Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Perahu tradisional atau piyau dan motoris (pengemudi piyau) menjadi pemandangan sehari-hari di lintasan Sungai Subayang. Piyau merupakan napas terpenting untuk konektivitas antardesa di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau/Mauren Fitri

Bagi sebagian orang, Riau begitu lekat dengan kabut asap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut paling parah terjadi pada 2015. Dampaknya sampai dirasakan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Karhutla serupa tahun 2019 kian menjustifikasikan itu. 

Selain polusi udara, Riau juga dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Riau mencapai 149,9 juta rupiah. Setiap orang di provinsi ini diperkirakan berpendapatan Rp 12,49 juta per bulan. Peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Industri manufaktur, pertambangan minyak bumi dan gas, serta perkebunan kelapa sawit jadi penopang terbesar.

Padahal di balik itu Riau punya satu kawasan hutan tropis yang jadi sumber kehidupan banyak orang, yakni Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Belakangan tempat ini sering disorot dan dibicarakan, karena geliat ekowisata dan panorama alamnya. Letaknya jauh nun di selatan Kabupaten Kampar, terhampar ratusan ribu hektare hutan belantara. Sungai jernih dengan banyak titik jeram membelah di antaranya. Kerbau yang berendam dan biawak yang sedang berjemur di pulau berbatu jadi pemandangan menarik sepanjang perjalanan.

Ketika TelusuRI masuk kawasan, makin ke dalam rasanya seperti berada di dimensi berbeda. Hutan di kanan dan kiri begitu membius. Udara sejuk dan kecipak air sungai menyegarkan. Batu-batu di dasar sungai terlihat jelas. Walau di sisi lain tidak bisa menyembunyikan ketegangan setiap piyau (sejenis sampan) menghantam jeram atau kandas karena sungai terlalu dangkal. 

Di dalam kawasan, orang-orang desa pedalaman bergantung pada sumber daya air dan hasil hutan. Bertahan hidup dengan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Mencoba berdamai dengan gejolak alam liar yang tidak terprediksi.  

Benteng terakhir Riau

Kawasan hutan dan sungai Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan menjadi suaka margasatwa dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014. Luasnya 141.226,25 hektare. Cakupan area Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling terbagi ke dua wilayah administrasi, Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Kawasan konservasi yang berbatasan dengan hutan lindung di wilayah Sumatra Barat itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

SM Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan rumah bagi harimau sumatra beserta flora dan fauna endemik lainnya. Keanekaragaman hayatinya sangat beragam. Berdasarkan informasi dari situs resmi BBKSDA Riau, kawasan ekosistem hutan hujan dataran rendah ini merupakan habitat utama lima jenis kucing—termasuk harimau sumatra, ratusan jenis burung, lebih dari 100 jenis flora (di antaranya cendawan muka rimau atau Rafflesia hasseltii suringar), sampai dengan sejumlah primata dan mamalia lainnya.

Menurut Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), “Bukit Rimbang Bukit Baling adalah kawasan konservasi terluas yang tersisa dan relatif masih asri di Provinsi Riau,” jelasnya, “bisa kita sebut bagian dari benteng terakhir kawasan konservasi yang ada di Riau.”

Ia menambahkan, ada dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut, salah satunya Sungai Subayang yang berhulu di kawasan hutan lindung perbatasan Sumatra Barat—Riau.

Selain sebagai satu-satunya akses transportasi masyarakat dengan piyau (sejenis sampan), peran sungai yang menjadi bagian dari DAS Kampar itu juga berperan sebagai penyuplai air untuk masyarakat. Terutama di Kampar, Pekanbaru, hingga Sumatra Barat. Sungai ini akan jernih dan dangkal saat musim kemarau, serta berwarna kecokelatan ketika musim hujan.

Dalam konteks harimau sumatra, Genman menilai Bukit Rimbang Bukit Baling adalah satu-satunya habitat terbaik di Riau bagi satwa loreng itu. Mengingat daya jelajahnya yang luas, menjaga kawasan hutan lindung perbatasan di Sumatra Barat juga tidak kalah penting.

“Saya kira sudah sepantasnya semua pihak setuju untuk menyelamatkan kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Karena kalau tidak, nanti akan mengancam kehidupan manusia dan satwa liar yang kita lindungi,” tegasnya.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang warga Tanjung Beringin melempar jala di Sungai Subayang yang sedang dangkal. Selain menjadi jalur transportasi, sungai ini menyediakan aneka ikan air tawar untuk kebutuhan pangan masyarakat, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Rifqy Faiza Rahman

Tekanan-tekanan untuk kawasan

Di dalam kawasan, ada delapan desa (kenagarian) di bawah wilayah adat Kekhalifahan Batu Songgan. Wilayah ini dulunya di bawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan. Secara berurutan dari arah hulu, yaitu Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Bertalut, Tanjung Beringin, Batu Songgan, dan Muara Bio. Mayoritas warganya mencari sumber penghidupan dari hutan dan sungai. Setiap desa memiliki potensi sumber daya alam dan keunikan tradisinya masing-masing. 

Meski tidak ada angka pasti, beberapa sumber menyebut masyarakat desa di dalam kawasan sudah menetap turun-temurun selama ratusan tahun. Karena sudah tinggal jauh lebih dahulu sebelum penetapan status kawasan suaka margasatwa, BBKSDA Riau tidak merelokasi permukiman.

Atas dasar nilai sejarah, BBKSDA menempatkan permukiman desa-desa adat Bukit Rimbang Bukit Baling ke dalam blok khusus seluas 17.348,50 hektare. Tidak hanya permukiman, delineasi luasan blok tersebut juga berdasarkan keberadaan lahan pemanfaatan untuk budidaya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

“Tidak mungkin, misalnya, begitu [Bukit Rimbang Bukit Baling] ditunjuk jadi SM, mereka langsung dikeluarkan. Mereka diakomodasi untuk bisa hidup dan berkehidupan. Tentu berkehidupan secara tradisional dan tidak boleh dipindahtangankan secara komersial, [kecuali] kalau ada keturunannya yang melanjutkan.” tutur Genman.

Namun, jamak terjadi di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga tidak lepas dari ancaman lingkungan karena faktor manusia. Pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan terus menekan eksistensi kawasan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah pemuda bercengkerama di tepian Pulau Tonga, Desa Tanjung Belit, Kampar. Tampak di kejauhan jejak perambahan hutan dan pembukaan lahan kelapa sawit menekan desa penyangga yang juga menjadi pintu masuk menuju kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling tersebut/Deta Widyananda

Mulanya, kebanyakan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling menanam karet. Namun, seiring harga karet yang anjlok bahkan kurang dari Rp10.000 per kilogram, sebagian beralih membuka lahan bekas karet untuk ditanam kelapa sawit.

Bahkan saat pagi di Tanjung Beringin, terlihat asap menggelayuti pucuk-pucuk hutan di perbukitan. Sempat mengira kabut alami penyejuk pagi, ternyata itu kabut asap karena pembakaran lahan untuk membuka lahan perkebunan.

Tak sedikit juga yang bermain kayu. Selama perjalanan menyusuri Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke Terusan, desa terjauh yang dituju, TelusuRI menyaksikan langsung sekelompok orang mengalirkan balok-balok kayu jenis meranti atau balam yang diikat ke sebuah piyau. Melintas seolah tak kenal waktu. Kayu-kayu yang diambil dari dalam hutan tersebut akan dibawa ke dermaga Tanjung Belit atau Gema. Di sana kayu akan dipindah ke truk atau mobil bak terbuka, dengan kapasitas setidaknya 10 meter kubik sekali angkut. Di beberapa titik saat menyusuri sungai, kadang terdengar suara senso meraung dari dalam hutan.

Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), salah satu ninik mamak atau ketua adat Desa Tanjung Beringin, tidak bisa memungkiri jika ada satu atau dua kelompok masyarakat yang menjadi pekerja kayu. Menurutnya, mereka berbuat seperti itu tanpa ada maksud memusnahkan hutan. Faktor ekonomi, terutama sejak era pandemi mendesak masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemkab Kampar mencatat daerahnya merupakan kabupaten keempat termiskin di Riau, dengan jumlah penduduk di garis kemiskinan sekitar 15 ribu jiwa. Blok SM Bukit Rimbang Bukit Baling termasuk di dalamnya.

Dalam pandangan Genman, masyarakat yang melakukan pembalakan liar hanyalah suruhan. Bukan pelaku kunci. “Justru pelaku utamanya itu datang dari luar,” katanya.

Keterangan Teguh (22), motoris piyau yang membawa TelusuRI ke dalam kawasan, sedikit memperkuat pernyataan Genman. Pria asal Pangkalan Serai itu saat kecil sampai remaja sering menemani ayahnya menebang kayu berhari-hari di hutan Bukit Rimbang Bukit Baling. Hasilnya digunakan membiayai sekolah dan menghidupi keluarganya.

Ia bilang, ada pemodal atau pemain besar dari luar kawasan yang membiayai operasi pembalakan liar tersebut. Artinya, ada permintaan pasar yang besar. Entah dari Pekanbaru maupun kota-kota lain di sekitar Riau. Kini ayahnya sudah berhenti membalak, setelah beberapa tahun lalu kakinya patah karena tertimpa balok kayu di hutan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaan pemangku adat di setiap desa, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, berperan penting untuk menjaga kelestarian sungai dan hutan/Mauren Fitri

Mencari titik temu

Keterbatasan langkah di luar wewenang, personel pengawas di lapangan, dan pos anggaran untuk tanggung jawab pengelolaan dan upaya konservasi kawasan membuat BBKSDA Riau berada di posisi dilematis—jika bukan dibilang sulit. Di saat bersamaan tindakan-tindakan ilegal belum benar-benar berhenti, sementara masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling tetap harus bekerja untuk menyambung hidup.

Genman mengakui situasi tersebut. Ia mengungkapkan tiga cara atau strategi untuk mewujudkan perlindungan kawasan konservasi, sekaligus berupaya mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat. 

“Cara pertama itu persuasif,” terang mantan kepala BKSDA Aceh itu. Ia mengaku sudah banyak program diberikan. Baik oleh balai sendiri maupun kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan sejumlah lembaga masyarakat sipil. Salah satunya pemberian bantuan bibit jernang untuk dibudidayakan kelompok tani di setiap desa. Buah jernang dihasilkan dari tanaman jernang, yang merupakan komoditas HHBK. Dipercaya bernilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki pasar ekspor.

Para kepala desa dan ninik mamak (pemimpin adat) juga diajak untuk terus mengedukasi masyarakat. Terutama yang membuka lahan kelapa sawit luasan kecil, yang ia anggap tidak menguntungkan. Ia yakin masyarakat hanya coba-coba karena tergiur orang-orang kaya dari berkebun sawit di luar daerah mereka.  

“Kemudian dari sisi preventif juga kami lakukan melalui kegiatan patroli oleh polisi kehutanan (polhut),” lanjut Genman menjelaskan strategi kedua.

Untuk mengatasi terbatasnya personel polhut, BBKSDA Riau bekerja sama dengan Yapeka, anggota konsorsium Kerabat—bersama Forum Harimau Kita dan Indecon—melatih masyarakat yang menjadi dubalang (pengawal hutan adat), agar ikut serta dalam pengamanan kawasan konservasi. Harapannya bisa merespons perubahan sekecil apa pun sejak dini untuk tindak lanjut berikutnya.

Langkah terakhir untuk mengamankan kawasan konservasi adalah cara represif. BBKSDA bertindak bersama Balai Penegakan Hukum (Gakkum KLHK) dan aparat penegak hukum, seperti unsur TNI dan polisi. Saat ini bersama Yapeka sedang didiskusikan cara menjerat pelaku kunci dari luar kawasan, khususnya penyokong dana pembalakan liar. Pengumpulan bukti masih menjadi kendala.

“Saya enggak bisa sendiri melakukan itu, karena keterbatasan kewenangan dan sumber daya manusia,” ujar Genman, “tapi saya yakin, dengan kebersamaan semua pihak pasti bisa [teratasi].”

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria mengemudikan piyau yang mengangkut bilah-bilah petai untuk dijual ke Desa Tanjung Belit atau Gema. Petai merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang cukup ekonomis di SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Meski berat, asa menjaga keseimbangan konservasi dan ekonomi itu masih ada. Sebagaimana senandung Batimang, lagu pengantar tidur bayi di Tanjung Beringin yang lestari sampai sekarang. Meniup doa Ibu, petuah, dan harapan besar kepada sang anak di masa depan.

Begitu pun semestinya Bukit Rimbang Bukit Baling, yang harus dijaga bersama. Jangan sampai auman harimau sumatra berubah jadi raungan kepedihan. (*)


Foto sampul:
Jembatan gantung membentang di atas Sungai Subayang di Desa Tanjung Beringin, salah satu dari delapan desa yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar