ItineraryPilihan Editor

Rumah Kata Sorong, Menularkan Budaya Berbagi dan Membaca

Nama saya Suhardi Aras. Tanah Papua adalah tanah pertama yang saya tapaki, tempat saya tumbuh besar. Sebelum melanjutkan pendidikan S1 di STMIK Dipanegara Makassar, saya menghabiskan masa SD sampai SMA di Kota Sorong. Sekarang, selain bertugas menjadi seorang ayah dan suami, saya bekerja di Kantor SKK Migas Perwakilan Papua dan Maluku di Kota Sorong.

Sejak kuliah, saya terbiasa menyisihkan uang kiriman bulanan untuk beli buku. Minimal satu buku tiap bulan. Tak jarang saya khilaf sehingga mesti mengorbankan anggaran untuk kebutuhan lainnya.

rumah kata sorong

Berfoto bersama di Rumah Kata Sorong/Rumah Kata Sorong

Maka ketika saya kembali dari Makassar tahun 2004 silam, saya mengalami gegar budaya. (Rasanya hal ini juga dialami oleh sebagian besar anak Papua yang mesti kembali ke tanah kelahiran selepas lulus kuliah.)

Kebetulan, selama kuliah di Makassar, saya cukup dekat dengan buku dan senang berdiskusi. Malangnya kedua hal itu sulit saya temukan ketika akhirnya harus kembali hidup di Sorong. Di kota itu buku-buku bagus susah dicari, apalagi ruang-ruang untuk mendiskusikan ilmu.

Ruang baca untuk umum di ruang tamu kecil

Akhinya saya berusaha untuk menciptakan ruang itu. Buku-bukunya adalah koleksi pribadi yang saya bawa pulang dari Makassar. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi barangkali akan bikin termangu mereka-mereka yang baru mengenal buku. Aktivitas pinjam-meminjam di ruang baca itu berlangsung alami saja tanpa formalitas.

Seiring berjalannya waktu, tahun 2007 penggiat literasi di Sorong mendirikan ruang baca yang diberi nama Rumah Baca Komunitas Buka Mata. Setelah itu saya sempat ke luar Papua selama beberapa tahun untuk bekerja. Pulang dari perantauan, Surabaya, saya kembali membawa buku dengan jumlah yang cukup banyak.

Rumah Kata Sorong

Beberapa orang anak memanfaatkan ruang baca/Rumah Kata Sorong

Aktivitas pinjam-meminjam buku pun kembali saya lakukan. Tapi muncul sebuah persoalan. Karena membaca buku akan berujung ke diskusi, tentu saya akan sering pergi ke luar. Sementara itu saya sudah dikaruniai anak yang saat itu sedang berada di usia keemasan. Tentu sering keluar rumah tidak masuk dalam pilihan.

Akhirnya kami mengorbankan ruang tamu kecil untuk disulap menjadi ruang baca. Di ruang kecil itu kami meletakkan sebuah rak berisi buku-buku koleksi pribadi. Rumah baca yang terbuka untuk umum itu, Rumah Kata Sorong (RKS), diresmikan pada 25 Agustus 2015.

Secara bertahap menyediakan buku untuk anak-anak

Semula, karena ruang baca ini dibangun dari perpustakaan pribadi, buku-buku yang tersedia di Rumah Kata Sorong adalah buku-buku sastra, [studi] sosial, politik, filsafat, sejarah, psikologi, dan sejenisnya.

Muncul lagi persoalan baru: Rumah Kata Sorong berada dekat sekolah tingkat TK sampai SMA namun koleksinya adalah buku-buku yang biasanya dibaca anak-anak kuliah. Sementara itu makin banyak anak sekolah—dan anak tetangga—yang main ke Rumah Kata Sorong.

Sedang asyik membaca/Rumah Kata Sorong

Maka saya mulai memikirkan untuk mengadakan buku-buku untuk anak. Program Free Cargo Literacy yang diadakan oleh Kantor Pos—serta media sosial—sangat membantu pengadaan buku untuk anak-anak bagi Rumah Kata Sorong. Entah sudah berapa buku yang berhasil dikirimkan ke Papua lewat program Free Cargo Literacy.

Sekarang, di Rumah Kata Sorong ada sekitar 2.000 buku. Genrenya pun beragam, dari mulai komik, cerita anak, buku bantu belajar anak, novel teenlit, metropop, sastra, sampai sosial budaya (yang terakhir ini biasanya didonasikan oleh individu).

Kerja budaya yang harus dilakukan secara kolektif

Selama mengelola Rumah Kata Sorong, tentu saja saya mengalami banyak kejadian menarik. Salah satu pengalaman yang menurut saya patut untuk diceritakan adalah kisah tentang seorang ibu—seorang guru—yang datang mencari buku fiksi untuk tugas kuliahnya.

Yang bikin kaget adalah ia bercerita bahwa ia melarang anaknya membaca buku fiksi dan hanya mengizinkan anaknya untuk membaca buku pelajaran. Alasan ibu itu adalah: membaca novel, fiksi, ataupun karya sastra lainnya tidak penting bagi pembelajaran anak. Ironis sekali menemukan bahwa minat baca anak justru dihambat pertumbuhannya oleh orangtua.

(Saya dan istri kemudian yakin bahwa sang ibu pasti takkan membawa anaknya main ke rumah baca ini. Padahal, jika ibu itu jeli, rak-rak buku dalam ruang baca yang kami kelola punya banyak koleksi fiksi dan karya sastra lainnya.)

Selain cerita yang bikin miris itu tentu saja masih banyak cerita lain. Ada orangtua yang bahkan tidak mematikan kendaraannya saat menunggu anaknya memilih-milih buku (“Jangan lama-lama, ya!”), ada yang ikut menemani terus menginterogasi pengelola, ada yang sangat mengatur buku apa yang boleh atau tidak boleh dibaca, dll.

Makanya kerja-kerja budaya seperti ini takkan berhasil jika dilakukan sendiri. Ini mesti dilakukan secara kolektif, mesti ada baku bantu untuk memunculkan ruang-ruang baca lain. Ruang-ruang baca lain itu nantinya akan membuat semakin banyak individu yang terpapar budaya membaca, yang pada akhirnya akan berujung pada perubahan sosial budaya ke arah yang lebih baik. Barangkali ini terlalu ideal. Namun rasa-rasanya juga tidak salah untuk dilakukan.

Menularkan budaya berbagi dan membaca

Dengan Rumah Kata Sorong, setidaknya saya dapat menularkan dua hal, yakni kebiasaan berbagi dan membaca. Kalaupun ada hal-hal lain yang didapat seseorang setelah berkunjung dari Rumah Kata Sorong—pengetahuan, pemahaman baru, atau kebahagiaan—itu adalah konsekuensi dari membaca buku.

Sampai sekarang saya pribadi masih berusaha untuk menambah koleksi buku, khususnya buku-buku baru dan langka. Biasanya buku-buku baru saya beli ketika berkesempatan untuk pergi ke luar Papua, atau menintipkannya pada rekan-rekan kerja.

rumah kata sorong

Kendalanya adalah biaya kirim yang bisa melebihi harga buku itu sendiri. Dari Jakarta ke Sorong, sebuah buku yang beratnya tak sampai 1 kg seharga Rp 50.000 saja memerlukan biaya kirim Rp 60.000-90.000. Untuk mengatasi kendala itu, biasanya saya membeli buku daring dan mengirimkannya ke rumah teman di Jakarta atua kota lain sebagai alamat drop point. Nanti, setelah terkumpul banyak, baru akan diambil.

Pengelolaan profesional layaknya perpustakaan masih sulit untuk dilakukan karena Rumah Kata Sorong masih dikelola secara swadaya bersama keluarga. Saat ini jam operasional RKS adalah hari libur kerja, yakni Sabtu dan Minggu—atau tanggal merah lain—sehingga weekend saya dan keluarga diisi dengan menunggui ruang baca dan menemani para pengunjung.

(Sesekali ada kegiatan hang out RKS, seperti gelaran Lapak Baca di ruang publik atau kegiatan bedah buku, yang melibatkan relawan.)

Ruang baca Rumah Kata Sorong sebenarnya tak jauh dari pusat kota, meskipun terletak agak di pinggir karena harus melewati lorong. Namun letaknya yang tak strategis itu justru membuat Rumah Kata Sorong biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang berniat melihat [Rumah Kata Sorong] dan membaca buku—selain para tetangga dan siswa sekolah sekitar tentunya.


Rumah Kata Sorong, Jl. Ataa Km. 12, Pojok Klasaman, Kota Sorong


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Bapaknya Para Harya | Kelola Sebuah Reading Room dg nama Rumah Kata Sorong

Bapaknya Para Harya | Kelola Sebuah Reading Room dg nama Rumah Kata Sorong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *