Matahari masih belum terbit ketika aku bangun tidur. Angin laut selatan menyambut. Begitu sejuk. Suasana masih terasa sunyi.

Kali ini aku sedang berada di Pantai Siung, Desa Purwodadi, Tepus, Gunungkidul. Pantai ini selain populer dengan keindahan lautnya dan pasir putihnya, juga dikenal kompleks tebingnya yang jadi tempat favorit para pemanjat. Masih bagian dari kawasan karst Gunung Sewu, tebing di Pantai Siung ini membentang luas. Memiliki 250 jalur panjat dengan ketinggian bervariasi, mulai dari 6 sampai 12 meter. Ada berbagai blok pemanjatan di sini yang diberi nama huruf abjad—dari A hingga K.

Akses Menuju Pantai Siung

Perjalanan ke Pantai Siung terbilang mudah karena jalannya sudah beraspal bagus. Aku bersama tim pemanjatan baru tiba di sana dini hari, setelah menempuh perjalanan empat jam dari Semarang. Kami sempat bergantian tidur sebentar usai briefing kegiatan pemanjatan dan menata peralatan untuk kegiatan esok hari.

Kami berencana melakukan pemanjatan selama dua hari. Selama waktu tersebut, kami menyewa salah satu rumah warga untuk dijadikan basecamp. Basecamp yang kami tempati cukup sederhana, berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Kami diizinkan menggunakan ruangan tanpa dinding di sebelah warung pemilik rumah untuk menyimpan peralatan dan tempat tidur.

Prosedur berkegiatan panjat tebing di Pantai Siung terbilang mudah. Cukup memberikan surat izin ke pengelola setempat dan membayar biaya masuk kawasan wisata, seperti pengunjung pantai lainnya. Tarif wisata Pantai Siung sangat terjangkau. Per orang hanya perlu membayar Rp5.000, sedangkan biaya parkir roda dua dikenakan Rp3.000—5.000, dan roda empat Rp10.000—20.000. Dengan biaya tersebut, kami sudah bisa melakukan aktivitas pemanjatan sepuasnya.

Serunya Rock Climbing di Tebing Pantai Siung
Salah satu lokasi panjat tebing di Pantai Siung/Lya Munawaroh

Artificial Climbing di Tebing Pantai Siung

Setelah pemanasan di tepi pantai, kami bergegas menuju lokasi pemanjatan. Jaraknya sekitar 15 menit dari basecamp. Jalannya melewati sela-sela antara rumah warga. Lalu mendekati tebing berupa jalan setapak selebar satu meter dan sedikit menanjak. Aku tidak tahu pasti tebing yang kami gunakan di blok apa, tetapi di depannya terdapat campground yang cukup luas dan terapit oleh dua tebing. 

Hari pertama kami targetkan untuk pemanjatan artificial, yaitu teknik pemanjatan dengan memanfaatkan pengaman alam (natural anchor). Kami menggunakan alat pengaman sisip, seperti sling, prusik, stopper, hexa, dan friend sebagai tambatan atau tumpuan, dengan cara menyelipkan peralatan tersebut ke celah atau lubang yang ada pada tebing. Pemanjatan dengan cara ini memang cukup rumit daripada pemanjatan di tebing yang sudah terpasang pengaman buatan. Meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama, tetapi sensasi yang didapat juga lebih menantang.

Salah satu dari kami memasang pengaman sisip lebih dahulu. Kemudian dua orang memasang pengaman tali yang akan kami gunakan untuk vertical photography. Sisanya menata peralatan dan memasang flysheet. Usai jalur pemanjatan dibuat, tiba giliranku mencoba jalur tersebut. Namun, tak semudah yang kukira. Aku hanya bisa sampai setengah jalur. Sembari aku memanjat, ada seorang yang bertugas memotret dari ketinggian menggunakan single rope technique (SRT), yaitu teknik meniti satu tali menggunakan alat ascending (alat untuk menaiki tali) dan descending (alat menuruni tali).

Serunya Rock Climbing di Tebing Pantai Siung
Pemanjatan artificial/Ferdian Restu Kelana

Setelah memanjat, kini giliran aku yang memotret. Akan tetapi, hasilnya kurang memuaskan. Temanku sempat mengomel karena foto saat dirinya memanjat tidak ada yang bagus. Aku memang belum bisa mengambil momen dengan baik.

Ketika vertical photography, aku harus menyesuaikan posisiku pada tali yang kunaiki, dengan posisi temanku yang sedang memanjat. Ketika itu posisiku lebih tinggi dan jaraknya lebih jauh dari temanku. Meskipun fitur zoom kamera bisa diatur, tetapi hasilnya malah terhalang tebing. Ya, memotret dari ketinggian tidaklah mudah. Selain membutuhkan keahlian memotret, juga harus lihai menyesuaikan diri pada tali lintasan.

Menunggu Hujan Reda

Karena bertepatan hari Jumat, menjelang Zuhur para personel laki-laki bersiap-siap melaksanakan salat Jumat. Masjid terdekat di daerah Pantai Siung jaraknya lumayan jauh, karena pantai ini sendiri terletak agak jauh dari jalan utama. Oleh sebab itu, mereka harus bersiap lebih awal. Sedangkan kami personel perempuan bertugas menjaga peralatan. Ada juga yang mengambil makan siang. 

Namun, tiba-tiba langit mendung dan tak lama kemudian hujan turun. Awalnya cuma gerimis, tetapi lama-lama menjadi deras. Aku bersama Ika berlindung di bawah flysheet dan mengamankan peralatan kami. Cukup lama kita berdua menunggu teman yang mengambil makan, sampai kemudian mereka datang dengan menggunakan jas hujan. Satu setengah jam berlalu, personel laki-laki sudah kembali dari salat Jumat. Hujan yang belum berhenti memaksa kami menghentikan sementara kegiatan pemanjatan. 

Beruntung sekitar pukul tiga sore hujan reda. Kami pun melanjutkan pemanjatan artificial bagi personel yang belum memanjat. Tepat pukul lima sore kami telah menyelesaikan target pemanjatan pada hari pertama. Kami bergegas kembali ke basecamp untuk mandi dan mempersiapkan pemanjatan esok hari. 

Serunya Rock Climbing di Tebing Pantai Siung
Proses menuruni tali setelah praktik SRT/Lya Munawaroh

Keindahan Pantai Siung dari Puncak Tebing

Malam hari setelah briefing, aku sudah dibikin overthinking dengan rencana senior kami. Dia menargetkan kami dapat melakukan pemanjatan alpine style, yaitu teknik pemanjatan yang tidak terhubung dengan basecamp. Jadi, seluruh peralatan harus dibawa saat memanjat.

Pasalnya teknik pemanjatan tersebut dilakukan secara berkelompok dan membutuhkan keahlian tali temali maupun memanjat yang baik. Aku takut tidak bisa mencapai target seniorku. Namun, akan jadi penyesalanku jika aku tidak berani mencoba. Sebab begitu mencoba rasanya di luar bayanganku dan tidak sesulit yang aku pikirkan.

Sebelum praktik di tebing langsung, kami diberi materi oleh senior kami mengenai cara-cara pembuatan simpul yang akan digunakan. Setelah itu, kami mencoba praktik di tebing bagian bawah, sekaligus simulasi teknis pemanjatan masing-masing tim. Tim pemanjatan sudah dibagi menjadi tiga kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang. Aku tergabung di kelompok dua, terdiri dari aku, Lukman, dan Yulyas. 

Tiga orang dalam satu kelompok mempunyai peran masing-masing. Ada pemanjat pertama atau leader yang bertugas memasang pengaman, lalu pemanjat kedua bertugas mem-belay pemanjat ketiga, dan pemanjat terakhir bertugas melepas semua pengaman yang telah terpasang. 

Kelompok pertama sudah melakukan praktik lebih dulu, selanjutnya tiba giliran kelompokku. Lukman memasang pengaman sisip untuk membuat jalur pemanjatan lebih dulu. Setelah Lukman mencapai teras atau pitch pertama dan memasang anchor (pengaman), giliran Yulyas yang memanjat dengan di-belay oleh Lukman dari atas dan juga olehku dari bawah. Saat Yulyas sampai di pitch pertama, baru giliranku memanjat sekaligus melepas semua pengaman jalur panjat yang telah dipasang. 

Awalnya aku mengira akan sulit, karena kemarin saja aku tidak bisa menyelesaikan pemanjatan artificial. Namun, ternyata jalur yang ini cukup mudah. Aku jadi bersemangat sambil tersenyum kesenangan karena bisa memanjat dengan lancar.

“Lya, gimana jalurnya? Susah nggak?” tanya Ika dari bawah tebing ketika aku sampai di pitch pertama. 

“Wah, mudah sekali, Ka! Lebih mudah ini daripada manjat di wall climbing” teriakku dari atas. Memang dasar aku, dikasih mudah sedikit sudah merasa sombong.

Pemanjatan kelompokku berlanjut sampai di pitch kedua dengan menggunakan teknik yang sama seperti pitch pertama. Di pitch kedua ini, aku terpukau melihat hamparan lautan dengan ombak bergulung-gulung. Di ujung sana terlihat birunya langit menyatu dengan birunya laut. Sangat indah. 

Pemandangan dari puncak tebing tentu jauh lebih indah. Begitu sampai, aku tiada henti melihat ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan. Dari sini, aku bisa melihat deretan tebing-tebing lain yang mengelilingi Pantai Siung, gulungan ombak yang terpecah ketika menabrak tebing, juga deretan warung serta para pengunjung di tepian pantai. Ah, indahnya! Andai aku tidak harus kembali untuk menyerahkan alat kepada kelompok pemanjat ketiga, aku enggan untuk turun.

Serunya Rock Climbing di Tebing Pantai Siung
Tim pemanjat perempuan/Lya Munawaroh

Menjemput Senja

Menjelang sore, kelompok tiga baru mulai memanjat. Sembari menunggu mereka selesai, aku membereskan peralatan yang telah dipakai. Aku memutuskan berkeliling di sekitar tebing, karena aku bosan menunggu. Kawasan tebing Pantai Siung memang sangat luas. Banyak juga spot foto menarik di tepian tebing. Sekalipun tidak dari atas tebing, pemandangan yang terlihat sudah sangat memanjakan mata. 

Sekitar pukul lima sore, kelompok tiga sudah mencapai puncak tebing. Seorang senior mengajak, “Ayo, naik lagi. Foto bareng di atas.”

Lah, kok naik lagi? Lewat mana?” tanyaku.

“Jalur belakang, dong,” jawabnya.

Lho, ternyata ada jalur belakangnya, toh? Tadi kenapa susah-susah alpine style dari depan? Aku tertawa saja. Ternyata untuk jalur belakang, kami harus berjalan melalui salah satu celah tebing dahulu, lalu memanjat tebing yang tadi dipanjat dari sisi sebaliknya.

Sebenarnya tidak perlu menggunakan alat panjat sudah bisa karena jalurnya tidak sulit dan seperti menaiki batuan karang biasa. Namun demi keamanan, kami tetap memakai helm, harness, dan kostel. Kami juga tetap harus berhati-hati karena batuannya sedikit lancip.

Kalau dari sisi belakang, mungkin butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai puncak. Waktu kami tiba, kami sempat menikmati suasana senja sore itu sebentar. Sayangnya, langit kembali mendung sehingga kami buru-buru berfoto sebelum makin gelap. Syukurlah masih sempat dapat foto bagus.

Tebing Pantai Siung memang sangat cocok bagi penyuka kegiatan panjat. Banyak mahasiswa pencinta alam (mapala) dan klub panjat dari berbagai daerah mengunjungi Pantai Siung. Mereka menjadikan tebing ini sebagai tempat latihan rutin, karena banyaknya jalur pemanjatan yang memiliki ketinggian dan kesulitan bervariasi. Ditambah aksesnya yang mudah. Meskipun lumayan jauh dari pusat kota dan sangat sulit mendapat sinyal, tetapi justru itu membuat suasana terasa lebih tenang.

Referensi:

Alvina. (2021). Tebing Siung: Jalur Panjat dengan Bonus Pemandangan Indah. Diakses pada 7 November 2023, https://gegama.geo.ugm.ac.id.
Wikipedia. (2023). Pantai Siung. Diakses pada 8 Februari 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Siung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar