Arah SinggahInterval

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Berkemah di Pulau Tonga merupakan salah satu daya tarik wisata andalan Tanjung Belit. Desa ini merupakan akses utama menuju desa-desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Selama ini, kegiatan ekowisata yang sudah berjalan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau, kebanyakan terpusat di Desa Tanjung Belit. Wilayah yang jadi gerbang masuk menuju suaka margasatwa tersebut memang memungkinkan eksplorasi potensi wisata secara maksimal. Selain bukan sepenuhnya kawasan konservasi, Tanjung Belit adalah desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan bermotor, serta terhubung jaringan internet seluler dan listrik PLN.

Pengembangan ekowisata di Tanjung Belit mendapatkan bantuan pendampingan dan pelatihan dari sejumlah organisasi nirlaba, di antaranya para anggota konsorsium KERABAT—terdiri dari Yapeka, Forum Harimau Kita, dan Indecon. Salah satu hasilnya adalah keberadaan homestay warga dan penyediaan paket wisata berbasis masyarakat. 

Menurut Mansyur, bendahara kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tanjung Belit, sebenarnya potensi wisata di Tanjung Belit banyak. ”Cuma yang di sini tampaknya agak bisa berjalan, [yaitu] potensi alami air terjun Batu Dinding dan perkemahan di Pulau Tong,” ungkapnya.

Sementara situasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling berbeda. Krusialnya fungsi ekologis hutan hujan dataran rendah dan Sungai Subayang untuk kelangsungan makhluk hidup di Riau dan Sumatra bagian tengah, menjadikan penerapan ekowisata secara terbatas harus dilakukan penuh kehati-hatian. 

Sejauh ini memang belum ada izin khusus dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau kepada pelaku atau operator khusus untuk mengelola potensi jasa lingkungan. Namun, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), membuka pintu kesempatan itu sebagai salah satu upaya alternatif pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan melalui kerja sama dengan organisasi nirlaba dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Tentu dengan tetap memerhatikan rambu-rambu kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, keterbatasan yang ada tidak menutup fakta yang sama pentingnya. Beberapa desa di dalam maupun luar kawasan memiliki potensi daya tarik ekowisata. Mulai dari sektor alam, budaya, kerajinan tangan, hingga kuliner. Selain inisiatif warga secara turun-temurun, program pelatihan dan pendampingan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan penting menggali dan memetakan potensi ekonomi alternatif yang ramah lingkungan.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Ekowisata alam

Wisata alam adalah daya tarik terbesar di SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Baik di dalam maupun luar kawasan. Jika memasuki kawasan, perlu terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di BBKSDA Riau. Di Muara Bio terdapat sebuah kantor resor yang biasanya melakukan pengecekan kunjungan wisatawan.

Tanjung Belit sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk menuju SM Bukit Rimbang Bukit Baling, memiliki destinasi wisata alam unggulan, yakni air terjun Batu Dinding. Hanya perlu trekking selama 10—15 menit untuk tiba di air terjun utama. Air terjun ini berada di tengah hutan adat Tanjung Belit, yang vegetasinya cukup rapat. 

Indra Rius (30), dubalang pemuda Tanjung Belit, mengatakan bahwa keragaman burung di hutan tersebut cukup bagus. Ia sempat memotret sejumlah spesies, antara lain julang emas, kangkareng hitam, elang, dan burung-burung kecil. Bagi wisatawan penggemar birdwatching, hutan adat Tanjung Belit bisa jadi sasaran menarik untuk mengamati burung bersama pemandu.

Sementara di dalam kawasan, Desa Tanjung Beringin memiliki potensi ekowisata bernuansa petualangan di puncak Bukit Sakti. Menurut Bang Zul, salah satu warga, jarak pendakian ke bukit tersebut sekitar 2,5—3 jam jalan kaki dari kampung. Rutenya melewati makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih yang menanjak. Sepulang dari berkemah di puncak bisa mampir ke Tumulun, sebuah kolam alami di Sungai Dekwak. Aliran sungai ini bertemu dengan Sungai Subayang di bawah jembatan desa. 

Jika bingung akan pergi ke desa mana, salah satu cara seru untuk menikmati alam sekaligus menguji adrenalin adalah dengan menyewa piyau. Susur Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke arah hulu sejauh tak kurang dari 36 kilometer atau 3—4 jam perjalanan.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah warga Tanjung Beringin menaiki piyau untuk mengikuti prosesi sema rantau, tradisi leluhur yang bertujuan menolak bala dan memohon kepada Allah SWT agar kampung aman dari gangguan dan diberi keberkahan/Astin Atas Asih

Ekowisata budaya 

Seluruh desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17 atau 18. Desa Batu Songgan menjadi ibu kota Kekhalifahan Batu Songgan, yang membawahkan kenagarian-kenagarian (setara desa) di sekitarnya.

Unsur historis tersebut merekatkan adat yang diwariskan turun-temurun. Masing-masing desa memiliki ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat) untuk menjaga kelestarian adat dari nenek moyang. Menurut Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin, ketentuan adat bisa menjadi pegangan masyarakat sehari-hari. Tujuannya agar tercipta harmoni antara manusia dan alam sekitar tempat mereka hidup.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke permukaan Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan di Batu Songgan/Vita Cecilia Chai

Saat ini beberapa tradisi lokal telah menjadi kalender wisata rutin yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik dari daerah Kampar maupun di luar Riau. Salah satu tradisi yang masih terjaga dan ramai diburu warga dan wisatawan adalah pembukaan lubuk larangan yang dilaksanakan sekali dalam setahun di desa masing-masing. Lubuk larangan adalah tempat berkumpulnya ikan-ikan Sungai Subayang dan masyarakat dilarang mengambilnya selama periode tersebut. Panen raya, penangkapan tradisional, dan pelelangan baru dilakukan ketika sudah tiba waktunya sesuai kesepakatan ninik mamak dan masyarakat. 

Selain itu wisatawan juga bisa belajar kebudayaan yang ada di setiap desa. Contohnya, di Tanjung Beringin. Di desa ini ibu-ibu masih melakukan Batimang (menimang-nimang sebelum tidur) untuk anaknya yang baru lahir, serta memiliki calempong, perangkat musik semacam gamelan.

Marianum (kanan), warga Tanjung Beringin, mempraktikkan senandung Batimang/Deta Widyananda

Seni kriya pandan di Batu Songgan

Di Batu Songgan, ibu-ibu tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto yang memproduksi kerajinan anyaman pandan. Dari 12 anggota aktif, TelusuRI menemui delapan orang yang berkumpul di rumah Rumiati. Saat itu tersedia beberapa produk jadi, antara lain topi, peci, tikar tidur, tikar sajadah, tas jinjing, dan gantungan kunci. Harganya bervariasi, tergantung jenis produk, ukuran, dan kerumitan motif. Misalnya, tikar untuk tidur Rp150.000, lalu topi berkisar Rp40.000—75.000.

Berdasarkan cerita Lenriani, salah satu anggota, pembuatan kerajinan anyaman rumbai atau pandan bermula karena keadaan susah dan serba terbatas yang dialami para orang tua zaman dahulu. Ketika berkebun atau bertani, terasa panas kena matahari karena tidak ada pelindung kepala. Lalu muncullah ide mengolah daun pandan menjadi topi. Begitu pun dengan tas kantung tempat ikan atau beras, dompet sebagai wadah uang atau barang, hingga tikar untuk alas tidur.

Produk kerajinan KWT Pulau Koto mengalami pengembangan setelah diberi pelatihan dari konsorsium KERABAT. Dari yang semula mencukupi kebutuhan sendiri, sekarang bisa dijual dan menghasilkan pendapatan untuk masyarakat. Mereka memanfaatkan bahan baku rumbai yang mudah didapat di hutan dekat rumah. Selain pandan, KWT Pulau Koto juga membuat produk dari rotan. 

Tantangan yang dihadapi beragam. Regenerasi pengrajin—tidak semua perempuan atau anak muda mau menganyam, faktor cuaca yang menghambat proses penjemuran daun pandan, dan lamanya pembuatan, karena menunggu motif sesuai keinginan pemesan. Kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga juga menyita waktu membuat kerajinan.

Jelajah pangan lokal Tanjung Beringin

TelusuRI mencicipi kuliner lokal ketika tinggal dua malam di Tanjung Beringin. Kami menginap di rumah Tahtil yang bersebelahan dengan rumah Datuk Pucuk. Ia bersama suami dan anaknya tinggal seatap dengan Roainah atau Mak Dang, kakak Tahtil, dan suaminya.

Yang menarik, bahan-bahan penyusun masakannya diambil dari tanaman di sekitar hutan dekat kampung. Sayuran yang sering digunakan berupa tanaman pakis untuk lalapan, biasa diramban dari kebun liar sekitar rumah. Lauk utama masyarakat Tanjung Beringin adalah ikan air tawar yang banyak tersedia di Sungai Subayang. Jika ingin memasak daging ayam, tahu, atau tempe, maka harus belanja terlebih dahulu ke pasar di kecamatan. Atau, menunggu kehadiran pedagang pasar keliling pakai piyau yang datang sekali dalam seminggu ke arah hulu.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Salah satu menu yang sempat kami cicipi adalah ompok (asam padeh) buntut ayam. Masakan khas Kampar, Riau dari olahan buntut ayam. Penyajiannya buntut ayam dibakar, lalu ditambahkan bumbu cabai dan bawang goreng yang sudah digoreng dan diulek. 

Kemudian ada sigham, olahan dari bakaran ikan salai yang sudah kering. Bumbunya sederhana. Hanya dengan mengulek sedikit cabai, bawang putih, dan dicampurkan ke ikan salai, lalu digoreng dengan sedikit minyak. Sebagai pelengkap, disediakan pula sayur ubi rebus.

Dan masih banyak lagi. Menikmati pangan lokal di satu tempat saja rasanya memanjakan perut. Apalagi di desa-desa lain dengan ciri khas masing-masing. Kekayaan kuliner setempat bisa menjadi nilai tambah yang membantu perekonomian masyarakat.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Peluang optimasi energi terbarukan

Sampai sekarang desa-desa di dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling mengandalkan sumber energi terbarukan, karena tidak ada jaringan listrik PLN. Salah satu yang masih berjalan baik adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Batu Songgan. 

Iwandra, pengurus PLTMh Batu Songgan, pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan PLTMh pada 2008. Akan tetapi, belum satu bulan sudah macet dan mati total selama tujuh tahun. Sampai kemudian 2015 diperbaiki dan berfungsi kembali.

Listrik menyala optimal tatkala air sungai sedang pasang, biasanya saat musim hujan besar. Dayanya lebih besar ketimbang PLTS, sehingga masyarakat bisa memiliki kulkas dan mesin cuci. Jika air sedang surut, maka penggunaan listrik dibatasi selama setengah hari dari petang sampai tengah malam. 

Biaya operasional PLTMh berasal dari iuran warga atau per kepala keluarga pemilik rumah yang dialiri listrik. Tarifnya Rp30.000 setiap bulan. Uang itu masuk kas PLTMh sebagai unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya bisa diputar kembali untuk masyarakat dalam bentuk bantuan sosial maupun pembangunan sarana-prasarana kampung.

Salah satu kendalanya adalah letak PLTMh cukup jauh dari kampung. Jika terjadi masalah teknis pada turbin, masyarakat harus naik piyau ke lokasi. Pengurus berharap bisa dibangun jembatan gantung agar aksesnya lebih mudah dan penanganannya cepat. Selain itu Iwandra menitip pesan kepada masyarakat agar menjaga kedalaman Sungai Subayang, dengan cara merawat hutan agar tidak ada kayu terbuang dan bisa membuat sungai mengalami pendangkalan.

Tantangan pengembangan

Pengembangan potensi ekonomi alternatif ramah lingkungan di wilayah konservasi memang tidak segampang menyusun program di wilayah nonkonservasi. Apalagi kawasan dengan fungsi ekologis sepenting SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Jika mengikuti peraturan yang berlaku, maka akan menyadari rambu-rambunya cukup ketat.

Aksesibilitas yang hanya melalui jalur sungai bisa menjadi kendala mobilitas. Jauh dari mana pun. Sepenuhnya bergantung pada cuaca dan pasang-surut sungai. Namun, sisi baik dari kondisi ini bisa menyaring pengunjung—di luar warga setempat—agar tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan. Penduduk di dalam kawasan suaka margasatwa perlu menjalin koordinasi dengan masyarakat desa penyangga, Tanjung Belit dan Gema, agar sama-sama menjaga kawasan.

Ritme kolaborasi BBKSDA Riau selaku pemangku kawasan, pemerintah kabupaten, para organisasi nirlaba atau LSM lain seolah berkejaran dengan waktu. Sebab di saat yang sama aktivitas ilegal di dalam kawasan terus berlangsung, terutama pembalakan liar dan perambahan hutan.

Para pemangku kepentingan tidak bisa berjalan sendirian. Dalam perannya masing-masing, sesuai kewenangan yang dimiliki, perlu ada keselarasan visi di program atau kebijakan yang dikerjakan. Masyarakat lokal perlu pendampingan dan dukungan berkelanjutan. Terlalu sayang rasanya jika suara orang yang peduli hutan kalah dengan tetangga sekitarnya yang berkarakter sebaliknya. Walau untuk alasan ekonomi sekalipun.

Pendekatan ekowisata, kriya, dan pangan lokal sebagai sumber ekonomi alternatif ramah lingkungan hanyalah satu upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Tujuan besar dari sebuah program pemberdayaan adalah kesadaran penuh masyarakat terhadap fungsi kawasan, serta kemauan untuk kreatif dan berdaya saing.

Kuncinya bukan tergantung di salah satu pihak semata. Kuncinya ada di semua pihak. Duduk bersama. Berpikir dan beraksi bersama untuk keseimbangan konservasi dan ekonomi SM Bukit Rimbang Bukit Baling. (*)


Foto sampul:
Astin Atas Asih (kiri), fasilitator lokal dari Indecon—anggota konsorsium KERABAT—mendampingi ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto Batu Songgan dalam pembuatan produk lokal unggulan di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Benteng Terakhir Leuser