Travelog

Menelusuri Jalanan Kota Pahlawan bersama Keluarga Makmun

Rabu, 4 September 2019, pukul 02.00, kereta yang kami tumpangi dari Yogyakarta telah tiba di Stasiun Gubeng Surabaya. Segara kami berkemas dan menurunkan barang bawaan. Di pintu keluar stasiun, kami memesan ojol. Segera saja kami diantarkan ke penginapan untuk mengistirahatkan badan.

Paginya aku bangun terlambat dan kamar kudapati dalam keadaan kosong. Di WhatsApp sudah ada beberapa pesan masuk. Ternyata dari Mas Makmun. Ia menanyakan aku mau sarapan apa. Tak lama, keluarga kecil itu datang membawa kresek berisi nasi kuning pesananku.

Sebenarnya kami hanya singgah di kota itu, menunggu jadwal keberangkatan kapal Pelni. Namun, sayang jika waktu singkat itu tidak dimanfaatkan untuk menjenguk kota bersejarah itu. Mbak Wulan, istri Mas Makmun, sudah menyusun agenda.

Jam 11 siang kami berangkat menggunakan taksi online. Tujuan pertama adalah sebuah kedai es krim legendaris. Karena sedang ada perbaikan jalan di bundaran air mancur Jalan Panglima Sudirman, kami mesti turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan kaki. Bundaran tugu air mancur ditutup seluruhnya. Akhirnya kami harus sedikit berputar menyusuri pinggiran Kali Mas dan kembali ke Jalan Yos Sudarso.

Keluarga Makmun bertualang menelusuri Surabaya/Haviz Maulana

Aku terkesan ketika melawati jalan setapak di pinggir Kali Mas. Kali yang berada di tengah kota biasanya begitu kotor dan bau, namun Kali Mas berbeda. Yang kulihat, airnya berwarna hijau sehat dan tidak ada sampah plastik di permukaannya. Tiada aroma tak sedap dan jauh dari kesan kumuh.

Setelah dua puluh menit berjalan, akhirnya kami sampai di tempat itu, Kedai Zangrandi, yang konon sudah tersohor sejak masa Hindia-Belanda. Senyum ramah serta sambutan hangat pelayan menjemput kami yang baru melangkahkan kaki untuk masuk. Semula kami ingin duduk di luar. Namun, perbaikan jalan membuat debu beterbangan sehingga kami memilih duduk di dalam.

Kesan modern dan kursi warna merah Kedai Zangrandi mestilah menarik mata siapa pun yang melihat. Nuansanya berbeda sekali dari tampilan luar yang lebih lawas. Kami duduk di sudut yang dekat dengan stopkontak agar bisa sekalian mengisi daya ponsel.

Selang sebentar, seorang pelayan lain datang menghampiri sambil membawa sebuah buku besar. Buku menu tentunya. Bilal dengan bersemangat segera mengambil buku itu dan memilih santapannya sendiri. Sehabis itu baru giliranku. Kubolak-balik buku menu hingga akhirnya melihat sebuah foto menarik. Nama sajian itu: Es Krim Macedonia. Kupilih itu. Tapi aku belum selesai bergelut dengan menu itu, sebab mesti memilih: with rum or not? Kupilih es krim dengan rum, karena penasaran.

Es Krim Macedonia di Zangrandi/Haviz Maulana

Tak terlalu lama sampai es krim-es krim yang kami pesan tiba, lengkap dengan air putih. Es Krim Macedonia yang berwarna merah muda itu disajikan dalam sebuah gelas bundar, sebagai bulatan tiga perempat bola yang di dalamnya ada rum. Kesan yang muncul setelah menikmatinya adalah dingin, manis, serta hangat—yang berasal dari rum. Siapa pun yang mencoba mestilah akan selalu mengingat rasanya. Waktu untuk menghabiskan es krim itu lebih cepat ketimbang waktu yang diperlukan untuk menunggu. Lalu, ketika es krim itu sudah menghilang sepenuhnya, tanpa jejak, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Tujuan berikutnya adalah mal tenar di Kota Pahlawan, Tunjungan Plaza. Kembali kami berjalan kaki sembari menikmati suasana Surabaya. Dipandu Google Maps, kami melangkahkan kaki melewati celah pembatas bangunan di depan Balai Pemuda Surabaya, lanjut ke Jalan Gubernur Suryo.

Setiba di Taman Apsari, Mas Makmun mengajak kami istirahat. Bilal dibiarkan bermain. Kebetulan di Taman Apsar ada lapangan futsal. Bilal senang sekali bermain bola di sana ditemani sang bunda. Aku berkeliling melihat-lihat taman. Taman itu bersih dan rapi. Aku jadi teringat berita tempo hari soal Bu Risma yang muntab karena bunga-bunga yang ditanamnya hancur karena diinjak-injak pada sebuah acara.

Hampir setengah jam kami di sana. Mas Makmun pun meminta Bilal untuk menyudahi permainannya. Meski dengan wajah cemberut, Bilal mengikuti permintaan ayahnya. Takjub aku padanya. Umurnya masih lima tahun tapi diajak berjalan sejauh ini ia tak merengek.

Seruas jalan di Surabaya/Haviz Maulana

Akhirnya kami tiba di ujung Jalan Gubernur Suryo. Tunjungan Plaza sudah dekat. Sepuluh menit berjalan, kami tiba dan segera masuk. Ah, pasti kamu sudah tak asing lagi dengan isinya. Di Tunjungan Plaza kami membeli sedikit bekal untuk berlayar. Dari pusat perbelanjaan itu kami lanjut ke Waroeng Tjangkroek Soerabaja. Tebak kami ke sana dengan apa? Benar: kaki. Kami jalan kaki menyusuri Jalan Tunjungan, sempat berhenti di depan Hotel Majapahit yang legendaris itu untuk berswafoto dan membaca plakat sejarah singkat yang terpajang dekat pintu masuk hotel.

Hari sudah sore ketika kami lanjut jalan kaki menuju akhir petualangan.

Jalan-jalan dengan keluarga Muhammad Syukron Makmun memberi saya pelajaran tentang arti bertualang bersama keluarga. Suatu waktu nanti mungkin aku akan mengulanginya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Sedang berjuang membangun otak agar berlogika.

Sedang berjuang membangun otak agar berlogika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *