Sarapan bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah keharusan. Meski menu sarapan masing-masing daerah, bahkan masing-masing orang, boleh jadi berbeda. Ada orang yang cukup sarapan dengan ngeteh atau ngopi dengan teman cemilan. Ada yang hanya mengonsumsi buah-buahan dan air putih—biasanya untuk tujuan diet dan kesehatan. Atau ada pula—boleh jadi mayoritas—yang masih mengandalkan menu sarapan berbasis beras, baik dalam wujud nasi, lontong, ketupat, maupun bubur. Di sejumlah daerah, terdapat menu sarapan khas yang bersifat terroir (karakteristik lokal). Di antaranya ada lentog tanjung (Tanjungkarang, Kudus), nasi tumpang koyor (Salatiga), ketupat sayur dan nasi uduk (Betawi), dan banyak lagi. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, juga ada menu sarapan khas yang memiliki lokalisme kuat. Namanya unik: sega pager.
Sega pager merupakan menu sarapan khas Godong—nama salah satu kecamatan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Minggu (19/1/2020), sebelum pandemi COVID-19 melanda negeri ini, sempat dihelat Festival Sega Pager yang dihadiiri Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Sejak dihelat dalam balutan festival, sega pager menjadi trending topic. Banyak orang yang makin mengenal kuliner ini. Bahkan setelahnya, “menjamur” lapak-lapak sega pager di lintas kecamatan, hingga lintas kabupaten seperti Kudus dan Demak.
Padahal sebelumnya, sega pager hanya terkenal di lingkup Kecamatan Godong—sebagai lokus di mana kuliner ini berasal mula. Itupun hanya bisa dijumpai di tiga desa yang berdampingan—yaitu Desa Ketitang, Desa Bugel, dan Desa Godong. Sedang jumlah desa di Kecamatan Godong sendiri mencapai 28 desa.
Dari ketiga desa itu, tak diketahui jejak historisnya, dari warga desa mana dari ketiga desa itu yang warganya mengkreasi atau menjadi kreator pertama kali sega pager. Jejak yang terlacak hanya menyebutkan bahwa di masing-masing tiga desa itu, terdapat generasi pertama pelopor kuliner ini, yaitu Mbah Turmudi (Ketitang), Mbah Sin (Bugel), dan Mbah Nyampen (Godong). Dari hasil wawancara sejumlah narasumber menyebutkan, sega pager diperkirakan sudah eksis sejak tahun 1960-an.
Apa Itu Sega Pager?
Nama aslinya sebenarnya bukan sega pager, melainkan sega janganan. Di era media sosial, nama sega pager lebih banyak disebut, sehingga nama sega pager kemudian menggeser dan menjadi lebih populer dibanding nama sega janganan. Boleh jadi, nama sega pager lebih branded dan lebih memantik tanya dan penasaran dibanding sega janganan.
Sega, dalam bahasa Jawa artinya nasi. Pager artinya pagar. Sega pager berarti “nasi pagar”. Saat memberi sambutan pada Festival Sega Pager, Gubernur Jawa Tengah,Ganjar Pranowo, sempat berseloroh, “Wong Godong orangnya sakti-sakti, pager saja dimakan.” Seloroh orang nomor satu di Jawa Tengah itu, yang disambut respons tawa gemuruh dari ribuan orang yang hadir di festival.
Sega pager sendiri adalah hidangan berupa nasi yang disajikan dalam pincuk yang terbuat dari daun pisang, lalu diberi urap sayur dan diguyur saus kacang tanah, lantas diberi toping uyah goreng dan pethet rebus. Uyah goreng adalah serundeng versi asin dalam hidangan Jawa—terbuat dari parutan kelapa, dibumbui, lalu disangrai.
Adapun pethet adalah biji mlanding (petai cina). Komposisi inilah yang menjadikan kuliner ini mencuatkan cita rasa khas dan istimewa. Kata “pager” dalam sega pager berasal dari sayuran yang biasa digunakan dalam sajiannya. Sayurannya berasal dari tanaman yang tempo dulu sering dimanfaatkan sebagai “pagar hidup”—juga banyak ditanam di pekarangan rumah—sehingga sajian ini pun kemudian dinamai sega pager.
Dulu, sayuran yang biasa dibuat sebagai urap untuk sega pager adalah daun mlanding muda, kèplèk—kulit mlanding muda yang belum berbiji, daun kenikir, daun beluntas, daun ketela pohung, daun lembayung, dan daun pepaya. Aneka sayuran itu masing-masing direbus, kemudian diperas untuk menghilangkan airnya, dan diiris agak lembut.
Sekarang, sayurannya menyesuaikan yang ready saja. Seporsi sega pager biasa dinikmati dengan aneka gorengan seperti bakwan, mendoan, tahu isi, rempeyek, dan kerupuk. Juga ada penjual yang melengkapinya dengan pilihan lauk lainnya seperti telur bacem dan telur dadar. Minumnya es teh atau teh hangat.
Penyanjian yang Otentik
Melihat awal kemuculan sega janganan atau sega pager, yaitu sekitar tahun 1960-an, mengingatkan kita pada saat pekarangan rumah biasa ditanami berbagai macam tanaman yang bisa digunakan untuk kebutuhan pangan keluarga—sekaligus sumber ekonomi.
Seperti yang dinyatakan Andreas Maryoto, pada masa lalu pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri. (Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, 2009).
Selain pekarangan, pada masa-masa itu jamak dijumpai “pagar hidup”—yaitu konsep pagar rumah yang terbuat dari tanaman tertentu seperti beluntas dan katuk. Kedua tanaman itu bisa dijadikan sumber pangan, yaitu daun mudanya bisa dijadikan urap dan lalapan.
Konsep ketahanan pangan melalui pekarangan rumah itulah yang sepertinya dikreasi secara genial oleh warga Godong menjadi menu sarapan berupa sega pager. Boleh dibilang, sega pager merupakan ekspresi otentik kearifan lokal (local genius) masyarakat Godong dalam memanfaatkan potensi alam di sekitarnya.
Kearifan itu berlanjut hingga kini. Tidak hanya berupa masih terus dilestarikan, bahkan dikembangkannya, sega pager sebagai menu sarapan khas Godong, namun juga pelestarian pada penyajian yang otentik—yang berbasis pada kearifan ekologis, yaitu menggunakan pincuk dari daun pisang.
Boleh dibilang, 95% penjual sega pager di Kecamatan Godong—bahkan yang di luar, masih mempertahankan penyajian sega pager yang otentik dengan menggunakan pincuk. Lalu sendoknya pakai suru, yang juga terbuat dari daun pisang—namun untuk yang satu ini, saat ini sifatnya opsional, karena banyak yang lebih nyaman memakai sendok logam.
Para Pelestari Sega Pager
Semua generasi pertama pelopor sega pager sudah meninggal dunia dan penjual yang ada sekarang adalah generasi penerus dengan kisaran masa tempuh berjualan antara 10 hingga 30-an tahun. Ada juga pendatang baru yang menjajal peruntungan dengan berjualan sega pager. Apalagi setelah dihelat Festival Sega Pager, lebih banyak lagi dijumpai penjual baru di banyak tempat, baik di dalam maupun di luar Godong.
Salah satu generasi penerus atau pelestari sega yang banyak penggemarnya adalah Mbak Ngatminah. Perempuan kelahiran 1965 yang berjualan sega pager di teras rumahnya di Kampung Bugel Kauman, Desa Bugel itu, telah berjualan kuliner ini sejak sekira 30-an tahun yang lalu (1990). Ia berjualan sega pager meneruskan almarhum budhe-nya, bernama Aminah—yang dulu berjualan di Pasar Godong.
Selain Mbak Ngatminah, di Desa Bugel juga ada Mbah Siu yang juga telah berjualan makanan ini sejak sekira 20-an tahun. Ia meneruskan usaha bulik-nya, bernama Mbah Bonah, yang kini telah tiada.
Pelestari lainnya, Mbak Ika, yang setiap hari membuka lapak di Jalan Pemuda, Desa Godong. Ia adalah generasi ketiga. Ia meneruskan almarhum neneknya, Mbah Nyampen—yang disebut-sebut salah satu generasi pertama pelopor makanan ini.
Adapun di Ketitang, sepeninggal Mbah Turmudi, tidak ada keturunannya yang meneruskan usaha berjualan sega pager. Tapi beruntung, ada beberapa warga Ketitang yang berinisiatif berjualan sega pager. Antara lain Ibu Miyati, warga Ketitang, yang telah berjualan sega pager sejak sekira 10-an tahun lalu. Dan masih banyak lagi.
Bila sedang melintas Jalan Raya Purwodadi–Semarang di pagi hari, dan melewati pasar Godong, silahkan berburu sega pager. Jangan khawatir akan “tersesat” alias sulit menemukan pelapak sega pager. Karena pelapak sega pager di sekitar pasar Godong sangat banyak. Bahkan di Jalan Pemuda, Desa Godong—atau pertigaan timur pasar Godong arah ke selatan, arah ke Juwangi-Boyolali, di sepanjang jalan banyak dijumpai pelapak sega pager di pinggir jalan. Tinggal pilih saja.
Selamat berburu!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.