Interval

Fatris MF dalam Hikayat Sumatra

Rimba bagi orang-orang Sumatra adalah supermarket yang menyediakan segala hajat hidup. Sandang, pangan, papan, hingga obat-obatan. Tapi itu dulu, sebelum tanaman industri mengambil alih lahan yang disebut rimba sembari berkampanye mengenai manfaatnya secara ekonomi, yang konon mampu menghidupi jutaan orang. Lantas pada siapakah kita berpihak?

Keniscayaan tentang Sumatra adalah, di pulau ini sawit tumbuh mengepung rimba raya Sumatra, mengubahnya menjadi monokultur sawit yang didengungkan sebagai sumber devisa negara. Kali ini, Fatris MF mengajak pembaca untuk menjelajah Sumatra sekaligus melihat lebih dekat kehidupan di pulau yang dijuluki oleh bangsa India sebagai swarnadwipa atau pulau emas. Buku setebal 187 halaman ini berjudul Hikayat Sumatra ini adalah buku catatan perjalanan ke-5 dari Fatris MF setelah sebelumnya menuliskan beberapa judul seperti Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, Lara Tawa Nusantara, dan Jurnal Banda.

Hikayat Sumatra
Hikayat Sumatra/M. Irsyad Saputra

Sembari menikmati pisang goreng hangat, saya menikmati imajinasi berputar, seakan saya yang mengalami semua pengalaman yang diceritakan Fatris. Guratan tangan seorang pesilat, dan bagaimana itu bisa menjadi masalah bagi polisi Belanda yang menganggap mereka yang ingin merdeka sebagai berandal. Pada bab Legiun Pendekar, diterangkan bagaimana pesilat-pesilat tangguh asal Minang, silih berganti menjadi buronan yang bikin geleng-geleng kepala para opsir. Sosoknya ditakuti, jurusnya mematikan, namun sayang di masa sekarang pencak silat kehilangan magisnya dan beralih seperti barang komoditi.

Tidak cukup hanya singgah ke Kota Padang, Fatris juga membawa para pembaca menikmati pedalaman Mentawai, tepatnya di Pulau Siberut. Cerita tentang sikerei—penghubung alam roh dengan dunia nyata dalam suku Mentawai, yang harus kehilangan tajinya di masa modern. Talepon Salakkirat bersikeras menolak meneruskan pekerjaan Aman Lepon, ayahnya, sebagai sikerei. Menjadi sikerei berarti juga harus belajar dan mengikuti proses penobatannya, yang berarti juga harus mempunyai tato ala Mentawai.

Dari rimba Mentawai, kita akan dibawa menjalar jauh ke Sawahlunto, kota tambang peninggalan Belanda yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai budaya menjadi suatu kebudayaan baru karena perkumpulan para pekerja tambang yang berasal dari berbagai daerah. Sawahlunto yang kini relatif sepi, dulunya pernah menjadi mercusuar di tengah hutan Sumatra berkat penambangan batu baranya. 

Jambi, ternyata menyimpan sejarah kuno yang cukup dalam, terutama di Muara Jambi. Dengan jumlah situs yang diperkirakan ada 82 buah berupa candi-candi yang terbuat dari bata merah dengan ukuran wilayah 7,5 kilometer, diperkirakan bahwa daerah Muara Jambi dulunya adalah daerah tempat pembelajaran agama Budha yang menjadi persinggahan yang ramai oleh peziarah dari berbagai penjuru.  

Yang saya suka dari buku ini adalah caranya Fatris menggambarkan suatu lingkungan dengan sudut pandang si penulis, kemudian diiringi oleh pandangan-pandangan orang-orang lokal yang ditemuinya. Penceritaan alur di buku ini juga menyertakan sumber-sumber tertulis sekunder untuk memperkaya suatu pandangan. Tulisannya juga dilengkapi dengan foto-foto terkait, menambah kesan dramatis perjalannya, meski hanya sebatas hitam putih.

Kadang kala, Fatris menyelipkan berbagai pertanyaan yang akan mengusik rasa manusiawi kita sebagai pembaca dalam melihat modernitas telah merubah banyak hal yang berkaitan dengan cara hidup manusia Sumatra. Bagaimana rimba yang diubah demi masa depan yang (katanya) lebih baik, bagaimana melihat dukun beranak dianggap sebagai profesi yang lekat dengan praktik hitam, alih-alih sebagai profesi tradisional yang banyak membantu persalinan. Pandangan-pandangan kritis mengenai jalan hidup kita sehari-hari, coba dikritisi oleh Fatris untuk menumbuhkan rasa empati dan simpati dari pembaca.

Rasa-rasanya, bagi penggemar tulisan perjalanan, sulit untuk melewatkan buku yang satu ini untuk dikoleksi. Harganya yang cukup murah untuk sebuah buku perjalanan. Meski tidak terlalu tebal, buku ini cukup untuk menuntaskan dahaga akan cerita di salah satu pulau besar ini. Sebagai penggemar, saya rasa tulisan-tulisan dari Fatris memang layak untuk ditunggu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Dari Jogja ke Blora, Melawat ke PATABA