Saat ini penggunaan media sosial untuk menyampaikan sebuah berita dan cerita sudah biasa dilakukan oleh banyak orang. Seringkali masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan informasi dan mempelajari suatu isu melalui visual fotografi. Namun, untuk bisa membuat photo story yang baik dan menarik, butuh kemampuan yang cakap dalam mengamati objek, memahami cerita, berdialog dengan subjek dan menuangkannya ke dalam bentuk visual serta tulisan.

Oleh karena itu, TelusuRI mengadakan “Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storytellersecara daring, Sabtu, 17 Juni 2023,  sebagai wadah untuk belajar bagaimana menafsirkan visual, menuliskan pengamatan serta pengalaman pada setiap perjalanan. Narasumber dalam kelas ini adalah Anggertimur Lanang Tinarbuko, seorang creative storyteller yang berbasis di Yogyakarta. Adapun Novrisa Briliantina dari TelusuRI menjadi moderator acara. Peserta yang hadir dalam webinar berdurasi 1 jam 30 menit itu mencapai 45 orang yang berasal dari latar belakang dan daerah berbeda-beda.

Sekolah TelusuRI kali ini merupakan bagian dari “Perjalanan Lestari”. Sebuah program inisiasi TelusuRI yang bertujuan meningkatkan blue carbon dan membantu menghambat peningkatan panas bumi. Setiap registrasi dari peserta berarti telah memberikan kontribusi berupa donasi pohon mangrove untuk pesisir Bedono, Demak, Jawa Tengah.

Langkah Awal Menjadi Creative Storyteller

Usai memperkenalkan diri dan portofolio yang sangat menarik, Angger, sapaan akrabnya, langsung tancap gas. Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu menegaskan seorang pencerita kreatif harus menguasai sejumlah keterampilan fundamental. Ia menyebut ada empat aspek dasar, yaitu membaca, menulis, media, dan storytelling. Seluruh keterampilan tersebut berawal dari kemauan mengumpulkan bahan dengan baik (riset).

Karena fokus kelas kali ini tentang cara membuat cerita foto (photo story), Angger memberi beberapa contoh karyanya. Salah satunya adalah photo story bertema Bali dengan judul “Mengeja Tanah Dewata”. Sebagai orang dari luar Bali—Angger tinggal di Yogyakarta—ia memandang penting untuk riset terlebih dahulu sebelum membuat karya. Tujuannya adalah menghindari kesalahan persepsi dan data seputar tema yang akan digali. Biasanya Angger mengandalkan jaringan pertemanan lokal yang ia miliki, serta mempelajari bahasa setempat untuk bumbu komunikasi.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Seorang pencerita kreatif harus mau riset dan menggali banyak bahan untuk ceritanya/Anggertimur

Selain riset, menurut Angger, harus berpikir pula cara pendekatan dengan sumber-sumber cerita. Interaksi yang sopan dan luwes akan memudahkan pembuat karya mendapatkan cerita. Lebih gampang saat memotret, sehingga hasilnya sesuai dengan rencana dan kemauan. Pun, agar tidak terjadi pengulangan, penting untuk fokus dan taat pada angle atau sudut pandang cerita yang akan diangkat.

Selanjutnya, tak kalah penting untuk teliti dan detail pada hal-hal teknis. Misalnya, urusan editing, yang mencakup pengaturan warna foto, tata letak publikasi (tergantung kebutuhan media tujuan), hingga memilih foto yang menjadi sampul untuk memikat audience atau pengikut media sosial. Terakhir, memmbuat narasi atau menuliskannya sebagai pengiring cerita.

Angger mengingatkan, fotografi tidak hanya sekadar memerhatikan visual atau estetika semata. “Bukan perkara cerita yang kompleks serta visual yang memesona, tetapi bagaimana menghadirkan cerita yang dekat dan dapat dirasakan pembacanya,” kata mantan jurnalis Kompas dan The Jakarta Post itu.

Aspek-aspek Penting dalam Visual Storytelling

Dalam visual storytelling, terdapat beberapa hal penting yang harus menjadi pagar saat berkarya. Menurut Angger, setidaknya seorang creative storyteller mesti mempertimbangkan lima faktor, yaitu alasan membuat karya, profil atau segmentasi audience, media yang digunakan, angle atau sudut pandang, dan dampak yang mungkin timbul.

Melalui visual storytelling, seorang pencerita bisa menyampaikan pesan bermakna filosofis dalam foto-fotonya. Angger coba mencontohkan dengan menampilkan sebuah foto menarik. Di foto tersebut, tampak dua pria dan seorang perempuan berpakaian adat khas Bali, melakukan ritual Melasti di pesisir salah satu pantai di Pulau Dewata. Prosesi ini berlangsung sebelum Nyepi. Kontras dengan umat Hindu tersebut, ada satu anak kecil tertangkap lensa berlari ke arah si fotografer. Pesan yang ingin Angger sampaikan adalah segala hal yang jelek dalam diri dibuang ke laut, lalu berharap kembali suci atau bersih yang disimbolkan dengan anak tersebut.

  • Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
  • Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur

Visual storytelling berarti menenun keterkaitan tanda-tanda yang terhimpun dalam sebuah narasi visual yang bercerita. Satu lagi yang tak kalah penting adalah relevansi tema cerita dengan audience. Orang umumnya akan tertarik pada kisah yang diangkat seorang creative storyteller, karena pernah, tengah, akan, atau ingin dialaminya. Contohnya, foto-foto tradisi cekok jamu ala Jawa. Beberapa pengikuti Angger di Instagram merasa memiliki keterikatan dan terlontar memorinya ke masa kecil. Dalam bahasa terkini: relate.

Topik cerita apa pun, dengan narasumber siapa pun, pasti bisa menjadi cerita menarik. Tidak perlu kamera mahal untuk merekamnya. Bagi Angger, kamera hanyalah instrumen semata. Bahkan handphone justru menjadi alat yang bisa jadi andalan karena ringkas dan tidak mencolok.

Namun, ia mengingatkan, “Hati-hati menggunakan handphone.” Pemakaian ponsel pintar untuk berkarya bisa mengangkat kita setinggi-tingginya, tetapi juga sekaligus mampu menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya. Intinya, bijak dalam memilah dan membuat narasi cerita, mengumpulkan gambar, sebelum mengunggahnya di media sosial.

Misi Promosi Kebudayaan Khas Nusantara

Dunia yang Angger geluti berawal dari sebuah keresahan. Ia gundah karena melihat banyak foto-foto karya orang mancanegara dengan subjek-objek khas nusantara, dan lokasi di Indonesia begitu menonjol di internet. Sementara beberapa orang di dalam negeri kadang menganggap negatif terhadap kearifan lokal di Indonesia. Bahkan dengan ekstrem ada yang menyebutnya syirik, dan lain sebagainya. Ia merasa harus berbuat sesuatu dan menjaga kelestarian budaya lokal tersebut.

Melalui creative visual storytelling, Angger “berkampanye” untuk misi mempromosikan dan melestarikan kebudayaan khas Nusantara. Prosesnya panjang, sampai ia menyadari bahwa kiprahnya berdampak positif. Menginspirasi banyak orang untuk membuat dan mengangkat karya dengan format serupa.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Salah satu sesi tanya jawab dengan peserta/TelusuRI

Pemaparan materi dan pengalaman tentu mengundang banyak pertanyaan dari peserta. Salah satunya Kristian Patrasio. Peserta dari Bekasi tersebut melempar dua pertanyaan, yaitu tentang cara pendekatan Angger saat pergi ke suatu daerah untuk menggali cerita, serta proses berpikir yang ia lakukan dalam menentukan judul karya.

Menjawab pertanyaan pertama, Angger berbagi sejumlah tips. Dalam konteks profesional, biasanya ia mencari orang lokal yang bisa menjadi penerjemah dan membuka akses ke sumber cerita. Paling utama, katanya, minta izin untuk “masuk” dan jangan memaksakan diri jika tidak mendapatkan izin. Cara pendekatan yang bagus adalah melalui komunikasi dan ngobrol, syukur-syukur bisa bahasa daerah setempat. Kuncinya adalah membuka diri, membuka pertanyaan-pertanyaan yang relate satu sama lain sehingga bisa dekat dan terbuka akses untuk pendekatan berikutnya.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Foto bersama secara virtual setelah kelas selesai/TelusuRI

Mengenai teknik membuat judul, Angger memang kerap menggunakan frasa-frasa tertentu dan kadang tidak umum. Tak familiar terdengar. Ia mempunyai tujuan sendiri, yakni untuk “menyetop” orang yang sedang berselancar di internet. Ia ingin menggeret audience di tengah banjirnya informasi dengan metode komunikasi yang unik, seperti memberi judul yang berima bahkan mungkin nyeleneh. Memancing rasa penasaran pengikutnya, sehingga mereka akan berhenti berselancar dan fokus membaca.

Sebagai penutup, ia memberi kiat klasik dalam berkarya. Terutama soal mempertahankan konsistensi memotret. Kuncinya, “Mulai dulu, lalu bikin kebiasaan yang sama secara terus-menerus.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar