Arah SinggahInterval

Benteng Terakhir Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser adalah satu-satunya di dunia yang menjadi rumah empat spesies mamalia besar hidup berdampingan, yaitu harimau, gajah, orangutan, dan badak. Tertekan perambahan hutan, perburuan satwa ilegal, dan pembalakan liar.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sekitar 4,3 kilometer dari jalan raya Desa Lau Damak, Bahorok, berdiri sebuah kandang lembu di tengah perkebunan kelapa sawit. Ukurannya 14 m x 15 m. Untaian kawat berduri saling mengikat antartonggak beton. Saat itu (24/09/2023) ada belasan lembu di kandang. Lehernya terikat di tiang-tiang kayu, yang menopang atap seng agar lembu terhindar dari panas dan hujan. Sebagian tampak asyik mengunyah pakan rumput yang tersedia, sementara sisanya memandang sekitar. Mungkin bertanya-tanya siapa kami beramai-ramai datang ke tempat tinggalnya.

Sepintas tak ada yang aneh dengan pemandangan itu. Namun, seketika bulu tengkuk kami turut meremang. Mata terus awas menyiratkan waspada. Deretan sawit tampak homogen dan membiaskan arah mata angin. Bukan apa-apa. Cerita Hendri Sembiring (33) pagi itu memaksa kami harus menyiapkan ancang-ancang ambil langkah seribu jika sang “Datuk” tiba-tiba datang.

“Kejadian dulu di bulan Mei tahun 2019. Pagi hari. Seperti biasa saya mau menggembalakan lembu. Karena kebetulan di sini memang biasanya pagi-pagi itu dipindah. Pas saya ke lokasi, tiba-tiba satu ekor enggak nampak. Pas dicari-cari rupanya ternak ini dimakan oleh harimau sumatra,” kenang Hendri dengan dialek Batak kental. Masih tersisa keterkejutan di raut wajahnya, karena satu dari total tujuh ekor lembu miliknya meregang nyawa.

Hendri menunjuk lokasi harimau memakan lembu. Hanya sepelemparan batu dari pintu kandang. Di antara tegakan sawit. Bekas serangan yang berlangsung malam hari tampak jelas. Tubuh bagian belakang lembu tersebut terkoyak. Bau prengus dan anyir beradu. Jejak darah yang tertinggal masih segar. 

Tempat kejadian perkara berada di radius 2—3 kilometer dari batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser. Harimau sumatra seakan paham ada calon mangsa empuk, walau harus mengambil risiko di luar “zona nyaman”. Ini bukan berarti ketersediaan pakan di dalam hutan habis. Bisa jadi karena habitat atau ruang geraknya sedikit terusik dengan gangguan lainnya, seperti perburuan liar atau perambahan hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri Sembiring, pemilik ternak lembu/Mauren Fitri

Seperti membaca kekhawatiran kami, Hendri buru-buru memberi jaminan. Harimau sumatra umumnya aktif saat malam. Tanpa bermaksud menyepelekan, Hendri mengonfirmasikan jarang terjadi konflik satwa saat hari terang. Lembu-lembu yang sudah digembalakan pun akan dimasukkan kembali ke kandang saat sore. Keberadaan kawat duri yang menjadi tameng jelas lebih manjur dan menambah rasa aman ketimbang pagar kayu biasa.

Kalau memang terpaksa harus berhadapan dengan harimau, pilihan kami ada dua saat itu. Lari ke mobil yang parkir agak jauh dari lokasi wawancara atau masuk ke kandang. Rasanya pilihan kedua lebih masuk akal sambil mencari bala bantuan lewat telepon.

Beruntung kejadian tersebut adalah yang pertama dan terakhir dialami Hendri. Meski kadang masih terlihat jejak harimau berkeliling kandang, tetapi harimau tidak bisa masuk. Sekalipun lembu panik hingga tali di lehernya terlepas, lembu tidak akan bisa keluar kandang. Kini sekretaris Desa Lau Damak itu memiliki 22 ekor lembu yang bisa dijual utuh maupun diambil dagingnya. Kotoran yang dihasilkan juga berguna sebagai pupuk kandang alami yang menyuburkan kebun sawit milik keluarganya.

Kandang lembu milik Hendri merupakan salah satu program percontohan penerapan kandang Tiger Proof Enclosure (TPE). Tujuannya meminimalisasi konflik harimau sumatra dengan ternak warga. Hendri bukan satu-satunya. Ada beberapa peternak yang mendapatkan bantuan kandang TPE tersebut. Hasil kemitraan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dengan BKSDA Sumatra Utara, dan lembaga nonprofit Wildlife Conservation Society (WCS). Meskipun bisa menyampaikan usulan bantuan, beberapa warga pemilik ternak di kawasan penyangga juga didorong untuk membuat kandang serupa secara mandiri.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri mengoleskan pelumas ke kawat-kawat duri untuk perawatan kandang TPE berkala/Mauren Fitri

Pembangunan kandang TPE merupakan jalan tengah yang terbilang konkret dan realistis. Masyarakat sudah menyadari akan menjalani hidup berdampingan dengan predator puncak tersebut. Pun lahan yang ditinggali atau dijadikan ladang perkebunan dan peternakan dahulu juga merupakan area hutan. Habitat satwa endemik. Kesadaran ini penting dan akan meringankan beban taman nasional.

Setidaknya “Datuk” tak lagi dianggap hama. Begitu halnya dengan tiga mamalia besar lain, yakni gajah, orangutan, dan badak. Karena sesungguhnya ada satu hama lagi yang jauh lebih berbahaya.

Tantangan di balik semboyan

Konflik satwa bukanlah satu-satunya ancaman yang mengintai ternak, manusia, maupun kawasan itu sendiri. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P. (51), menjelaskan ada dua aktivitas ilegal besar lainnya yang bisa menekan eksistensi kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan dan pembalakan liar. “Mereka memberikan alasan yang selalu klasik. Alasan kelaparan. Masalah perut, masalah perut, dan masalah perut.”

Di antara taman-taman nasional yang ada di Indonesia, posisi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memang terbilang sangat strategis dan seksi. Selain sebagai taman nasional, TNGL juga menyandang status cagar biosfer sejak 1981 dan ASEAN Heritage Park sejak 1984. Dengan luas kawasan 830.268,95 hektare—sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 6589/Menhut-VII/KUH/2014 dan SK. 4039/Menhut-VII/KUH/201—empat mamalia ikonis hidup berdampingan, yakni harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas maximus), orangutan sumatra (Pongo pygmaeus abelii), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Belum lagi bicara soal keanekaragaman hayati dan nilai-nilai penting lainnya—ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan. TNGL juga menyediakan sumber air dan oksigen yang menghidupi sedikitnya 340 desa penyangga di Provinsi Aceh maupun Sumatra Utara.

Tidak heran bila banyak motivasi atau kepentingan tertentu masuk kawasan. Lembaga-lembaga nonprofit, mulai dari skala lokal, nasional, hingga internasional; bermitra dengan taman nasional untuk melaksanakan sejumlah program. Umumnya bergerak di bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. 

Namun, tak sedikit yang punya agenda terselubung. Nilai tinggi taman nasional mengundang bahaya yang bisa berdampak buruk. Jumlah kayu yang diambil memenuhi bak-bak truk besar. Membuka lahan hutan berhektar-hektar untuk perkebunan. Menjual tanah dan menanam kelapa sawit di lahan konservasi. Harimau, gajah, orangutan, dan badak diburu serta dijerat. Skala pengrusakan seperti itu tidak mungkin kalau hanya karena dalih mencari makan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, U. Mamat Rahmat, ketika ditemui di ruang kerjanya/Mauren Fitri

“Sebenarnya ada juga orang yang ingin memperkaya diri bahkan [melakukannya karena] hobi. Dan ini yang bahaya,” ujar mantan kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon itu.

Upaya-upaya represif sempat dilakukan. Pelaku-pelaku aktivitas ilegal tersebut ditangkap dan dipenjarakan. Namun, ternyata tidak memberikan efek jera. Aktivitas ilegal tetap berlangsung. Kucing-kucingan dengan petugas kerap terjadi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya jadi habitat flora dan fauna, tetapi juga taman bermain buat perusak hutan itu. 

Maka strategi pun berubah. Jika sebelumnya berorientasi menjaga hutan baru memikirkan masyarakat, kini berusaha sebaliknya. Mengedepankan hajat hidup masyarakat terlebih dahulu, sehingga otomatis kelestarian hutan akan terjaga dengan sendirinya. Pendekatan ini bernaung dalam moto yang Mamat Rahmat sebut “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga”.

Semboyan itu pernah ia sampaikan kepada TelusuRI dalam wawancara virtual melalui Zoom (28/03/2023). Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, seperti yang kini terlihat di Bukit Lawang dan Tangkahan. Ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang bisa mencegah masyarakat merusak hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Seorang elephant keeper sedang memandikan dua ekor gajah sumatra penghuni Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, yaitu Sari (atas) dan anaknya, Boni, saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung Tangkahan (sisi kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

“Kami berharap, wisatawan masuk ke kawasan TNGL itu hanya untuk melihat [objeknya] saja. Aktivitas buang duitnya ada di masyarakat, [di] luar kawasan. Sehingga peningkatan kesejahteraan, peningkatan lapangan kerja naik. Daya beli masyarakat bisa tercapai. Jangan bikin hotel di TNGL, saya nggak setuju. Banyak hotel di sekitar kawasan TNGL, saya setuju,” tegasnya.

Pendekatan seperti itu sesuai dengan pernyataan Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK 2017—2022, dalam bukunya Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar”. Masyarakat merupakan subjek utama yang terlibat dalam berbagai pengelolaan kawasan konservasi. Selain ekowisata, memfasilitasi dan melakukan pendampingan dalam pembuatan kandang TPE juga merupakan satu contoh dari sekian implementasi program Balai Besar TNGL yang berbasis masyarakat. 

Tantangan yang dihadapi tentu besar. Belum lagi gejolak yang mungkin timbul di daerah-daerah penyangga. Tak terkecuali keterlibatan oknum aparat dari satuan tertentu, yang juga ikut bermain dalam aktivitas-aktivitas ilegal tadi. Seluruh pasang mata rimbawan TNGL tak akan sanggup mengawasi kawasan konservasi seluas hampir satu juta hektare itu. 

SPY SERASI

Mamat Rahmat butuh lebih dari sepasang tangan dan kaki untuk mewujudkan mimpi besar “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga.” Ia dan jajarannya bergerak cepat. Di hari yang sama saat kami melakukan perjalanan ke Medan (20/09/2023), TNGL bersama Wildlife Conservation Society menggelar deklarasi bersama sekaligus meluncurkan program pencegahan aktivitas ilegal yang dilakukan secara terintegrasi berbasis masyarakat (SPY SERASI). Sebuah program dengan pendekatan Integrated Prevention Model (IPM) atau model pencegahan terintegrasi.

Wajah harimau menjadi simbol utama dalam logo SPY SERASI tersebut. Secara harfiah, kata “SPY” dalam bahasa Inggris berarti mata-mata. Filosofi dasarnya adalah TNGL harus menjadi mata-mata untuk memotret semua kondisi yang ada di masyarakat dan hutan. Keinginan Mamat Rahmat, “Kita harus jeli melihat permasalahan. Jangan hanya dari permukaan. Nah, kenapa harus harimau? Karena itu satwa yang memang jeli dengan penglihatannya dalam mencari mangsa. Di saat gelap pun di malam hari dia bisa melihat mangsanya. Jadi, kejelian. Itulah yang saya jadikan sebagai dasar trigger.

Alumnus S-3 IPB itu menambahkan, tujuan menjadi mata-mata dalam memotret seluruh kehidupan masyarakat dan seluruh permasalahan di hutan tak lain untuk mencari solusi. Mencari akar masalah, bukan yang terlihat di permukaan semata. Ibarat orang sakit kepala, yang sakit belum tentu kepalanya. Bisa jadi karena lambung atau jantungnya bermasalah. Begitu pun ketika berhadapan dengan penebang hutan atau pemasang jerat hewan. Penyebabnya bisa jadi karena kemiskinan struktural. “Ketika kita cepat mendeteksi akar masalahnya tadi [dan] diagnosisnya bagus, maka penanganan yang diberikan akan tepat.”

Program SPY SERASI lebih menekankan pada upaya preventif daripada kuratif. Mencegah dari sakit jauh lebih baik dibanding mengobati. Sehingga ia mengakui jika pada beberapa kasus ringan—misal mencuri satu atau dua batang pohon—akan melakukan pendekatan yang lebih lunak. Menyentuh kesadaran. Mamat Rahmat menganalogikan orang yang terkena sakit jantung. Ketika sudah telanjur parah dan harus diobati, jelas membutuhkan biaya tinggi. Padahal dengan pencegahan sebenarnya akan menjadi lebih ringan. Tinggal menjaga pola makan dan pola hidup kita. “Pola [seperti] ini yang sedang kita coba,” kata pria asli Garut itu.

Beberapa peserta deklarasi program yang diundang antara lain mewakili Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Sumatera, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dan Polda Sumatera Utara. Kemudian Polres Langkat, Polres Deli Serdang, Polres Tanah Karo, KODIM 0204 Deli Serdang, KODIM 0205 Tanah Karo, Kejaksaan Negeri Langkat, Kejaksaan Negeri Deli Serdang, Kejaksaan Negeri Karo, Pengadilan Negeri Langkat, Pengadilan Negeri Kabanjahe, Pengadilan Militer Tinggi I Medan, UPT KPH Wilayah XV Kabanjahe, dan UPT KPH Wilayah I Stabat.

Benteng Terakhir Leuser
Bagian depan kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara/Rifqy Faiza Rahman

Kehadiran peserta dari lintas sektor menunjukkan pentingnya kolaborasi untuk sebuah tujuan besar. Jika sebelumnya menggunakan konsep “pentahelix”—merangkul unsur pemerintahan (pusat dan daerah), pelaku usaha, akademisi, lembaga nonpemerintahan (NGO), dan masyarakat atau komunitas—Mamat Rahmat menambahkan satu stakeholder lagi, yaitu media. Enam unsur berkolaborasi yang disebut “hexahelix”.

“Media harus mulai terlibat. Karena kerja kita itu harus dipublikasikan, ya. Sampaikan ke dunia luar bahwa kita punya program ini,” jelasnya. Namun, masyarakat atau komunitas tetap menjadi pondasi dasar implementasi SPY SERASI. Masyarakat akan menjadi unsur terdepan yang terlibat ketika pengelola kawasan—dalam hal ini TNGL—hendak melaksanakan program pengelolaan, di antaranya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, pengendalian kebakaran, penanggulangan konflik satwa, hingga pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.

TNGL akan menyusun rencana aksi SPY SERASI ke tiga periode, yakni jangka pendek (dua bulan), menengah (satu tahun), dan panjang (tiga tahun). Mamat Rahmat memastikan TNGL akan melakukan evaluasi menyeluruh di setiap akhir periode, termasuk mengukur signifikansi dampak program terhadap penurunan tiga besar aktivitas ilegal seperti ia sebut sebelumnya. 

Pada akhirnya, prestasi terbaik dari pelaksanaan program ini adalah terbentuknya kesadaran penuh semua pihak terhadap pentingnya peran kawasan konservasi. Makna semboyan “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga” pun akan benar-benar relevan untuk siapa pun. 

Leuser untuk anak cucu

Sebelum menjelajahi sejumlah area penyangga TNGL, kami sempat berkunjung ke kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat. BPTN Wilayah III bertanggung jawab terhadap pengelolaan 205.355,12 hektare kawasan TNGL di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Di kantor ini kami diizinkan menggunakan ruang rapat untuk tempat menginap. Gedung kantor lumayan besar dan lapang. Selain ruang rapat, terdapat ruang kepala bidang dan ruang staf. Pekarangannya luas. Ditambah bangunan mes pegawai di halaman belakang. Banyaknya pohon dan semak membuatnya seperti berada di dalam hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, ketika diwawancarai di ruang kerjanya setelah apel pagi/Mauren Fitri

Siang itu (21/09/2023) tidak banyak yang siaga di kantor. Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, S.P., M.H., dan beberapa kepala seksi lainnya sedang berada di Medan. Mengikuti rangkaian acara sosialisasi dan deklarasi SPY SERASI yang diikuti peserta lintas perangkat pemerintahan. Hanya ada satu petugas piket dan Bowo, pegawai fungsional bidang program, anggaran, dan kerja sama yang akhirnya berbincang cukup lama dengan kami. 

Pria keturunan Jawa itu banyak berbicara soal suka duka bekerja di dunia konservasi. Sebuah bidang pekerjaan yang tidak bisa dianggap enteng. Tanggung jawab dan tantangannya berat, sementara sumber daya yang tersedia terbatas. Benar-benar pengabdian yang perlu dapat imbalan sepadan. Bertaruh nyawa menghadapi keganasan alam liar hingga manusia-manusia pemburu dan perusak hutan. 

Barangkali mencari nafkah di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem memang pekerjaan mulia. Selain gaji dan syukur-syukur dapat penghargaan sebagai bentuk apresiasi, rasanya tak mungkin hutan dan satwa itu akan gamblang berterima kasih kepada para rimbawan. Sampai-sampai Bowo mengutip surah Al Baqarah ayat 30, tentang firman Allah SWT yang menciptakan manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Mengatur bumi dan seisinya. Dengan sedikit berseloroh ia berujar, “Kalau tafsiran saya, ya, [manusia] yang [layak bekerja] mengurus bumi itu orang-orang kehutanan!”

Istilah Bowo, perlu kesadaran spiritualitas untuk bekerja penuh integritas di dunia konservasi. Termasuk di dalamnya petugas, masyarakat maupun lembaga mitra kehutanan. Dalam kacamata kami, jangan-jangan orang-orang seperti ini yang kelak pantas masuk surga terlebih dahulu. Tak terkecuali kiprah Joni Rahman dan para mahout setia untuk sembilan gajah di Tangkahan, Misno dan pasukan patroli hutannya di Resor Bahorok, hingga Hatuaon Pasaribu yang nyaring menggalakkan komitmen Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK).

Karena saat ini uang bisa menjadi kuasa terbesar manusia untuk melakukan apa saja. Menyebabkan gelap mata: membuka lahan-lahan konservasi untuk perkebunan ilegal, memburu satwa tanpa pandang bulu, dan merambah hutan secara ngawur. Lupa bahwa hutan telah memberikan segalanya. 

Hingga kini, TNGL memang belum sepenuhnya terbebas dari kegiatan ilegal. Empat mamalia besar nan eksotis, seberapa pun banyak dan buasnya, tak akan sanggup membendung kerakusan manusia. Padahal manusia semestinya bisa berbuat lebih dan mengerahkan segala kekuatan untuk melindungi sumber kehidupan di dalam taman nasional. Tak bisa menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme alam—sekalipun memiliki kemampuan memulihkan diri secara alami. Harus ada campur tangan manusia. Mesti ada intervensi taman nasional selaku pemangku kawasan. Tak ada jalan lain. Kitalah benteng terakhir Leuser itu sendiri.

Namun, seperti kata Mamat Rahmat, TNGL tidak akan bisa melangkah sendirian menyejahterakan masyarakat sekaligus menjaga ekosistem Leuser. Butuh kerja keras dan dukungan semua pihak agar program yang dicanangkan berhasil.

“Mohon doanya semoga program ini [SPY SERASI] dapat berjalan dengan baik. Sehingga kita bisa mewariskan alam ini kepada generasi yang akan datang. Atau, kita harus kembalikan alam ini kepada pemiliknya, yaitu anak cucu kita. Karena alam ini bukan warisan, tetapi titipan dari anak cucu kita. Harus kita kembalikan,” pungkasnya.

Leuser bahkan bukan hanya warisan dunia semata, melainkan juga warisan Tuhan untuk dijaga demi kemaslahatan bersama. Kita belum terlalu terlambat untuk bergerak, sebelum semuanya akan benar-benar terlambat. (*)


Foto sampul:
Mahout sedang mengangon seekor gajah sumatra di hutan sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan. Kawasan ini merupakan batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser di tepi Sungai Batang Serangan, Langkat, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang