Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan menjelajahi pangan olahan di tanah kelahiran, Luwu, Sulawesi Selatan. Rangkaian ini bermula dari workshop selama dua hari penuh di Kampung Buku, daerah Bantimurung, Kabupaten Maros.
Dalam kegiatan tersebut, para relawan penyusunan Ensiklopedia Pangan Olahan berkumpul bersama, menerima sejumlah pelatihan dasar. Di antaranya terkait teknik pengumpulan dan penyusunan data lapangan yang diperoleh, teknik dasar fotografi, serta penyamaan persepsi terkait alat pengumpulan data yang akan kami gunakan di lapangan. Semuanya berlangsung lancar hingga waktu pembagian tim.
Tim Luwu terdiri atas Nuning dari Katakerja, Aspar, Zul, Naufal, Lute, Dewe, Bahar, dan saya. Kami berangkat dalam rentang waktu yang sama dengan tim lainnya. Yang kami siapkan tidak banyak, selain lembar informasi yang harus dikumpulan, riset awal terkait dengan pangan olahan per peneliti, dan barang pribadi seadanya.
Kendala Teknis di Perjalanan
Perjalanan kami mulai dari lokasi persewaan mobil—yang akan kami gunakan seminggu ke depan—di daerah BTP Tamalanrea. Lalu bergeser ke area kampus untuk menjemput Nuning dan Lute. Aspar bergabung esok malam dengan mengendarai bus ke Palopo, sementara Bahar sudah menunggu kami di Masamba.
Malam itu mobil kami bergerak sejauh 365 km dari Makassar menuju Palopo. Saya dan Lute duduk di bangku tengah. Nuning di kursi depan kiri, sementara Dewe memegang kendali setir. Perjalanan lancar hingga kami tiba di daerah Pekkae. Terjadi kendala teknis di kawasan ini.
Jalanan yang kami lewati cukup bergelombang. Dewe menyadari keadaan mobil yang bermasalah dan segera menepi. Saya pun ikut turun dan merasakan suhu dingin langsung menusuk ke tulang. Kami mendapati ban mobil kanan belakang yang robek hingga menghabiskan sisa udaranya.
Tak hanya ban mobil yang bermasalah. Sepertinya kami yang malam itu berada di jalan tersebut sendirian juga menjadi masalah. Belum ada kendaraan lain yang melintas. Jarak dengan kampung cukup jauh. Kami memutuskan menunggu pagi yang akan datang sekitar satu jam lagi sembari beristirahat di dalam mobil.
Kami beruntung, seorang laki-laki datang membantu dan mengganti dengan ban cadangan yang tersimpan di bagasi mobil pagi. Setelah itu kami kembali melaju untuk menjemput seorang teman di Kota Palopo. Dari sini perjalanan tinggal sekitar satu setengah jam menuju daerah pusat Masamba, tepatnya di belakang kantor polsek setempat.
Kak Mamat, sang pemilik rumah sepertinya tahu kami akan tiba. Begitu mobil masuk ke pekarangan rumahnya, ia siaga menyambut di depan. Rumah yang kami tinggali selama di Masamba ini merupakan lokasi posko bencana sewaktu respon bencana banjir bandang di Masamba awal periode COVID-19 lalu.
“Kenapa baru tiba siang? Aman perjalanan ke sini?” tanya Kak Mamat.
Saya menyahut, “Tadi ban mobil sempat bocor di Pekkae, Kak, tapi alhamdulillah aman.” Usai bercerita sebentar, kami membongkar barang bawaan dan mulai membereskan beberapa urusan.
Pengabadian Kekayaan Pangan Tanah Luwu
Agenda Ensiklopedia Pangan Olahan ini terbagi dua. Pertama, kegiatan penelitian, penulisan, dan pendokumentasian. Kedua, mengunjungi Luwu dalam rangka seminar hasil penelitian pangan olahan sebelumnya. Waktu penelitian, penulisan, dan pendokumentasian kami habiskan sebagian besar di Kota Palopo, yang menelurkan sekitar 15 pangan olahan khas Luwu.
Luwu sendiri merupakan sebuah daerah yang terpecah menjadi beberapa kabupaten. Pada dasarnya, Tana Luwu merujuk pada daerah kekuasaan Kedatuan Luwu pada masa lalu, dengan ibu kota di Belopa. Tidak seperti Pulau Jawa dengan banyak pendokumentasian, penarasian, maupun penulisan asset-aset budayanya, sampai ensiklopedia yang kami kerjakan tempo hari, nihil ditemukan tulisan-tulisan terkait pangan olahan di daerah Sulawesi Selatan–Barat. Hal inilah yang mendasari ensiklopedia ini kami garap.
Bisa jadi ketika para penutur asli pergi mendahului kita, tidak akan tersisa jejak-jejak sejarah tentang makanan yang tersaji di meja makan. Atau lebih parahnya, makanan yang menjadi identitas sejarah ini justru berganti dengan makanan-makanan modern dan kita tidak perlu mengetahui cara memasaknya: cukup datang ke gerai cepat saji, memesan, membayar, dan makanan akan tersedia dalam sepuluh menitan.
Kapurung, Hidangan Khas Luwu dari Ibu
Perjalanan mengabadikan pangan olahan khas Luwu memberikan saya perspektif baru tentang tanah kelahiran. Bahkan tentang jalan-jalan yang biasa saya lalui sejak kecil.
Pertama adalah kapurung, makanan berbahan dasar sagu yang sangat mudah kami jumpai. Warung kapurung khas Palopo pun ada di beberapa penjuru Kota Makassar. Kapurung, pada dasarnya bukan sekadar makanan, melainkan jejak orang-orang Luwu di masa lampau. Mereka bertahan hidup dengan memanfaatkan segala tumbuhan yang hidup di sekitar daerah ini.
Kami mendokumentasikan kapurung di dua tempat, yaitu rumah saya yang berada di dekat daerah pantai dan rumah Lute. Pagi itu, kami yang masih menginap di rumah Zul, bergegas menuju kantor Dinas Pariwisata sebelum melabuhkan perjalanan ke rumah saya. Saya juga mendapat kabar bahwa ibu saya sedang memasak dengan penuh semangat sembari menunggu rombongan kami tiba di rumah.
Di rumah, ibu saya menyiapkan hidangan makan siang. Kami bersiap mengambil beberapa footage mengenai proses pembuatan kapurung. Selain kapurung, ibu menyediakan hidangan lain seperti udang rebus, ikan bakar dengan kondimen jeruk, garam, cabai, dan asam, termasuk lawa paku dan pacco—makanan khas luwu yang kerap dinikmati bersama kapurung.
Usai mengisi perut hingga penuh, kami bergeser menuju Masamba untuk kali pertama. Kami janji berjumpa Bahar dan salah seorang pejabat pemerintahan di sana. Begitu tiba, kami berbincang banyak dengan mereka. Berdiskusi dan tentu saja menyusun rencana liputan selama berada di sini.
Aneka Pangan Khas Luwu Lainnya di Masamba
Esok harinya kami berkunjung ke Sassa, salah satu desa di pegunungan Masamba yang menyimpan sejarah pangan dan budaya. Suku Limola, salah satu suku yang diyakini berasal dari To’manurung mendiami desa ini.
Fajar, seorang teman di Makassar, menyambut kedatangan kami. Di rumahnya kami mendapat kesempatan mendokumentasikan beberapa pangan olahan khas Luwu, seperti jus sulikan, rapa-rapa, kapurung, dan lappa-lappa.
Menurut saya, jus sulikan menjadi pangan olahan yang paling unik. Rasanya asam seperti jambu biji, tetapi sedikit pekat dan pahit. Sekilas, sulikan mirip dengan patikala/batikala, atau buah kecombrang. Hanya saja tumbuhan ini lebih lonjong dan merupakan endemik daerah Sassa.
Pada akhirnya, kami makin menikmati banyak hal. Mulai dari lahan pangan hingga beragam kisah penuh sejarah yang orang-orang tua ceritakan di sekitar kami.
Setelah menyelesaikan agenda di Desa Sassa, kami kembali ke Kota Palopo. Di sana, kami beristirahat sebelum kembali beraktivitas esok hari. Agenda utamanya adalah penyusunan seluruh bahan-bahan wawancara menjadi satu narasi.
Ya, setidaknya setelah buku ini rampung, Sulawesi Selatan dan Barat akan memiliki sebuah pendokumentasian sejarah pangan olahan. Serta narasi yang akan selalu bertahan melewati perkembangan zaman.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.
Sangat tertarik dengan rubrik ini untuk saling berbagi/ sharing informasi sekaligus memberikan pencerahan.