi ibu kota baru Provinsi Papua Selatan. Namun, infrastrukturnya belum sepenuhnya siap. Saya tidak bisa membayangkan menjadi warga setempat yang setiap hari melintas dengan sepeda motor. Suasananya seperti melempar saya kembali ke belasan atau bahkan puluhan tahun silam.

Selepas Kurik, jalan tanah itu berangsur menghilang. Berganti menjadi aspal kembali, tetapi hanya bertahan beberapa kilometer. Konsep putus-nyambung berlaku di sini. Sesekali aspal, sesekali hancur menyisakan remah-remah aspal dan batuan yang bisa merusak suspensi dan ban kendaraan. Sampai ada satu titik yang cukup membuat kami menghela napas sejenak, karena akan melewati ruas jalan terparah di jalur ini. Letaknya di kawasan rawa-rawa antara Kumbe–Onggari, tak begitu jauh dari kantor Distrik Malind. Lubang-lubang dalam, sampai seolah benar-benar tidak berbentuk seperti jalan mobil, membuat saya mengelus dada. 

Singgah di Sanggase
Ramsis harus turun untuk memastikan ban mobil melintas di jalur yang aman dan tidak terperosok atau terbawa arus pasang rawa yang terkenal kuat

Di depan kami, sebuah jembatan kayu kecil selebar mobil tampak terpasang secara kurang meyakinkan. Di sekelilingnya, aliran air rawa khas gambut sedikit menggenangi jalan, kira-kira setinggi mata kaki. Dawa, Ramsis, dan saya sempat turun sebentar untuk mengecek situasi, apakah aman dilewati atau tidak. “Kalau musim hujan besar, jalan ini akan banjir, Hilux atau Fortuner akan terendam separuhnya dan bisa hanyut saking kencangnya arus air,” kata Ramsis. Jika terjadi kondisi seperti itu, perjalanan bisa berkali-kali lipat lebih lama dari biasanya. 

Lolos dari rintangan barusan, kami melanjutkan perjalanan. Kami sempat berhenti sebentar di suatu tempat antah-berantah, karena ada mama-mama dari Onggari beserta anak-anak mereka menebeng untuk diantar ke lokasi memancing. Setelah itu, Dawa kembali mengebut. Sorot matanya fokus menatap medan di depan mata. Otot-otot di kedua lengan kecilnya bekerja keras mengendalikan bantingan kemudi, memastikan keempat ban dengan struktur sidewall dan tread kuat menggilas lubang-lubang menganga. Kami harap-harap cemas. Di pelabuhan Kali Bian, Agus pasti sudah lama menunggu. Jika kami terlambat datang, kami baru bisa menyeberang keesokan harinya, menunggu cuaca teduh. 

Saya membuka aplikasi peta di ponsel. Meski sinyal lenyap, tapi pergerakan kami (ditandai titik biru) masih terlacak. Ujung daratan di depan mata. Di layar gawai, penampang biru berkelok bak ular kian dekat. Sebentar lagi kami akan sampai di Kali Bian, yang secara administratif masuk wilayah Kampung Domande, Distrik Malind. Semoga Agus tidak sampai merajuk dan meninggalkan kami yang sudah pasti datang jauh melenceng dari rencana.

Kiri: Dawa memarkir mobil tepat di pinggir sungai, titik penyeberangan Kali Bian menuju Sanggase, agar memudahkan bongkar muat barang ke perahu.
Kanan: Agus (jaket biru) mengawasi kru perahu yang sedang menata barang-barang bawaan kami supaya aman dari cipratan ombak.

Melaju kencang menuju Kali Sanggal

Agus tampak lega begitu batang hidung kami muncul di hadapannya. Sebab, selain faktor cuaca dan keamanan jalur penyeberangan, ia pun makin tenang karena tidak jadi dimarahi Mama Ibu. “Saya di sini sudah dari jam 8 pagi,” ujar Agus, “karena kan Mama Ibu perintah begitu.” Berarti, ia sudah menunggu empat jam di sana. Padahal, yang Mama Ibu perintahkan sebenarnya adalah siaga sejak pukul enam pagi jika kami berangkat dari kota pukul 03.00 WIT.

Sembari menunggu bahan bakar perahu diisi, barang-barang bawaan kami lekas diturunkan dari bagasi Hilux, lalu dipindahkan ke perahu. Sebuah kantung plastik vakum transparan kami gunakan untuk menyimpan ransel-ransel yang memuat alat elektronik, seperti ponsel, laptop, dan kamera.

Proses bongkar muat berlangsung singkat. Dawa pun pamit pulang, kembali ke kota sendirian. Entah naik apa kami saat balik ke Merauke, itu kami pikirkan nanti. Sebab, kami pun belum tahu akan berapa lama di Sanggase. “Kita baru akan pesan mobil jemputan kalau sudah memastikan kapan pulang,” kata Ramsis. Soal naik apa dan kapan pulang, tidak masalah. Kekhawatiran saya hanya semoga sinyal di kota sudah membaik, sehingga kami benar-benar akan dijemput di Kali Bian.

“Masih aman,” jawab Agus mengonfirmasi pertanyaan kami soal rencana menyeberang siang itu. Kami beruntung, meski sempat gerimis, cuaca dan laut relatif kondusif untuk menyeberang. Biasanya, jam-jam segini sampai sore rawan untuk melintas, karena ombaknya bisa memutarbalikkan perahu tanpa ampun. Menurut Agus, tanda-tanda laut aman atau berombak, bisa diketahui dari ada atau tidaknya buih-buih putih (tanda laut berombak) di muara Kali Bian. Jika masih relatif minim buih putih, berarti laut akan cukup teduh, meski mungkin sedikit terantuk-antuk di atas perahu.

Pikiran saya mulanya relatif tenang, tapi kemudian berubah sedikit khawatir begitu mengingat nama laut di depan mata, yang membuat saya berdoa dan berharap melewatinya secepatnya. Itulah Laut Arafura (atau Laut Arafuru), kawasan perairan di selatan Papua dengan luas 100 kali lebih besar dari Pulau Bali, penghubung antara daratan Papua dan Australia. Dasar lautnya cenderung berlumpur atau berpasir, sehingga kerap terlihat berwarna keruh kecokelatan dan jarang dijumpai terumbu karang.

Satu hal baik dari laut ini adalah potensi sumber daya perikanan yang sangat besar, memancing banyak nelayan atau pelaku usaha perikanan datang demi berburu udang atau ikan-ikan demersal untuk dijual. Sementara satu hal lagi yang bikin bergidik, tak lain reputasinya sebagai salah satu perairan terganas di bumi.

Mendengar nama Laut Arafura, pikiran saya langsung teringat pada sosok Medina Kamil dan Jejak Petualang. Hampir sebagian besar publik tahu musibah yang menimpa kru program petualangan Trans7 itu pada awal Juni 2006 silam.1 Saat itu, longboat mereka digulung ombak saat dalam perjalanan laut dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, menuju Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Medina Kamil bersama produser, asisten produser, dan seorang kamerawan terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni, sedangkan kamerawan Bagus Dwi beserta tiga warga lokal hanyut dan hilang entah ke mana, tidak pernah ditemukan sampai sekarang.

Meski lokasi kejadian nahas itu terpaut jauh dari tempat kami berdiri sekarang, rasanya tetap degdegan. Sebab, Kabupaten Asmat, Mappi, maupun Merauke, menghadap ke arah perairan yang sama: Laut Arafura. Saya tidak gampang mabuk laut, tapi memilih tetap memakai baju pelampung (life vest) dan tidur sejenak selama perjalanan rupanya jadi pilihan bijaksana. 

Rela kuyup tatkala Agus (jaket biru, berdiri) melajukan perahu dengan cepat menerjang ombak Laut Arafura menuju dermaga Kali Sanggal, Kampung Sanggase

Dua mesin kapal berkekuatan masing-masing 40 PK—harganya setara satu mobil LMPV bensin—dihidupkan bersamaan. Agus membawa kami melaju kencang di atas Kali Bian, mengarah ke barat. Sungai selebar 1,5–2 kilometer ini mulai beriak. Mendekati muara, ombak Laut Arafura makin terasa kuat menerjang dinding perahu berbahan kayu sepanjang 4,5 meter itu. Kedengarannya seperti suara kayu pecah, tubuh para penumpang terguncang di atas perahu. “Kalau cuma pakai (mesin) 20 PK, enggak akan kuat jalan, ombaknya ganas,” kata Agus. Beda bila laut sedang teduh (ombak tenang), cukup menyalakan satu mesin saja.

Jarak dari Kali Bian ke Kali Sanggal, dermaga yang berada di timur kampung, sekitar 9 mil atau hampir 15 kilometer. Durasi perjalanan sekitar 20 menit. Sepanjang menyisir pesisir Sanggase, kami melihat hutan mangrove tumbuh lebat dan menjulang. Beberapa kali kecil tampak bermuara di sela-selanya.

Cuaca cerah dan cenderung terik menyapa setibanya di dermaga Kali Sanggal. Gerimis yang sempat mengguyur di Kali Bian tak berbekas. Baju dan celana saya kuyup, bukan oleh gerimis, melainkan percikan ombak Laut Arafura.

“Kalau ombak kayak tadi masih kecil,” sahut Agus santai. Itu berarti pengalaman kami belum seberapa. 

Dari Kali Sanggal, kami dijemput dengan motor roda tiga milik pemerintah kampung. Penduduk setempat menyebutnya motoran. Biasa dipakai untuk kegiatan niaga atau sekadar operasional kampung. Kami akan diangkut dengan kendaraan ini, beserta segudang barang bawaan yang memakan sepertiga bak. Seorang pria berperawakan sangar duduk di balik kemudi, tampak kontras dan mengejutkan ketika belakangan mengetahui usianya baru 27 tahun dan sudah punya empat anak. Namanya Philippus Mahuze, atau biasa disapa Madi—nama tongkrongannya. 

Pusat permukiman Kampung Sanggase masih berjarak kira-kira 3,5 kilometer lagi dengan menyisir pantai. Ternyata sinyal lebih stabil di kampung, beda dengan di kota. Hari itu, saat kami dalam perjalanan ke Sanggase, kami mendengar kantor Telkomsel Merauke nyaris menyala dibakar massa.

  • Singgah di Sanggase
  • Singgah di Sanggase

Persinggahan pertama Arah Singgah

Kepala Kampung Sanggase, Yohanes Kilay (56), menyambut semringah kedatangan kami di rumah laut, salah satu tempat tinggalnya bersama keluarga di kampung. Ia memiliki dua rumah: laut dan darat. Istilah rumah laut mengacu pada kediaman yang berada di dalam kompleks SD YPPK Sanggase, letaknya dekat dengan laut (pantai). Sementara rumah darat berada di bagian ‘atas’ kampung, dekat jalan utama ke pusat distrik. Rumah-rumah itu, beserta lahan luas di sekitarnya, adalah pemberian cuma-cuma dari para tetua adat atas kiprah dan kerja kerasnya membangun kampung.

Raut Bapak Kampung—begitu ia biasa disapa—lebih semringah lagi begitu menerima paket obat dan suntikan insulin dari sang istri, untuk mengobati penyakit diabetes yang diderita. Penyakit yang tampaknya menjadi satu-satunya faktor yang mampu meredam kejenakaan, ketegasan, dan temperamennya. 

“Saya disuruh [istri] mengurangi kopi manis dan rokok,” ujarnya. Untuk itulah ia ingin istirahat begitu masa bakti kepala kampung purna 2026 nanti. Namun, ‘gawatnya’, ia telah diwanti-wanti para tetua adat agar menjadi kepala kampung seumur hidup. Seperti sang istri yang dipertahankan mati-matian oleh masyarakat Sanggase dari tiga kali percobaan mutasi oleh Pemkab Merauke, begitu pun suratan takdir yang harus diterima Yohanes. Ia dilarang pensiun.

Sebelum melanjutkan kegiatan, ditemani Yohanes, kami terlebih dahulu duduk adat bersama para tetua adat dan perwakilan masyarakat di sanggar. Tujuannya adalah secara terbuka menyampaikan maksud kedatangan kami dan meminta izin lisan untuk liputan beberapa hari di Sanggase. Kristianus Nasemhe (54) dan Siprianus Heri Gebze (48) menyambut kami dengan baik, serta mengizinkan kegiatan kami. Dalam pandangan saya, ini bukan hanya sekadar prosedur administrasi biasa, melainkan juga sebuah penghormatan kepada ketentuan adat khas Malind yang masih kental dan dipegang teguh masyarakat. Keterbukaan sangat penting untuk membangun kepercayaan dari mereka, yang akan menghiasi cerita-cerita kami selama ekspedisi.

  • Singgah di Sanggase
  • Singgah di Sanggase

Sesuai arahan Yohanes, kami diberi tempat tinggal sementara sebagai base camp selama liputan di Sanggase. Fasilitasnya di luar ekspektasi kami. ada dua kamar tidur yang dilengkapi kasur busa, lemari, dan kipas angin, kursi-meja plastik di ruang tamu, dapur, dan kamar mandi di ruang belakang yang cukup luas untuk menyimpan perabot makan dan menjemur pakaian.

Masyarakat menyebutnya pos, karena mulanya dibangun sebagai fasilitas dinas polisi atau tentara dari distrik yang tugas jaga di kampung. Tapi rupanya telah lama kosong, malah lebih sering digunakan Ramsis dan tim EcoNusa ketika kegiatan di Sanggase. Base camp yang dibangun satu lahan dengan rumah darat Yohanes itu menghadap jalanan yang lebih tinggi. Terletak di sudut pertigaan antara jalan pematang di tengah rawa—disebut juga jalan leluhur atau imo kay—dengan jalan utama penghubung Sanggase–Okaba. Deretan pohon kelapa, rawa-rawa dan hutan tropis nun jauh di utara, serta sapaan penuh senyum dari anak-anak hingga orang dewasa, menjadi pemandangan hangat sehari-hari.

Di sinilah persinggahan pertama kami. Tempat awal merangkai cerita untuk kami rekam dan kabarkan. Tempat yang taat agama dan adat, serta menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa. Di sini pula saya akhirnya menyadari, betapa kampung paling ujung timur Distrik Okaba itu memang benar-benar jauh.


  1. TRANS7 OFFICIAL, “NAPAK TILAS, MEDINA KAMIL KEMBALI KE PAPUA | JEJAK PETUALANG”, YouTube, 2025, Juni 19, https://www.youtube.com/watch?v=4Y4db9izOTY. ↩︎

Foto sampul:
Seorang mama dan anak bersantai di dermaga Kali Sanggal, salah satu pintu masuk Kampung Sanggase sisi timur, jika menggunakan perahu lewat laut dari arah Kumbe atau Kali Bian

Pada Agustus–September 2025, tim TelusuRI mengunjungi Merauke (Papua Selatan), Jayapura (Papua), serta Tambrauw dan Sorong (Papua Barat Daya) dalam ekspedisi Arah Singgah: Tanah Kehidupan. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah2025.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Avatar photo

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Arah Singgah 2025: Tanah Kehidupan