Sesungguhnya tak ada niat datang ke tempat ini. Awalnya aku sengaja berjalan dari rumah menuju Jalan Pajajaran agar bisa naik angkutan kota jurusan Stasiun Hall-Cimahi menuju kawasan Jalan Budhi Kota Bandung untuk bertemu teman.

Aku terkenang kala jalan bersama istriku dua tahun lalu sebelum anak ketiga kami lahir. Tempat ini sebenarnya menarik untuk sekadar piknik, apalagi posisinya tak begitu jauh dari rumah. Tinggal jalan kaki saja sampai. Namun, selama ini jarang sekali aku menyengajakan datang ke sini.

Walaupun dari luar terlihat diam, lahan satu hektare ini punya aura menarik. Entah apa, tapi mata seolah dihibur oleh sesuatu. Waktu datang, aku merasa nyaman, tenang, seolah-olah beban yang ada pada diriku terangkat tiba-tiba.

Nama tempat ini Alun-alun Cicendo—ada yang menyebutnya dengan Aliando. Berdiri akhir tahun 2018 lalu, tempat ini dibangun untuk warga Kota Bandung sebagai ruang terbuka untuk aktivitas seni, olahraga, dan bisnis. Posisinya terbilang unik, dikeliling para penjual besi di Pasar Besi Jatayu. Ridwan Kamil yang dulu meresmikan alun-alun di Bandung bagian barat ini, sebagai pelengkap Alun-alun Bandung dan Alun-alun Ujung Berung di kawasan timur Bandung.

Alun-alun Cicendo tampak depan/Deffy Ruspiyandy

Saat aku tiba, pagi sedang menuju siang. Mataku terpaku pada ornamen-ornamen dan bangunan-bangunan di sekitar alun-alun itu, yang meskipun menggunakan besi berkarat namun tidak berkurang pesonanya. Padahal aku baru sampai di gerbang masuk.

Sayangnya, COVID-19 sepertinya membuat tempat ini jarang dikunjungi wisatawan. Maklum, ada larangan untuk berkumpul dan membuat kerumunan. Namun, larangan itu tak menghalangi sekelompok anak muda itu menikmati cuaca cerah dengan bermain bola. Seolah-olah mereka tak peduli dengan yang terjadi, yang penting bisa menghibur diri.

Sejenak aku duduk di bangku yang disediakan. Kulihat petugas kebersihan sedang menyapu tempat ini agar selalu bersih. Lalu aku beranjak dari sana dan berkeliling alun-alun. Sayang saja rasanya mata menganggur tidak melihat pemandangan.

Aku pun menaiki tangga di sebuah bangunan dari besi berbentuk perahu. Tadinya aku hendak berswafoto, tapi kuurungkan karena penampilanku hari itu kurasa kurang menarik. Kuturuni tangga lalu kuperhatikan anak-anak muda yang sedang bermain bola. Ada lapangan basket dan dua ring di sana, tapi tak ada yang main olahraga dari Amerika Serikat itu. Ada pula arena papan seluncur, yang juga kesepian karena tak dilindas.

Sekelompok anak muda sedang main bola di Alun-alun Cicendo/Deffy Ruspiyandy

Di lantai dua ada beberapa kursi yang sengaja ditaruh di bawah pohon. Cocok sekali tempat itu untuk mereka-mereka yang berpacaran. Ada yang di dekat sana, tapi latihan bela diri bukannya pacaran. Semakin ke atas rupanya pemandangan semakin menarik.

Terbuka sekali pandangan dari atas. Aku bisa melihat jual-beli alat-alat teknik di kios-kios yang menyatu dengan alun-alun, di sisi utara atau belakang. Di sisi selatan, orang-orang berjualan makanan dan minuman. Rupanya bukan aku saja yang rehat di tempat itu, ada pula beberapa orang.

Turun ke bawah, kulihat petugas parkir sedang santai-santai saja karena pengunjung alun-alun sedang sepi. Kususuri bagian timur yang penuh besi tua. Sepi juga tentu. Paling yang kulihat hanya beberapa mobil yang parkir di pinggir jalan. Biasanya di tempat ini ada persewaan sepeda motor kecil untuk anak-anak.

Sudah pukul 10.30. Setengah jam lagi aku sudah bikin janji untuk bertemu dua orang temanku. Aku pun bergegas meneruskan perjalanan ke perhentian angkutan kota yang tak jauh dari Bandara Husein Sastranegara.

Sebuah mobil hijau berpolet putih berhenti di hadapanku. Aku pun menaikinya agar tiba di tujuan selanjutnya. Tiba-tiba aku ingat bahwa ini hari Rabu dan ini adalah Hari Sumpah Pemuda.

Tinggalkan Komentar