Saat itu, langsung ku iyakan ketika keluarga mengajak untuk pergi menjenguk saudara ke pedesaan. Bukan tanpa sebab, aku memang rindu menyaksikan pemandangan hijau, menghabiskan waktu yang jauh dari hiruk pikuk kota. Berangkat pagi sudah kami rencanakan. Begitu juga dengan rencana naik ke Bukit Gading selepas menjenguk saudara. Ada rasa penasaran, seperti apa pemandangan dari atas bukit tersebut.
Semula kami melewati hamparan sawah yang serba hijau, serta deretan pohon jati yang berjejer rapi. Langit pun seakan turut serta mendampingi kami karena cuaca cerah tapi tetap berhawa dingin pegunungan. Laju sepeda motor harus benar-benar kuat untuk naik ke atas. Jalan terus menanjak meski sedikit berkelok-kelok, namun karena aspal begitu mulus, perjalanan menjadi lancar hari itu.
Sembari menikmati pemandangan yang ada, nyiur melambai di setiap tepian jalanan, rumah-rumah khas di bawah perbukitan yang tampak saling tindih satu sama lain. Sampailah kami pada gapura anyaman bambu yang bertuliskan “Selamat Datang Desa Pakis. Tepatnya, di Desa Pakis, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang”.
Setelah beberapa menit, tibalah kami di rumah saudara. Di sana, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu saling melontarkan niat untuk pergi ke puncak Bukit Gading. Saudara saya menyambut dengan antusias, apalagi dari kejauhan sudah terlihat Bukit Gading dengan berkibar Bendera Merah Putih yang berdiri dengan tegaknya di puncak.
Perasaanku menggebu, jiwa petualanganku terpancing maju. Rasanya tak sabar ingin segera naik ke puncak bukit itu. “Hati-hati kalau ke sana ya,” pesan mereka.
Kadang kala, basecamp penuh dengan jejaran kendaraan bermotor, penuh sesak.
Biasanya orang berkunjung ke Puncak Gading untuk camping, menghabiskan malam di sana sembari menanti terbitnya matahari. Tentu berbeda dengan kami yang memang tidak mempunyai rencana untuk menginap. Sehingga siang pun, kami jabani untuk terus melanjutkan perjalanan.
Bukit Gading mempunyai ketinggian 526 mdpl, namun tak menggoyahkan kami untuk melihat panorama alam dari sana. Saudara saya yang berasal dari sekitar tempat tersebut juga turut serta, ia berperan sebagai penunjuk jalan. Kami berjalan bersama anak-anak kecil, mereka bersemangat, aku pun tak mau kalah.
Awalnya kami mulai perjalanan dari basecamp. Basecamp adalah tempat pertama dimulai untuk para pendaki. Di basecamp tersedia makanan serta minuman untuk para pengunjung yang mau naik ke atas bukit. Basecamp yang berbentuk seperti rumah adat Minangkabau itu tampak begitu syahdu dengan tatanan meja dan kursi yang rapi. Terlebih lagi, dibingkai oleh pemandangan alam.
Kami menghabiskan sekitar 30 menit untuk naik ke puncak bukit. Waktu yang cukup panjang, karena selama perjalanan kami banyak berhentinya. sejenak mengamati pemandangan sekitar, yang begitu memanjakan mata. Banyak pohon yang berbuah seperti durian dan nangka. Ada juga pohon kapas yang riup terbawa ayunan angin. Jalannya masih berupa batu-batu besar, harus berhati-hati saat berpijak. Kemiringannya beragam, perlahan kami melewatinya satu per satu.
Dalam sebuah perjalanan kita juga harus jaga sikap dan jaga lisan. begitu pula saat perjalanan ini, kami berhati-hati baik dalam berjalan maupun bertindak dan berkata supaya tidak terjadi hal yang aneh-aneh.
Tak terasa, kami tiba di puncak.
Dari atas, aku memandangi keindahan alam yang begitu elok. Hamparan sawah terlihat luas. Panorama kecamatan di sekitar Sale pun terlihat sangat jelas di atas puncak. Dari puncak aku pandangi basecamp yang berada di bawah tadi. Lalu pandangan beralih ke bendera yang berkibar tertiup angin.
Tak lupa aku mengabadikannya dalam jepretan kamera. Saatnya swafoto!
Sebuah perjalanan yang mengajarkanku tentang titian pendakian. Harus yakin pada setiap proses yang terjal, namun akan terbayar saat tiba di puncak. Begitu pula, dengan sebuah mimpi yang meninggi. Ketika mempunyai mimpi janganlah takut, ketika lelah bisa berhenti dan jangan pernah menyerah atau balik arah. Tetap semangat untuk naik ke puncak. Segala yang kamu inginkan pasti akan tercapai. Semesta ikut mengamini. Tabik!
Aku melihat masih ada bekas api unggun. Ternyata semalam ada rombongan yang camping di Bukit Gading ini. Memang suasana di sini bisa menjadi healing terbaik itu seseorang yang diburu kepenatan. Sekadar refreshing melihat alam yang kaya akan makna kehdupan.
Kami pun ikut mengabadikan momen di atas puncak, sembari makan bekal dan memandangi ada gunung yang masih menjulang tinggi dan pohon-pohon rindang yang menari mengikuti alunan angin. Mentari seakan mengerti, tidak terlalu menyengat kulit ini. Suasana yang tenang, sejuk, dan jauh dari keramaian membuat ingin tidak turun dari puncak.
Setelah lama beristirahat, kami pun turun dari puncak. Jangan lupa membawa sampah bekas makanan kita. Setelah rasa puas kami terbayar. Jalan turun
Setelah lama beristirahat, kami turun dari puncak. Tak lupa, membawa sampah bekas makanan. Kami berjalan dengan hati-hati, karena kalau tidak, bisa saja terpeleset ke dalam jurang. Pelan-pelan kami menurunkan kaki satu demi satu. Tak lupa tetap bekerja sama satu sama lain. Setelah sampai di batuan-batuan yang besar-besar hujan mulai mengguyur. Hujan membawa keberkahan, semua tampak subur dan hijau.
Meskipun hujan, kami tetap melanjutkan perjalanan untuk turun, sesekali berhenti untuk berteduh.Sampailah kami ke basecamp pertama perjalanan tersebut. Rumah saudara sudah terlihat. Petualangan ini mempunyai filosofi, yaitu tetap bersyukur apa yang telah dimiliki dan segalanya memang perlu diperjuangkan. Janganlah berbalik arah sebelum naik ke puncak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu