Suatu pagi, ibu saya membawa pulang beberapa bungkus makanan dari Warung Bu Darmi. Setelah saya lihat, ternyata isinya berbeda-beda. Ada yang berisi gatot, tiwul, dan tentu saja getuk.
Sebagai anak yang kurang suka makanan bercita rasa manis saja, saya memilih gatot sebagai santapan. Kudapan satu ini terbuat dari fermentasi singkong yang diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan cita rasa legit dan samar-samar asam. Setidaknya itu yang terasa di lidah saya.
Gatot, Kuliner Menul-menul dari Fermentasi Singkong
Gatot merupakan kuliner tradisional yang dulunya banyak orang jumpai di berbagai pasar tradisional maupun kedai yang khusus menjual tiwul. Kawasan Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta yang terkenal sebagai penghasil singkong dengan kualitas bagus. Namun, seiring dengan perkembangan infrastruktur, kini gatot hadir di berbagai sudut Yogyakarta. Termasuk di sekitar tempat tinggal saya, Bantul.
Beberapa waktu lalu, saat berkendara di sisi selatan Bantul, tak sengaja saya melihat gaplek—sebutan untuk irisan singkong yang menjadi bahan baku pembuatan gatot—yang dijemur di pinggir jalan raya. Jangan kaget jika rupa gaplek tidak seindah bahan makanan pada umumnya.
Membuat gaplek relatif mudah, yakni dengan menjemur dan “menghujan-hujankan” singkong dalam kurun waktu tertentu hingga berjamur. Tenang, jamur pada gaplek ini tidak beracun, kok. Justru jamur-jamur inilah yang mengurai kandungan gizi singkong sekaligus menciptakan rasa asam yang enak pada gatot.
Yang saya tahu proses pembuatan gatot lebih rumit, karena perlu merendam gaplek selama beberapa hari sebelum meniriskan dan mengukusnya. Setelah matang, barulah mencampurnya dengan juruh—gula jawa yang yang telah dipanaskan hingga cair dan mengental. Karenanya, salah satu cara paling praktis mencicipi gatot adalah dengan membelinya di kedai atau pasar tradisional.
Warung Gatot Bu Darmi: Alternatif Sarapan dan Teman Ngopi
Kalau sedang tidak ingin sarapan nasi, sesekali saya menggantinya dengan gatot. Warung Bu Darmi yang berada di Jonggrangan, Babadan, Bantul menjadi salah satu warung langganan saya untuk mencicipi hidangan satu ini. Warung ini buka setiap hari mulai pukul 06.30 WIB. Agak siang sedikit, antrean pembeli mengular. Jadi, pastikan datang lebih pagi jika tak mau menunggu lama.
Karena belum ada titiknya di Google Maps, salah satu cara termudah menuju ke sini dengan melewati Jalan Bantul. Kalau dari arah utara, tepat di perempatan rambu-rambu lalu lintas Lapangan Paseban belok ke kanan (barat). Selanjutnya hanya perlu mengikuti jalan sepanjang kira-kira satu kilometer, sampai bertemu dengan Warung Bu Darmi di sisi kiri (selatan) jalan. Tidak terdapat spanduk atau plang nama warung sebagai penanda.
Dari sekian menu, gatot-lah yang menjadi favorit saya di sini. Rasa manisnya pas. Tidak mendominasi. Rasa asam khas olahan fermentasi juga terasa meski tidak terlalu kuat. Namun, justru ini yang membuat saya begitu menyukainya. Perpaduan rasa yang pas.
Selain gatot, Warung Bu Darmi juga menyediakan tiwul. Ia menangkap dengan baik terhadap kesadaran akan beragamnya selera konsumen. Di sini, Bu Darmi menyediakan dua versi tiwul. Pertama, tiwul gurih—jenis tiwul rendah gula yang jarang saya temui di berbagai kedai tiwul pada umumnya. Pasalnya tiwul yang banyak dijual di luaran sana memang tiwul manis yang legit. Dan yang kedua, tentu saja tiwul manis yang juga menjadi favorit saya. Manisnya pas, cocok bersanding dengan kopi pahit saat santap pagi.
Sebenarnya, ada pula tiwul yang dimasak tanpa tambahan gula sama sekali karena digunakan sebagai pengganti nasi. Orang menyebutnya dengan nama sego (nasi) tiwul. Umumnya kudapan satu ini dijual sepaket dengan lauknya, yakni rebusan sayur, ikan asin, sambal, dan kerupuk. Sayang, Bu Darmi tidak menjualnya.
Bagi saya pribadi, inovasi-inovasi kecil semacam ini menawarkan daya tarik tersendiri. Terlebih rasa manis memang mendominasi jajanan tradisional di Yogyakarta. Sebuah fenomena menarik dan berkaitan erat dengan catatan sejarah Yogyakarta, yang dulunya memiliki belasan pabrik gula.
Olahan singkong Bu Darmi juga cocok untuk bekal camilan usai joging di Lapangan Paseban. Ketika berolahraga di sana, saya biasanya hanya membawa bekal air putih. Sisanya, serahkan pada Warung Bu Darmi.
Kualitas Jadi Kunci Eksistensi Kuliner Tradisional
Suatu pagi, saya pernah menemukan bungkusan gatot yang ternyata ibu membelinya kemarin. Waktu saya cicipi ternyata masih enak, sehingga saya habiskan. Karena penasaran, saat kembali menyambangi Warung Bu Darmi. Saya menanyakan perihal awetnya gatot yang beliau buat.
“Singkongnya sengaja saya pilih yang dari Gunungkidul, Mbak. Kualitas singkong dari sana memang terkenal bagus,” ujarnya memulai cerita.
Saya mengangguk tanda setuju. Pasalnya saya pernah membuktikannya sendiri, kalau singkong dari kebun di kawasan sana rasanya lebih enak. Saya juga pernah bertemu juragan tiwul di Sleman menyatakan hal senada. Bahan bakunya juga berasal dari Gunungkidul.
“Saya ada langganan penjual singkong di Pasar Imogiri yang khusus nyetori singkong. Selebihnya saya ‘kan masaknya masih pakai tungku, sehingga hasilnya jadi lebih tanak. Juruh-nya pun saya masak dulu sampai tanak. Saya juga menggunakan parutan kelapa yang matang. Karena itulah olahan singkong buatan saya ini bisa tahan sampai dua hari. Beli hari ini bisa tahan sampai besok sore,” imbuhnya.
Bu Darmin menambahkan bahwa ada satu kendala dalam usahanya. “Ada kalanya bahan bakunya kosong. Kalau sedang begini, otomatis saya libur jualan.”
Pengalaman selama 20 tahun sebagai pelestari kuliner tradisional berbahan singkong tidak disia-siakan ibu paruh baya ini. Beliau sadar betul bahwa hanya dengan kualitaslah dagangannya mampu bertahan, khususnya di tengah gempuran jajanan kekinian yang banyak viral di media sosial.
Usai berbincang, saya pulang dengan membawa gatot yang harga seporsinya hanya Rp2.500. Pun, sebagai pembeli, kita bisa mencampur isi dalam satu bungkus jajanan ini. Tinggal pilih antara gatot, tiwul, atau getuk.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.