Bulan Agustus lalu, saya turut memeriahkan hari kemerdekaan dengan cara yang tak pernah saya lakukan sebelumnya, yakni mengunjungi Rengasdengklok—di mana pernah terjadi penculikan Soekarno dan Hatta—bersama rombongan Wisata Kreatif Jakarta. Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Selain itu, kami mengunjungi Tugu Kebulatan Tekad dan mencicipi kuliner khas daerah setempat.

Bertolak dari Jakarta, saya menaiki KRL dari Tanah Abang, transit di Manggarai untuk mengambil jurusan Cikarang. Dari Cikarang, saya berjumpa dengan teman-teman seperjalanan untuk naik taksi bareng ke Rengasdengklok. Semakin kami mendekati Rengasdengklok, semakin kami merasa menjauh dari peradaban dengan berkurangnya jumlah bangunan dan warga lalu-lalang di sekitarnya seiring dengan teriknya matahari yang kian menusuk. 

Rumah Sejarah Rengasdengklok

Kira-kira tiga jam kemudian, akhirnya kami tiba di destinasi pertama, yakni rumah tempat penculikan Soekarno dan Hatta yang dikenal dengan Rumah Sejarah Rengasdengklok. Sebelum menelisik ke dalam rumah berusia 102 tahun ini, tentunya penting untuk mengetahui latar belakang sejarah di balik keberadaannya.

Penyerahan Jepang terhadap sekutu tanggal 15 Agustus setelah Hiroshima–Nagasaki dibom habis menandai berakhirnya Perang Dunia II, yang mendorong Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun, konflik terjadi antara golongan muda dan tua dalam hal cara penyampaiannya. Golongan muda pimpinan Chaerul Saleh menginginkan Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Sedangkan, golongan tua pimpinan Soekarno berpendapat bahwa proklamasi harus melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Golongan muda tidak setuju karena PPKI berdiri dengan perizinan dari pihak Jepang, yang membuat kemerdekaan terkesan seperti pemberian Jepang, padahal hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.

Kemudian, golongan muda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945. Istilah “menculik” di sini bukanlah dibawa dengan paksa, namun menjauhkan diri dari pengaruh Jepang. Rumah seorang petani keturunan Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok akhirnya dipilih menjadi lokasi penculikan karena tidak menarik perhatian dan terpencil sehingga pergerakan Jepang mudah terbaca bila ada. Disamping itu, markas PETA (Pembela Tanah Air) juga berada di dekatnya.

Berdasarkan hasil rapat, diputuskan bahwa proklamasi diumumkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12 siang. Tak sampai 24 jam kemudian, Soekarno dan Hatta dijemput Achmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta.

Djiauw Kie Siong
Foto keluarga cucu Djiauw Kie Siong/Nydia Susanto

Saya sempat mengira rumah bersejarah ini antara tak terawat atau sudah rata dengan tanah. Maka saya cukup tercengang melihat kondisinya yang masih terawat dengan dinding kayu, jendela dan kusen pintu hijau muda khas Betawi-nya yang nampak mulus dan peliturnya mengkilap. Di atas pintu, tergrafir “Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong” bercat emas. Pada hari kedatangan kami, situasi di lokasi ramai pengunjung dari komunitas pesepeda dan pasukan Paskibraka dari sebuah SMA di Karawang.

Dibangun pada tahun 1920, rumah ini awalnya terletak di pinggir sungai Citarum. Akibat banjir besar, maka rumah harus dipindahkan pada tahun 1957 dengan mencabut kayu-kayunya satu per satu ke lokasi sekarang. Hingga kini, rumah masih ditinggali Ibu Yanto, istri dari cucu Djiauw Kie Siong, dan keluarganya. 

Untuk memasuki ruangan, setiap pengunjung wajib melepas alas kaki. Altar lengkap dengan hio, lilin, aksara Tiongkok dengan foto Djiauw Kie Siong menyambut kami semua, sekaligus digunakan untuk sembahyang keluarga yang beragama Kong Hu Cu. Hampir seluruh bagian rumah masih asli, seperti genting, lantai bata merah, langit-langit, tiang bangku teras dan dinding kayu jati. Kamar tidur yang pernah dipakai Soekarno dan Hatta pun masih asli dengan ranjangnya. 

  • Rumah Rengasdengklok
  • Rumah Sejarah Rengasdengklok
  • Bung Karno Rengasdengklok
  • Kamar Bung Hatta
  • Bung Karno Rengasdengklok

Memorabilia Soekarno yang menghiasi dinding dan mengisi lemari-lemari antik di sekitarnya sudah pasti menjadi daya tarik utama destinasi sejarah ini. Tak ketinggalan, foto-foto keluarga cucu Djiauw Kie Siong juga terpajang di bekas kamar tidur Sang Proklamator. Mengingat Djiauw Kie Siong adalah seorang petani biasa, rumah yang nampak sederhana ini termasuk cukup besar dan kokoh di zamannya. Pikir saya, unik juga punya rumah yang materialnya bisa dicabut pasang, yang mungkin tak terpikir di zaman sekarang.

Pengunjung tidak dikenakan biaya untuk memasuki situs ini, namun tersedia kotak donasi untuk menyumbang seikhlasnya. Terlebih, seluruh biaya perawatan rumah ditanggung sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 

Serabi Kuntilanak dan Sate Maranggi

Bila sudah jauh-jauh pergi ke suatu tempat, sudah wajib hukumnya untuk mencicipi kuliner lokalnya. Di Rengasdengklok, serabi dan sate maranggi adalah hidangan khasnya.

Dengan berjalan kaki dari Rumah Sejarah Rengasdengklok sekitar 20 menit, kami tiba di Kedai Raja Sorabi Hijau. Berdiri sejak tahun 1995 oleh HM Kasim, Raja Sorabi Hijau juga dijuluki “serabi kuntilanak” karena letaknya dekat TPU yang kami sempat lewati. Saya akui kondisi TPU agak menyeramkan dengan penuh rumput liar dan tegel makam yang retak-retak, namun tak pernah ditemukan kuntilanak atau makhluk halus lainnya.

Warna hijau pada serabi asli terbuat dari daun pandan dan daun suji, serta dimasak secara tradisional dengan kayu bakar dan tungku tanah liat. Varian serabi hanya tersedia 2 rasa, yakni kuah pandan dan kuah durian. Setelah saya mencoba yang kuah pandan, serabi ini segera menjadi favorit saya karena tekstur legitnya sangat pas. Belum lagi aroma wangi dan rasa manis gurih adonan yang meleleh di mulut benar-benar bikin ketagihan ketika dipadu kuah manis kentalnya. Jangan kuatir soal harga, karena hanya dibanderol Rp6500 untuk serabi kuah pandan dan Rp7.500 untuk kuah durian.

Kelezatan serabi buatan HM Kasim yang melegenda membuat kedai ramai pengunjung setiap harinya. Apalagi untuk pesan bungkus, disarankan untuk memesan 2 hari sebelumnya supaya kebagian. Pantas saja, ketika kami sampai di lokasi, masih terdapat antrian 300 pesanan bungkus lainnya! Sebagai catatan, Raja Sorabi Hijau tidak membuka cabang di tempat lain.

Sesudahnya, makan siang utama kami adalah sate maranggi yang menggunakan bumbu kecap, bukan kacang. Sate maranggi tersedia di beberapa warung yang letaknya di seberang Kedai Raja Sorabi Hijau. Daging dapat dipilih antara sapi dan bebek entok, yang dibanderol Rp20.000 saja berikut nasi. Yang jelas, daging entok lebih alot daripada sapi. Untungnya, Warung Sate Maranggi Neng Ayu yang kami singgahi hasil bakaran satenya baik dan merata, sehingga kadar alotnya daging entok berkurang dan tetap bisa dinikmati. Saya juga puas dengan daging sapinya yang lembut ketika dikunyah.

Monumen Kebulatan Tekad

Saksi bisu di Rengasdengklok yang tak kalah penting sehubungan dengan kemerdekaan adalah Monumen Kebulatan Tekad, yang dibangun pada tahun 1950 di lokasi bekas markas PETA (Pembela Tanah Air). Momen terpenting dibalik pembangunan situs adalah dikibarkannya bendera merah-putih pertama kalinya tanggal 16 Agustus 1945, sehari sebelum proklamasi kemerdekaan, di belakang tugu kepalan tangan dengan bola dibawahnya, yang bermakna kebulatan tekad dan memegang teguh proklamasi kemerdekaan yang sudah diwartakan. Kisah seputar detik-detik kemerdekaan ditorehkan dalam wujud lukisan timbul yang menjadi latar belakang monumen.

Bila memperhatikannya dengan seksama, jalan setapak menuju tugu utama yang berbentuk 2 bulatan adalah angka 8, yang diapit angka 17 dan 1945 di sisi kiri dan kanannya, yang tak lain menunjukkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia.

Monumen Kebulatan Tekad
Monumen Kebulatan Tekad/Nydia Susanto

Walaupun tak ada biaya masuk ke monumen ini, namun tiba-tiba kami “ditagih” biaya kebersihan oleh sang penjaga taman ketika kami hendak naik taksi untuk kembali ke stasiun. Biayanya sangat ringan, cukup Rp30.000 saja untuk kami berdelapan.

Selama perjalanan singkat berdurasi kira-kira 4 jam, cuaca panas tak berangin dengan sinar matahari yang menyengat membuat tenaga kami terkuras lebih dan mudah berpeluh. Dari situlah saya baru sadar bahwa udara di Karawang lebih panas dan kering.

Namun, hal tersebut bukanlah masalah besar dibandingkan dengan wawasan yang didapat. Melihat langsung lokasi kejadian sembari diberikan penjelasan singkat padat dari pemandu wisata membuat pengalaman lebih menyenangkan. Apa yang saya pernah pelajari di kelas sejarah menjadi lebih nyata sehingga mudah dipahami dan diingat. Bahkan saya mendapat ilmu tambahan berupa fakta-fakta menarik tentang rumah yang pernah diinapi Soekarno dan Hatta di sana.

Pastinya, saya dapat lebih menghargai jerih payah para pejuang yang tak kenal lelah dan pantang menyerah demi Indonesia yang bebas penjajahan dan lebih maju untuk generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar