Bagi sebagian besar manusia, tak terkecuali diriku, mewabahnya virus corona membuat aktivitas sehari-hari menjadi terhambat.

Namun, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang tidak mempermasalahkan situasi sekarang, salah satunya adalah para pelaku seni. Mereka tetap bisa berkarya, sebab inspirasi bisa datang dari berbagai hal, termasuk peristiwa-peristiwa tak lazim seperti pandemi ini.

Perjumpaan pertama dengan pemuda penuh mimpi

Tulisan ini kumulai dengan sebuah cerita dari pengujung tahun 2019, berbarengan dengan selesainya fase hidupku sebagai mahasiswa. Lazimnya sarjana baru, aku pun mencoba peruntungan dengan memasukkan lamaran ke banyak lowongan. Namun, sepertinya rezeki belum berpihak padaku. Sampai tahun berganti, belum satu pun usahaku yang membuahkan hasil. Beberapa kali aku sudah sampai tahap wawancara, namun kabar lanjutan tak kunjung datang.

Lalu virus corona datang dan meniup harapanku untuk bisa bekerja di awal tahun. Semuanya seperti harus ditunda. Aku memilih pulang ke kampung halaman. Ada pekerjaan di rumah, yaitu membantu orangtuaku bertani.

Sempat aku merasa kesepian dan kosong ketika harus kembali beradaptasi dengan lingkungan “baru”: rumah sendiri. Tidak baru juga sebenarnya, hanya lama kutinggalkan. Aku meninggalkan rumah delapan tahun lalu selepas sekolah menengah pertama (SMP). Sama sepertiku, ada beberapa orang teman yang juga demikian, yang setelah sekian lama merantau kemudian pulang.

Pada sebuah kesempatan, kami kopi darat (kopdar) di sebuah kedai kopi di kota tercinta, sekadar menyambung jaring-jaring cerita yang terputus. Semasa studi tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan universitas, kami memang jarang bertukar cerita karena sibuk dalam dunia masing-masing. Saat kopdar itu, salah seorang temanku membawa temannya dan memperkenalkannya kepada kami. Kemudian kutahu bahwa namanya adalah Baskoro Wicaksono.

Kesan pertama yang diperlihatkannya adalah pendiam. Temanku yang membawanyalah yang lalu bercerita bahwa Baskoro, seperti dirinya, baru lulus studi Pendidikan Seni Rupa. “Bapak guru,” celetuk salah seorang teman, disambut tawa oleh teman-teman lain.

Dari situ, mau tak mau Baskoro buka mulut dan bercerita tentang dirinya. Semasa kuliah, dia menemukan ketertarikan pada seni rupa tiga dimensi, yakni mengolah tanah liat menjadi vas bunga. Dia pun menunjukkan foto-foto beberapa karyanya di unggahan Instagram. Perlahan kami jadi tahu niat mulia Baskoro. Cita-citanya dulu, setelah lulus kuliah ia akan kembali ke kota ini, membuat sebuah studio, dan mewujudkan mimpinya untuk berkontribusi pada kota kelahirannya melalu seni. Bagiku pribadi, pilihan yang dia ambil sangatlah menarik.

Lampung dikenal publik sebagai daerah transmigrasi. Sebagaimana diwartakan portal Teraslampung.com, program transmigrasi sudah dimulai sejak tahun 1905. Kala itu, sejumlah penduduk dari Purworejo dikirim ke Lampung untuk memperluas wilayah pertanian kolonial. Semakin ke sini, berita-berita soal premanisme, curanmor, dan begal membuat citra Lampung justru jadi kurang sedap. Berkontribusi lewat seni pada Metro, kota kelahirannya ini—yang namanya barangkali terdengar asing di telinga sidang pembaca—tentu akan berimbas bagus pada citra Sang Bumi Ruwa Jurai.

Aku jadi ingin lebih dalam berbincang dengannya seputar kegiatannya sekarang. Tapi waktu berjalan begitu cepat. Puluhan puntung rokok sudah memenuhi asbak di depanku. Kami mesti menutup pertemuan. Namun, sebuah kekuatan tak terduga seperti bekerja sebelum kami beranjak ke rumah masing-masing: Baskoro mengundang kami untuk datang ke studio miliknya.

Bertandang ke Ruang Keramik

Setelah berkenalan dengan Baskoro Wicaksono tempo hari, akhirnya aku bertandang ke studio sederhana miliknya yang berada di pinggir Kota Metro. Studio itu bernama Ruang Keramik.

Jejeran keramik menyambutku begitu turun dari sepeda motor. Tak lama, seseorang datang dan mempersilakanku masuk. Di sebuah meja panjang warna putih, duduk seorang laki-laki yang sedang asyik bergelut dengan tanah liat. Perabotan dan peralatan kerja ada di sekitarnya. Itu Baskoro. Dia ternyata sedang menyelesaikan sebuah vas bunga permintaan dari seorang konsumen asal Muntilan, Jawa Tengah.

Studio Ruang Keramik/Haviz Maulana

Setelah menyapa dan menjabat tangannya, sembari menunggunya aku berkeliling melihat keramik-keramik yang terpajang di rak-rak yang menempel di dinding. Kulihat-lihat karya-karya itu dan kuambil beberapa foto. Lalu aku menghampiri Baskoro yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya.

Sungkan, kubuka saja obrolan. Setelah berbasa-basi sedikit, Babas, panggilan akrab Baskoro, bercerita tentang perjalanannya sampai akhirnya membuka Ruang Keramik.

Kecintaan Babas pada seni sudah muncul sejak dia kecil. Semasa sekolah, dia sangat menyukai seni rupa. Dia menggambar di ruang-ruang kosong yang tersedia, mulai dari kertas putih sampai dinding—mural. Selepas SMA, dia melanjutkan studi ke Pendidikan Seni Rupa salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang.

ruang keramik
Sketsa desain keramik karya Baskoro Wicaksono/Haviz Maulana

Di masa-masa awalnya sebagai mahasiswa, Baskoro eksis dengan melukis. “Menggambar dengan rasa,” ujarnya. Ketertarikannya pada seni kriya keramik baru tumbuh pada pertengahan masa kuliah. Seni tanah liat memang bukan hal baru, tapi justru di sanalah keasyikannya; babas mesti menemukan identitas pada karyanya.

Babas mencintai bunga. Tak jarang dia memproyeksikan kecintaannya pada bunga dengan menggoreskan cat pada sebidang kertas dan menggambar bunga. Akhirnya, sang seniman muda memilih mereka-cipta vas bunga. Mulanya, dia hendak sekadar menggunakan vas buatannya untuk mewadahi bunga yang dia punya. Tapi, waktu yang menjadi saksi bahwa karyanya takkan sekadar jadi konsumsi pribadi.

Petualangan Baskoro pun memasuki babak baru. Dia pun mulai mengasyiki tanah liat. Didedahnya ilmu reka-cipta tanah liat dari dasar. Karakteristik tanah liat dipelajarinya, juga ragam-ragam teknik mengolahnya.

Beberapa vas bunga karya Baskoro Wicaksono/Baskoro Wicaksono

Setelah itu barulah dia mulai membuat vas bunga model umum yang beredar di pasaran. Itu jadi jalan baginya untuk mulai bereksperimen dalam hal bentuk dan tekstur. Inspirasi diambil Baskoro dari alam, dari batang-batang pohon yang sering dilihatnya. Dia biasanya mulai berkreasi dengan cara menggambar bentuk batang yang dilihatnya pada selembar kertas. Imajinasi Baskoro pun mendistorsi bentuk-bentuk batang itu, yang kemudian menjadi nyata sebagai benda tiga dimensi berupa vas bunga.

Organis. Demikianlah Baskoro menamai konsep yang menjadi identitas karyanya. Ciri khas vas bunga Babas adalah bentuknya yang abstrak dengan tekstur tak rata. Tentu saja tanpa mengurangi fungsi vas itu sebagai tempat bunga yang memperindah ruangan. Untuk menghasilkan vas bunga terbaik, Baskoro memilih teknik pijatan tangan (pitching). Baginya, teknik tersebut paling sesuai untuk menghasilkan karya yang dia inginkan. Hasil pijitan alami yang dipertahankan melalui teknik pijatan dia maknai sebagai sebuah pesan kejujuran.

Vas karya Baskoro yang sudah diisi dua tangkai bunga/Baskoro Wicaksono

Begitulah. Babas pun makin mendalami seni kriya tanah liat. Di ujung masa kuliahnya, ketika mesti menyusun karya tulis, dia memilih vas bunga sebagai objek. Tapi tantangan muncul ketika dosen pembimbingnya meminta Baskoro untuk membuat karya dengan konsep yang beda, bukan organis. Itu tak mudah. Karyanya sempat berkali-kali mengalami revisi sebab kurang sesuai dengan konsep-konsep umum soal keindahan. Sedih namun tidak bisa berontak, mungkin itu yang dia rasakan.

Namun perjuangan panjang itu akhirnya mulai mendapatkan titik terang ketika—dari relasi yang dia bangun saat berpartisipasi dalam pameran-pameran—dia “bertemu” dengan konsep geometris. Konsep geometris ala Baskoro lahir terinspirasi oleh karya Natas Setiabudhi, seorang seniman keramik bergaya geometric and architectural yang juga seorang dosen seni di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengusung konsep itu, singkat cerita, dia pun akhirnya berhasil mencapai garis finis studinya.

Bulan Oktober, selepas menyelesaikan studi, dia memutuskan pulang ke sini, Metro, kota kelahirannya. Dia pun kembali membuat vas bunga bergaya organis. Diakuinya bahwa pilihan ini tak mudah—penolakan yang pernah dialaminya juga membuatnya bertanya-tanya apakah karyanya akan dapat diterima. Namun, dia lalu teringat sosok seniman idolanya, Vincent van Gogh, pelukis aliran pasca-impresionisme dari Belanda yang sampai akhir hayatnya menempuh jalan sunyi. Kisah-kisah tentang van Gogh menjadi penguatnya kala itu.

Dua bulan pertama, Babas terus membuat vas bunga. Karya-karyanya kemudian diunggah ke dua akun Instagram: akun pribadi (@baskoro_wicaksono) dan akun lain bernama @ruangkeramikstudio. Dia juga mulai sering menggelar kelas membuat keramik seminggu sekali di studio yang kemudian dikenal sebagai Ruang Keramik. Sasaran kelas itu adalah siapa pun yang tertarik untuk belajar membuat keramik, meskipun kebanyakan pesertanya adalah teman dekat dan anak-anak sekitar. Mereka belajar di sana kemudian mengunggah karya mereka di akun sosial media masing-masing sehingga Ruang Keramik pelan-pelan muncul ke permukaan.

Deretan vas bunga bergaya abstrak di Ruang Keramik/Haviz Maulana

Akhirnya, momen yang ditunggu pun tiba: permintaan pertama datang bulan Desember kemarin. Nasibnya ternyata lebih baik ketimbang van Gogh yang hanya menjual satu lukisan, The Red Vineyard, sepanjang hayatnya. Seseorang dari Surabaya menghubunginya melalui Instagram, meminta dibuatkan beberapa model vas bunga kepadanya. Babak baru dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sebagai seniman pun dimulai, meskipun dia tahu di zaman serba-cepat ini—dan di kota di mana pekerjaan seniman hampir tidak ada—jalan yang ditempuhnya tidaklah mudah.

Baskoro sempat mengutarakan mimpinya. Suatu saat nanti dia akan mengenalkan Metro melalui seni keramik hasil buah tangannya dan menyisipkan pesan pada anak muda agar tidak perlu merasa berkecil hati untuk tetap eksis dan mandiri melalui bidang seni. Bekerja tak melulu harus di kantor—rapi, wangi, dan berdasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar