Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.
Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.
Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).
Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.
Fenomena Geologi
Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot.
Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam.
Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.
Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.
Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim.
Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.
Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen
Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.
Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.
Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.
Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.
Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.
Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.
Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak.
Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.
Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.
Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih.
Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.
Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono
Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus.
Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus.
Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.
Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.
Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:
- Ki Demang Singodirono
- Ki Demang Singosemito
- Ki Demang Kerto Semito
- Ki Demang Kerto Leksono
- Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
- Nyi Parminah (1946—2000)
- Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
- Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen
Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.
Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.
(Bersambung)
Referensi
Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia